“Peradaban Kota Tua Harappa adalah situs bersejarah di Republik Islam Pakistan berikutnya selain Mohenjo Daro. Sama sebagaimana Peradaban Mohenjo Daro, Peradaban Harappa pun bagian dari Peradaban Lembah Sungai Indus. Peradaban Harappa dibangun oleh bangsa Dravida yang pandai bertani, menguasai teknik irigasi, dan menguasai sistem tata kota.”
–O–
Selain Mohenjo Daro, Harappa merupakan peradaban kota tua lainnya yang pernah berdiri di kawasan Peradaban Lembah Sungai Indus di Republik Islam Pakistan sekarang. Jarak antara Mohenjo Daro dan Harappa sekitar 400 kilometer. Kota kuno Harappa terletak di bantaran bekas Sungai Ravi di daerah Punjab, di sebelah timur laut Republik Islam Pakistan dan sekitar 35 km sebelah tenggara Sahiwal. Kota kuno ini dihuni antara tahun 3.300 SM sampai 1.600 SM, tetapi mengalami perkembangan sejak 2.500 SM sampai 1.700 SM.[1]
Antara tahun 3.300 SM sampai 1.600 SM, jumlah penduduk kota Harappa sekitar 40.000 orang. Pada zamannya, jumlah ini terbilang besar. Dalam bidang perdagangan, Peradaban Harappa dikenal sebagai mitra dagang bagi penduduk Mesir Kuno dan Mesopotamia. Situs kota kuno Harappa tampak berisi reruntuhan kota dari Zaman Perunggu yang merupakan bagian dari Kebudayaan Cemetery H dan Peradaban Lembah Sungai Indus yang berpusat di daerah Sindh dan Punjab.[2]
Peradaban Harappa sering pula disebut Peradaban Indus Sarasvati. Hal ini mungkin saja disebabkan keringnya Sungai Sarasvati pada akhir tahun 1.900 SM. Pemusatan terbesar dari Peradaban Lembah Sungai Indus terletak di timur Indus di dekat wilayah yang dulunya merupakan Sungai Sarasvati Kuno dan pernah mengalir. Dilihat dari periode kemunculannya, Peradaban Harappa terbentuk sebelum tibanya Masa Veda alias masa dimana penduduk di lembah Sungai Indus sudah mengenal aksara dan Kitab Veda dari agama Hindu.[3]
Umumnya, artefak batu bata yang ditemukan di lokasi Peradaban Harappa terbuat dari tanah liat atau lumpur yang dipanggang dalam suhu yang sangat tinggi. Dalam artefak ini tidak ditemukan kapur, sehingga para sejarawan menyimpulkan bahwa untuk mendirikan bangunan, penduduk Harappa tidak menggunakan kapur. Belakangan, banyak bangunan batu bata di Republik Islam Pakistan ditemukan masih dibuat dengan cara yang sama.[4]
Orang-orang Dravida diperkirakan bukan hanya sebagai suku asli India, melainkan juga sebagai pendiri kota kuno ini. Namun, hingga sekarang, riwayat dan bahasa serta aksara mereka di berbagai artefak belum dapat dipecahkan. Ciri fisik orang-orang Dravida diantaranya berkulit hitam, berbibir tebal, berhidung pesek, bola matanya coklat, berpostur tubuh pendek, berbadan tegap, dan berambut ikal atau keriting. Dalam segi keterampilan, orang-orang Dravida bukan hanya pandai bertani dan membuat sistem irigasi, tetapi juga sudah hidup menetap dan membangun sistem tata kota.
Dari sejumlah penggalian yang dilakukan di bekas situs kota kuno Harappa, ditemukan beberapa hal berikut: Kesatu, ukiran-ukiran kecil yang terbuat dari terracotta dalam berbagai bentuk. Misalnya bentuk wanita telanjang dengan dada terbuka. Kedua, penghuni kota ini telah mengenal cara memasak, terbukti dari adanya peninggalan alat dapur yang terbuat dari tanah liat, periuk-periuk, dan pembakaran batu bata. Ketiga, arca-arca yang melukiskan manusia, lembu yang menyerang harimau, lembu bertanduk satu, dan binatang khayalan yang disucikan. Arca-arca ini menunjukkan tingginya teknologi yang digunakan dalam Peradaban Harappa.[5]
Yang unik dari kota kuno Harappa adalah tidak ditemukan bangunan untuk kegiatan religius dan tidak pula ditemukan tanda-tanda sistem kasta. Oleh sebab itu, para sejarawan berspekulasi, penduduk Harappa telah meninggalkan sistem kepercayaan, hanya bergantung kepada ilmu pengetahuan, dan memiliki filosofi hidup yang tinggi.[6]
Dugaan lama menyatakan, Peradaban Harappa sebagai bagian dari Peradaban Lembah Sungai Indus hidup secara damai, kooperatif, egaliter, tidak mengenal sistem kasta, tanpa hierarki, atau tanpa diskriminasi akses penduduk terhadap sumber daya dasar. Namun, hasil analisa malah menunjukkan sebaliknya. Dengan kata lain, peradaban ini banyak diisi oleh konflik dan peperangan.
Fase kehancuran peradaban kota ini bukan hanya akibat banjir besar dari Sungai Indus, melainkan juga diduga akibat penduduknya menderita penyakit kusta pada masa pengembangan kota. Jumlah pengidap penyakit kusta kian meningkat secara signifikan. Selain itu, penyakit baru lainnya seperti Tuberkulosis ditemukan sesudah terjadinya urbanisasi, sedangkan cedera kekerasan yang dibuktikan dengan adanya luka tengkorak penduduk, semakin meningkat.
Dengan demikian, perlahan namun pasti, lingkungan kota kuno ini pun mulai berubah. Jaringan perdagangan yang semula berlangsung lancar malah semakin tidak terkendali ketika lingkungan ini digabungkan dengan perubahan sosial dan budaya tertentu. Akibatnya, semua kerja sama yang semula bertujuan untuk menciptakan situasi aman malah tidak dapat dipertahankan. Akhirnya, akibat tingginya tingkat kekerasan dan penyakit yang diderita, maka penduduk yang semula mendiami kota kuno ini pun mulai meninggalkan Harappa. (MDK)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lihat https://www.dictionary.com/browse/harappa. Diakses di Cianjur, 1 November 2018.
[2] Abu Suud. 1998. Memahami Sejarah Bangsa-Bangsa Di Asia Selatan (Sejak Masa Purba Sampai Masa Kedatangan Islam). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[3] Lihat http://www.hariansejarah.id/2017/01/sejarah-india-kuno-peradaban-lembah.html?m=1. Diakses di Cianjur, 1 November 2018.
[4] Lihat https://www.harappa.com/answers/what-was-used-bind-bricks-and-there-any-similarity-ancient-brick-structures-elsewhere-india. Diakses di Cianjur, 1 November 2018.
[5] Lihat http://wawasansejarah.com/peradaban-lembah-sungai-indus/. Diakses di Cianjur, 1 November 2018.
[6] Bridget Allchin. 1997. Origins Of A Civilization: The Prehistory and Early Archaeology of South Asia. New York: Viking; D. K. Chakrabarti. 2004. Indus Civilization Sites in India: New Discoveries. Mumbai: Marg Publications.