“Berani, glamor dan sensitif serta tangguh, demikianlah BBC menggambarkan sosok Noor Inayat dalam salah satu artikel yang diterbitkannya. Semua ini menjungkirbalikkan semua hasil testnya dalam masa pelatihan. Konon ia bertindak bukan karena cinta untuk Inggris, tetapi karena tidak menyukai fasisme dan diktatorianisme. Shrabani Basu mengklaim bahwa Noor Inayat berjuang karena “tidak tahan melihat penjahanan di atas muka bumi”, sebuah gagasan yang tampaknya memang bawaan genetik dari keluarganya.”
—Ο—
Perang Dunia II bisa dikatakan sebagai perang paling kolosal dalam sejarah umat manusia. Tidak ada satu deklarasi perang yang bersifat definitif sebagai penanda dimulainya perang tersebut. Tapi sejarah menandai tanggal 1 September 1939 sebagai titik awal dimulainya Perang Dunia II.
Pada pagi buta 1 September 1939, kapal perang Jerman Schleswig Holstein menembaki Walterplatte, sebuah garnisun militer Polandia di muara Sungai Vitsula secara bertubi-tubi. Sedang di darat, secara bersamaan pasukan infantri Jerman menyerang dengan kecepatan penuh ke wilayah Polandia. Sehingga dalam sekejap, Negara itupun berhasil dilumpuhkan. Hanya berselang dua hari kemudian, Perdana Menteri Inggris Chamberlain, menyatakan perang kepada Hitler, dan hanya berselang beberapa jam kemudian, Perancis pun menyatakan perang. Dengan demikian, dimulailah Perang Dunia II.[1]
Perang ini seperti memaksa manusia menembus titik batas kemampuannya. Hampir seluruh wilayah di muka bumi berubah menjadi front pertempuran. Semua medan diuji, dari yang bersalju hingga medan kering berdebu di gurun; dari samudera raya yang luas di pasifik, hingga selat, sungai dan rawa-rawa. Untuk memenangkannya, semua sumberdaya harus ditumpahkan. Setiap keahlian dikerahkan untuk mencari teknologi unggulan, mulai dari peluru hingga senjata pemusnah. Semua strategis dan metode pun diterapkan, baik di darat, laut dan udara. Intinya, semua komponen harus terlibat tanpa terkecuali. Mereka yang potensial akan di upgrade dalam latihan ketentaraan. Sedang yang lain, akan melawan dengan cara bergrilya di bawah tanah. Para pejuang bawah tanah inilah yang kemudian dikenal sebagai “The Resistance”.
P.K. Ojong, dalam jilid II serial karyanya mengenai Perang Eropa mengisahkan, bahwa The Resistance, atau grilyawan bawah tanah ini terdapat di hampir seluruh Negara Eropa. Mereka bukan tentara terlatih, tapi sebuah gerakan rakyat yang lahir karena didorong oleh semangat patriotik. Ini sebabnya, seleksinyapun tidak harus selalu sempurna. Syarat yang diajukan untuk menjadi anggota The Resistance hanya tiga, yakni patriotisme, dapat dipercaya, dan kesukarelaan. Dalam beberapa hal, mereka dianggap lebih baik dari tentara. Mereka memiliki keberanian, ketulusan dan kerelaan untuk berkorban. Sebab berbeda dengan tentara resmi sebuah Negara, bila anggota The Resistance tertangkap, mereka tidak berada di bawah perlindungan hukum perang manapun. Sehingga musuh bisa berbuat apa saja terhadap mereka. Meski begitu, hal tersebut belumlah cukup untuk membuat mereka berharga dalam kecamuk Perang Dunia II. Mereka harus dikoordinir, didampingi dan disupport dengan alat-alat modern.[2]
Sebagaimana diuraikan lebih lanjut oleh P.K. Ojong, organisasi Resistance di Perancis, Belgia, Nederland, Polandia, Norwegia, atau di mana pun saja di daratan Eropa membutuhkan dari London pengiriman senjata, uang, dokumen palsu, dan kadang-kadang juga makanan. Untuk berkomunikasi dengan London, maka pemancar gelap yang dioperasikan di wilayah yang diduduki Jerman sangat diperlukan sekali. Di sinilah perang penting Noor Inayat Khan dalam Perang Dunia II.[3]
Sebagaimana sudah diuraikan dalam edisi sebelumnya, Noor Inayat dikirim dalam operasi mata-mata ke Perancis pada tahun 1943. Tapi situasi demikian dinamis, sehingga banyak hal yang sudah berubah di sana. Belum terlalu lama berada di Perancis, tersiar kabar bahwa jaringan resistance tersebut telah disusupi oleh Gestapo, atau mata-mata Nazi. Kabar itu terbukti dengan semakin banyak anggota jaringan tersebut yang ditangkap. Melihat ini, London memutuskan untuk menyelamatkan agen-agennya dengan mengirimkan pesan agar mereka segera melarikan diri ke Inggris.[4]
Beberapa kisah menyatakan bahwa Noor Inayat mendapat perintah untuk meninggalkan Perancis dan kembali ke Inggris. Tapi kisah ini belakangan mulai diragukan. Mengingat hampir tidak mungkin seorang patriot seperti Noor Inayat melanggar perintah, terlebih itu adalah instruksi langsung dari London. Menurut sebuah buku yang ditulis oleh Sarah Helm, yang berjudul “A Life in Secrets,” tidak ada bukti bahwa Noor pernah diperintahkan untuk kembali, dan jika dia telah diinstruksikan demikian, dia akan terpaksa patuh. Namun Maurice Buckmaster, pimpinan SOE di London waktu itu menulis bahwa Noor Inayat sebenarnya diberi kesempatan untuk kembali, tetapi dia memohon untuk tetap di Perancis dan telah diizinkan meskipun konsekuensi yang akan dia hadapi bisa sangat besar.[5]
Dan demikianlah, Noor Inayat memilih tetap melanjutkan misinya dengan terus mengirim pesan radio secara rahasia ke Inggris. Ketika semua koleganya berhasil ditangkap, praktis dalam kurun waktu selama tiga bulan, Noor Inayat menjadi satu-satunya agen SOE yang tersisa di Perancis. Dalam kondisi seperti itu, dia bahkan mampu mengelola sendirian semua sel mata-mata di Paris. Kemampuannya berkelit dari sergapan musuh sungguh di luar dugaan. Bahkan berbanding terbalik dengan hasil latihannya. Dia mampu survive sendirian, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan mengubah-ubah penampilan serta identitasnya untuk menghindari penangkapan.[6]
Berani, glamor dan sensitif serta tangguh, demikianlah BBC menggambarkan sosok Noor Inayat dalam salah satu artikel yang diterbitkannya. Semua ini menjungkirbalikkan semua hasil testnya dalam masa pelatihan. Konon ia bertindak bukan karena cinta untuk Inggris, tetapi karena tidak menyukai fasisme dan diktatorianisme. Shrabani Basu mengklaim bahwa Noor Inayat berjuang karena “tidak tahan melihat penjahanan di atas muka bumi”, sebuah gagasan yang tampaknya memang bawaan genetik dari keluarganya.[7]
Hingga akhirnya, setelah cukup lama berhasil menghindar, dia berhasil ditangkap dan diserahkan pada Gestapo oleh seorang agen SOE juga yang bernama Henri Déricourt atau Renée Garry. Henri Déricourt adalah seorang agen ganda yang bekerja untuk Sekutu dan Jerman. Dia memanfaatkan teman wanita Noor Inayat untuk menyergapnya. Motif keterlibatannya dalam penangkapan Noor Inayat adalah untuk mendapatkan uang. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa dia memang ditugaskan oleh Inggris untuk mengorbankan Noor Inayat dan agen-agen lainnya.[8]
Pada bulan November 1946, berdasarkan informasi yang diperoleh dari file Gestapo setelah perang, Henri Déricourt ditangkap oleh otoritas Prancis. Dia akhirnya diadili pada bulan Juni 1948. Agen SOE Inggris, Nicholas Bodington, memberikan kesaksian di persidangan bahwa dia adalah supervisor Déricourt di lapangan. Bodington mengakui bahwa dia mengetahui Déricourt berhubungan dengan Gestapo, tetapi sejauh yang diketahuinya, tidak ada yang penting yang diungkapkan Déricourt kepada Jerman.[9]
Ada desas-desus bahwa Henri Déricourt telah menjadi mata-mata yang sengaja ditanam oleh MI6, Dinas intelijen khusus Inggris, untuk bekerja pada Cockade, nama Operasi Sekutu yang bertugas untuk menipu Jerman tentang lokasi dan tanggal D-Day, atau hari dilakukannya serangan umum Sekutu ke Eropa.[10] Tugasnya adalah memastikan bahwa pesan palsu dari London diterima oleh radio dari agen yang ditangkap. Jerman tidak menyadari bahwa SOE tahu bahwa operator nirkabel telah ditangkap dan radio mereka digunakan oleh Gestapo. Dikarenakan kesaksian dari Nicholas Bodington dianggap meringankan, Déricourt akhirnya dibebaskan. Pada tanggal 20 November 1962, Déricourt diduga tewas dalam kecelakaan pesawat terbang, meskipun tubuhnya tidak pernah ditemukan. Ada juga klaim yang menyebutkan bahwa ia memalsukan kematiannya dan kemudian memulai kehidupan baru dengan nama lain.[11]
Terlepas dari itu, tertangkapnya Noor Inayat, tidak serta merta mengubah situasi yang dihadapi oleh Gestapo. Meski pada akhirnya Jerman berhasil menemukan catatan Noor Inayat tentang kode-kode radio yang dimilikinya, tapi mereka tidak mampu menggali informasi yang lebih jauh dari itu. karena bagaimanapun, kode-kode tersebut akan dikonfirmasi oleh London dengan identitas khusus sang agen. Sedang Jerman hanya mengetahui Noor Inayat dengan nama sandi “Madeleine”. Noor Inayat pertama kali ditahan di Penjara Gestapo yang terletak di Avenue Foch, Paris. Tepatnya di salah satu sel di lantai 5 Gestapo H.Q. Di tempat itu dia interogasi dan diminta membocorkan semua informasi yang dia ketahui. Tapi dia menolak. Selama beberapa minggu dilakukan interogasi, Noor Inayat tak tergoyahkan. Dia bahkan sempat melakukan dua kali upaya melarikan diri. Meskipun upaya itu gagal, tapi hal tersebut membuat dia makin diperhitungkan oleh Gestapo.[12] (AL)
Bersambung…
Noor Inayat Khan: Muslimah yang Menjadi Elit Mata-Mata Inggris di Perang Dunia II (4)
Sebelumnya:
Noor Inayat Khan: Muslimah yang Menjadi Elit Mata-Mata Inggris di Perang Dunia II (2)
Catatan kaki:
[1] Lihat, P.K. Ojong, Perang Eropa, Jilid I, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2008, hal. 5
[2] Lihat, P.K. Ojong, Perang Eropa, Jilid II, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006, hal. 10-11
[3] Ibid, hal. 5
[4] Lihat, Noor Inayat Khan: The Indian princess who spied for Britain, https://www.bbc.com/news/uk-20240693, diakses 23 Oktober 2018
[5] Lihat, British SOE Agents executed at Dachau,
http://www.scrapbookpages.com/DachauScrapbook/BritishSOEagents01.html, diakses 23 Oktober 2018
[6] Noor Inayat Khan (1914 – 1944), http://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/inayat_khan_noor.shtml, diakses 23 Oktober 2018
[7] Ibid
[8] Lihat, British SOE Agents executed at Dachau, Op Cit
[9] Ibid
[10] Lihat, Operation Cockade, https://codenames.info/operation/cockade/, diakses 23 Oktober 2018
[11] Lihat, British SOE Agents executed at Dachau, Op Cit
[12] Ibid