Negus (3): Raja yang Melindungi Kaum Muslimin

in Tokoh

Last updated on January 11th, 2020 05:10 am

Pilihan hijrah kaum Muslimin awal ini bukan disebabkan karena tempat, tapi lebih karena penduduk yang menghuni tempat tersebut. Di Makkah, mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penduduknya. Sedang di Habasyah, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw, adalah negeri yang benar, sebab “rajanya tidak mengizinkan seorang pun didzalimi di dalamnya.

Gambar ilustrasi. Sumber: nurelhikmah.com

Tentang kaum Muslimin yang berhijrah ke Habasyah tahun 615 M tersebut, Allah SWT menjelaskannya dalam Alquran Surat An-Nahl, ayat 41-42, Allah SWT berfirman:

{وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلأجْرُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41) الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (42) }

Artinya:

Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakal. (QS. An-Nahl, ayat 41-42)

Terkait tafsir ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskan sebagai berikut:

Allah SWT menyebutkan tentang balasan-Nya kepada orang-orang yang berhijrah di jalan-Nya dengan mengharapkan rida-Nya. Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan tempat kelahirannya dan teman-teman­nya serta sanak familinya dengan mengharapkan pahala dan balasan dari Allah SWT.

Lebih jauh Ibnu Katsir menjelaskan, “Dapat pula dikatakan bahwa penyebab turunnya ayat ini berkenaan dengan orang-orang muslim yang berhijrah ke negeri Habasyah (Abisyinia), yaitu mereka yang mendapat tekanan keras dari kaumnya di Makkah, hingga terpaksa keluar meninggalkan kaumnya menuju negeri Habasyah, agar mereka dapat menyembah Tuhannya dengan tenang, tiada yang mengganggu. Di antara mereka yang hijrah ke negeri Habsyah dan yang termasuk orang yang paling terhormat di kalangan mereka ialah Usman ibnu Affan dan istrinya (yaitu Siti Ruqayyah binti Rasulullah), Jafar bin Abu Thalib (anak paman Rasulullah), Abu Salamah ibnu Abdul Aswad beserta sejumlah orang —kurang lebih delapan puluh orang— yang terdiri atas laki-laki dan wanita, dan istri Abu Bakar As-Siddiq; semoga Allah melimpahkan ridha-Nya kepada mereka dan memuaskan mereka, Allah memang telah memperkenankannya.”[1]

Adapun menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, bahwa sulit dipastikan hijrah yang mana yang dimaksud oleh ayat tersebut di atas. Sebab ada juga yang berpendapat bahwa hijrah yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah hijrah ke Madinah. Namun demikian, redaksi ayat bersifat umum dan tanpa menentukan ciri atau tempat, sehingga mendorong kita untuk mengukuhkan pendapat yang menyatakan bahwa kedua hijrah itu dapat dicakup oleh ayat ini. Dengan kata lain, siapa pun yang berhijrah demi karena Allah, maka janji ayat ini tidak akan luput darinya.[2]

Lebih jauh Quraish Shihan menjelaskan, “Kata hajaru dalam ayat di atas terambil dari kata hajara. Jika Anda berkata hajara maka ini mengandung makna tidak senang bertempat tinggal di suatu tempat sehingga pindah ke tempat lain yang dinilai lebih baik. Tetapi tempat pertama yang ditinggalkan itu tidak memaksanya pindah dalam arti ia pindah secara sukarela.[3]

Adapun kata hajara seperti yang digunakan ayat ini, maka patronnya menunjukkan adanya dua pihak yang saling melakukan ketidaksenangan. Pelaku hijrah di sini bukannya tidak senang kepada tempat,

tetapi hijrahnya lahir karena tidak senang menghadapi perlakuan buruk yang diterimanya dari penghuni tempat yang tidak senang melihat mereka, dalam hal ini beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan perlakuan itulah yang mengakibatkan hijrah. Demikian lebih kurang asy-Syarawi.[4]

Nah, ini berarti bahwa kota Makkah yang merupakan kota haram yang disucikan Allah serta tumpah darah mereka tidaklah mereka benci, tetapi perlakuan penduduknya yang musyrik dan menganiaya mereka, sebagaimana ditegaskan oleh lanjutan ayat di atas yakni sesudah mereka dianiaya.”[5]

Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan, “Ayat di atas menyatakan hajaru fillah bukan hajaru ilallah. Ada perbedaan makna antara keduanya. Kata hajaru ilallah mengandung kesan meninggalkan tempat menuju tempat lain yang lebih baik dan sesuai daripadayang ditinggalkan. Ia mengesankan bahwa tadinya mereka belum berada dalam lingkungan Ilahi, lalu mereka meninggalkannya menuju Allah, sedang kata hajariifillah mengesankan bahwa tempat yang mereka tinggalkan sebenarnya juga telah berada dalam lingkungan Allah dan keberadaan mereka di sana juga demi karena Allah. Mereka memikul aneka penderitaan dan siksaan di Makkah, semuanya demi karena Allah.[6]

Nah, seandainya ayat ini menyatakan hajaru ilallah maka itu dapat mengandung makna bahwa keberadaan mereka di tempat pertama, dalam hal ini di Makkah, bukanlah demi karena Allah SWT. serta berada di luar lingkungan Ilahi, tetapi dengan menggunakan kata fi bukan ila ayat ini mengisyaratkan bahwa para sahabat Nabi Saw itu, sebelum berhijrah menanggung beban berat demi karena Allah dan hijrah mereka pun adalah demi karena Allah. Di tempat yang lama dan yang baru kesemuanya di dalam jalan Allah.”[7] Demikian menurut M. Quraish Shibab.

Bila merujuk dari apa yang dijelaskan oleh M. Quraish Shihab, kita setidaknya bisa memahami bahwa pilihan hijrah kaum Muslimin awal ini bukan disebabkan karena tempat, tapi lebih karena penduduk yang menghuni tempat tersebut. Di Makkah, mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penduduknya. Sedang di Habasyah, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw, adalah negeri yang benar, sebab “rajanya tidak mengizinkan seorang pun didzalimi di dalamnya.[8] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, http://www.ibnukatsironline.com/2015/06/tafsir-surat-nahl-ayat-41-42.html, diakses 30 Desember 2019.

[2] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hari, 2005), hal. 230-233

[3] Ibid, hal. 231

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid, hal. 232

[7] Ibid

[8] Lihat, Sirah Nabawiah Ibn Hisyam (jilid 1), Fadhli Bahri, Lc (Penj), Jakarta, Batavia Adv, 2000, hal. 244

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*