Kaum Muslimin berangkat ke Habasyah secara bergelombang. Gelombang pertama yang pergi waktu itu sekitar 10 laki-laki dan 4 perempuan. Dalam rombongan ini terdapat tokoh-tokoh seperti Utsman bin Affan beserta istrinya Ruqayah binti Rasulullah Saw, dan Abu Salamah beserta Istrinya. Adapun Jakfar bin Abi Thalib yang kelak menjadi juru bicara kaum Muslimin di hadapan Negus, baru berangkat menyusul pada gelombang selanjutnya.
Kondisi Kaum Muslimin di Makkah
Tahun 615 M adalah tahun ke lima masa kenabian Muhammad Saw.
Kala itu situasi Kota Makkah mencekam. Setidaknya bagi para pengikut ajaran Muhammad Saw. Padahal, belumlah banyak pengikutnya pada waktu itu. Kurang dari 40 orang saja. Namun satu per satu dari mereka mendapat tekanan berat dari para pemuka Quraisy, baik dalam bentuk hinaan dan caci maki hingga dalam bentuk siksaan, hingga pembunuhan.
Ibnu Hisyam mengutip Ibnu Ishaq berkata, “Kemudian orang-orang Quraisy menyiksa orang-orang yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah Saw. Setiap kabilah menangkapi kaum Muslimin yang berada di kabilahnya kemudian menahan mereka, dan menyiksa dengan pukulan, lapar, haus, dan padang pasir Makkah jika musim panas sedang membara. Orang-orang lemah di antara kaum Muslimin, mereka siksa karena masuk Islam. Di antara kaum Muslimin ada yang berubah karena beratnya cobaan yang diterimanya. Ada di antara kaum Muslimin yang disalib, tapi Allah melindungi mereka dari orang-orang Quraisy.”[1]
Beberapa kisah terkenal mengenai mereka yang mengalami siksaan tersebut antara, adalah Bilal bin Rabah.[2] Dia ketika itu adalah budak dari Umaiyyah bin Khalaf. Mengetahui Bilal mengikuti ajaran Muhammad Saw, Umaiyyah murka. Dia membaringkan tubuh Bilal di atas padang pasir Makkah, kemudian memerintahkan agar diletakkan batu besar di atas dadanya. Umaiyyah bin Khalaf berkata kepada Bilal, ‘Engkau dalam keadaan seperti ini hingga engkau mati atau engkau kafir kepada Muhammad dan menyembah Al-Lata dan Al-Uzza.’ Dalam menghadapi ujian tersebut, Bilal berkata, ‘Ahad. Ahad’.[3]
Dalam satu riwayat, Ibnu Ishaq berkata bahwa Hisyam bin Urwah berkata kepadaku dari ayahnya yang berkata:
“Ketika Bilal sedang disiksa, dan mengatakan, ‘Ahad. Ahad.’ Waraqah bin Naufal berjalan melewatinya. Waraqah bin Naufal berkata, ‘Demi Allah, Ahad, dan Ahad, wahai Bilal.’ Waraqah bin Naufal menemui Umaiyyah bin Khalaf dan orang-orang dari Bani Jumah yang menyiksa Bilal. Waraqah bin Naufal berkata kepada mereka, ‘Aku bersumpah dengan nama Allah, jika kalian membunuh Bilal dalam keadaan seperti ini, pasti aku akan menjadikan tempat kematiannya sebagai tempat mencari keberkahan.’[4]
Itulah yang terjadi, hingga Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., melewati mereka yang sedang menyiksa Bilal. Rumah Abu Bakar berada di Bani Jumah. Abu Bakar berkata kepada Umaiyyah bin Khalaf, ‘Kenapa engkau tidak takut kepada Allah dari orang miskin ini? Sampai kapan engkau menyiksanya?’ Umaiyyah bin Khalaf berkata, ‘Engkaulah yang merusak orang ini. Oleh karena itu, selamatkan dia kalau engkau mau!’ Abu Bakar berkata, ‘Ya, aku mempunyai budak hitam yang lebih kokoh daripada dia, dan lebih kuat memegang agamamu. Aku serahkan budak tersebut kepadamu.’ Umaiyyah bin Khalaf berkata, ‘Aku terima.’ Abu Bakar berkata, ‘Budak tersebut menjadi milikmu.’ Kemudian Abu Bakar memberikan budaknya kepada Umaiyyah bin Khalaf dan dia mengambil Bilal kemudian memerdekakannya.”[5]
Selain Bilal bin Rabah, kisah pilu tentang penyiksaan kaum Muslimin generasi awal ini juga terjadi pada keluarga Amar bin Yasir. Terkait kisah ini, Ibnu Ishaq berkata, “Ketika panas matahari terik membara, Bani Makhzum membawa Ammar bin Yasir, ayah, dan ibunya -mereka keluarga Islami-ke padang pasir Makkah untuk disiksa. Ketika mereka bertiga sedang disiksa, Rasulullah Saw berjalan melewati mereka. Beliau bersabda seperti informasi yang aku terima, ‘Sabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kalian ialah surga. ‘Ibu Ammar, mereka bunuh, karena ia hanya mau menerima Islam.[6]
Maka demikianlah. Setelah melihat keadaan kaum Muslimin yang kian terhimpit inilah, Rasulullah Saw memerintah mereka untuk pergi ke Habasyah. Alasannya menurut Rasul Saw, karena di tempat itu ada seorang raja yang berbuat adil dan membenci kezhaliman.
Maka pergilah gelombang pertama kaum Muslimin ke Habasyah. Jumlah mereka yang pertama pergi waktu itu 10 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Mereka menaiki dua buah perahu dengan bayaran setengah dinar. Dalam rombongan ini terdapat tokoh-tokoh penting seperti Utsman bin Affan beserta istrinya Ruqayah binti Rasulullah Saw, dan Abu Salamah beserta Istrinya. [7]
Adapun Jakfar bin Abi Thalib yang kelak menjadi juru bicara kaum Muslimin di hadapan Negus, baru berangkat menyusul pada gelombang selanjutnya. Sehingga total nantinya, jumlah kaum Muslim yang hijrah ke Habasyah mencapai lebih dari 80 orang.[8] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Sirah Nabawiah Ibn Hisyam (jilid 1), Fadhli Bahri, Lc (Penj), Jakarta, Batavia Adv, 2000, hal. 239
[2] Uraian lebih lengkap mengenai kisah hidup Bilal bin Rabah ra., bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/kisah-bilal-bin-rabah-1-budak-yang-menjadi-muaddzin/
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibnu Hisyam mengisahkan, Abu Jahl yang fasik inilah yang menghina kaum Muslimin di kalangan orang-orang Quraisy. Jika dia mendengar orang yang tehormat dan mendapat periindungan masuk Islam, ia mencelanya dan menjelek-jelekkannya dengan berkata, ‘Engkau tinggalkan agama ayahmu, padahal ayahmu lebih baik daripada engkau. Sungguh, kami pasti menjelek-jelekkan mimpimu, tidak menerima pendapatmu, dan menjatuhkan kehormatanmu.’ Jika orang ter-sebut pedagang, Abu Jahl berkata kepadanya, ‘Demi Allah, kami pasti mem-bangkrutkan perdaganganmu, dan menghancurkan kekayaanmu.’ Jika or¬ang tersebut orang lemah, maka Abu Jahl menyiksanya dan merayunya.” Lihat, Ibid, hal. 241
[7] Ibid, hal. 243-244
[8] Ibnu Ishaq berkata, “Jadi total kaum Muslimin yang menyusul ke Habasyah dan berhijrah kepadanya -selain anak-anak yang mereka bawa hijrah atau lahir di Habasyah- ialah delapan puluh tiga orang laki-laki, jika Ammar bin Yasir ditambahkan ke dalam jumlah tersebut, namun ia diragukan ikut hijrah ke sana.” Lihat, Ibid, hal. 251