“Pakistan kuno pernah dikuasai Kekaisaran Mongol. Bukan karena lemahnya ideologi atau peradaban Pakistan dibanding Mongol, melainkan akibat unggulnya kekuatan militer Kekaisaran Mongol. Pada Abad Pertengahan, Kekaisaran Mongol merupakan pemilik kekuatan militer terdahsyat dan buas.”
—O—
Pakistan kuno pernah diserang lantas dikuasai Kekaisaran Mongol, sehingga cikal-bakal Pakistan modern itu memasuki babakan sejarah kekuasaan Kekaisaran Mongol. Sesudah Imperium Inggris, kekaisaran yang beribu kota di Avarga lalu Karakorum dan Dadu (kini Beijing) ini adalah kekaisaran kedua terbesar dalam sejarah dunia. Pada masa puncak kejayaannya, Kekaisaran Mongol menguasai sekitar 33 juta km² wilayah di dunia dan berpenduduk di atas 100 juta jiwa.
Dengan demikian, berdasarkan catatan sejarah dunia, kekaisaran yang berdiri 1206 sampai 1368 ini menjadi rezim kekuasaan yang paling kuat di antara seluruh kekaisaran di dunia Abad Pertengahan. Dan – dengan sendirinya –, Pakistan pernah menjadi bagian dari sejarah politik dan kebudayaan kekaisaran yang penduduknya terdiri atas para penganut Tengriisme (Shamanisme alias penyembah bintang-bintang dan sujud kepada matahari), Budha, Kristen, dan Islam tersebut.
Kekaisaran Mongol didirikan oleh Jengis Khan pada 1206 setelah lelaki bernama asli Temujin dan lahir di Pegunungan Khentii sekitar 1162 ini sukses menyatukan suku-suku dari Pegunungan Mongolia, yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia Utara, Tibet Selatan, dan Manchuria Barat serta Turkistan Timur. Setelah sukses menyatukan suku-suku itu, maka Temujin yang sudah diberi nama Jengis Khan, menyatakan berdirinya Negara Mongolia Raya.
Bukan hanya karena mampu menyatukan suku-suku dari Pegunungan Mongolia dan mengonsolidir mereka, melainkan juga invasi besar-besaran Kekaisaran Mongol terjadi akibat pasukannya terdiri atas para prajurit yang berbadan kuat dan lincah serta pandai berperang. Seorang penyair pernah berkata, “Mereka (pasukan Mongol) seperti keturunan anjing, wajah rajanya seperti binatang buas, dan berkata bahwa Tuhan mencipta mereka dari api neraka.”[1]
Amir Khusraw, penyair Persia abad ke-13, menggambarkan para prajurit Mongol sebagai berikut: “Mereka mengendarai unta dan kuda dengan tangkas, tubuh mereka bagaikan besi, wajah membara, tatapan muka garang, leher pendek, telinga lebar berbulu dan memakai anting-anting, kulitnya kasar penuh kutu dan baunya amat tidak sedap.”[2] Dengan kata lain, pasukan Kekaisaran Mongol merupakan pasukan yang kuat, lincah, bersemangat, dan para penyerang yang ganas.
Setelah berhasil menyatukan suku-suku dari Pegunungan Mongolia, merekrut dan melatih teknik-teknik teror dan kekejaman yang canggih secara keras dan disiplin lalu mengonsolidirnya dengan baik dan apik,[3] maka Jengis Khan mempunyai modal atau memenuhi syarat penting untuk menginvasi dan menguasai Dinasti Xia Barat di Tiongkok Utara, Kerajaan Khawarezmia di Persia, dan puncaknya menguasai wilayah Asia Tenggara dan Eropa Tengah.[4]
Beberapa negara kontemporer yang pernah menyatu pada Kekaisaran Mongol diantaranya Mongolia, Tiongkok, Pakistan, Afganistan, Armenia, Aerbaijan, Belarusia, Georgia, India, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, Tajikistan, Korea Selatan, Korea Utara, Polandia, Irak, Iran, Suriah, Turki, Rumania, Ukraina, dan Rusia.
Secara berurutan, para raja Kekaisaran Mongol diantaranya Jengis Khan (1206-1227), Ogedei Khan (1229-1241), Guyuk Khan (1246-1248), Mongke Khan (1251-1259), Kublai Khan (1260-1294), dan Toghan Temur Khan (1333-1370). Jika dikaji, maka perjalanan sejarah kekaisaran ini tidak selalu mulus. Pada 1260-1264, misalnya, kekaisaran ini pernah mengalami perpecahan yang hebat. Kemudian pada 1368, kekaisaran ini benar-benar berakhir seiring runtuhnya Dinasti Yuan.
Militerisme Mongol
Para sejarawan relatif sependapat bahwa pada dasarnya, Kekaisaran Mongol tidaklah mempunyai kemampuan untuk membangun peradaban, baik ilmu pengetahuan dan etika maupun kesenian dan sebagainya. Bahkan dibanding sebagian besar tatanan masyarakat di pelbagai wilayah yang berhasil ditaklukannya, peradaban Kekaisaran Mongol nyaris tidak ada apa-apanya, tidak terkecuali manakala dibandingkan dengan Pakistan kuno yang sebelumnya pernah membangun peradaban Sungai Indus.
Dengan kata lain, bukan kekuatan logika, melainkan kelebihan Kekaisaran Mongol terletak pada logika kekuatannya. Kekaisaran ini bukan hanya memiliki pasukan militer yang bertubuh kuat dan lincah, tetapi juga cekatan menunggang kuda, piawai menggunakan berbagai senjata, dan – terutama – para pembunuh yang sangat buas. Keterampilan bertarung yang luar biasa yang dimiliki pasukannya tidak terlepas dari sentuhan Jengis Khan yang melatih mereka dengan sangat keras dan disiplin.
Tentang Jengis Khan yang kejam, dikisahkan dia mengidolakan tokoh utama cerita rakyat Mongol, Kutula Khan.[5] Kepada salah seorang jenderalnya, Jengis Khan pernah bertanya, “Apakah kebahagiaan terbesar dalam hidup ini?”. Jenderalnya menjawab, “Berburu di musim semi, mengendarai seekor kuda yang tangkas dan bagus!”. “Bukan!” kata Jengis Khan seraya melanjutkan, “Kebahagiaan terbesar adalah menaklukan musuh, mengejar mereka sampai tertangkap, lalu merampas harta mereka, memandangi kerabat dekat mereka yang meratap dan menjerit-jerit, menunggangi kuda-kuda mereka, memeluk istri dan dan anak-anak gadis mereka serta memperkosanya.”[6]
Artinya, bukan karena cemerlang membangun peradaban, tetapi Kekaisaran Mongol tampil paling kuat di antara seluruh kekaisaran di dunia Abad Pertengahan karena keunggulannya dalam berperang. Setelah memporak-porandakan lantas menguasai sejumlah wilayah yang di atasnya sudah terbentuk peradaban atau – setidak-tidaknya – kebudayaan, Kekaisaran Mongol justru lebih banyak meminta bantuan kaum cerdik pandai non-Mongol untuk membangun lagi peradaban di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, jika ada aspek yang penting ditonjolkan dari Kekaisaran Mongol, maka ia adalah aspek kemiliterannya alias kekuatannya. Kendati terkesan primitif karena cenderung bersifat destruktif (menghancurkan) alih-alih rekonstruktif (membangun), akan tetapi faktor ini terbukti efektif untuk menguasai banyak wilayah di dunia. Dengan kata lain, Kekaisaran Mongol menang dalam segi fisik (militer), tetapi – sebenarnya – kalah dalam segi ideologi.
Sebab, meski sukses menguasai aspek fisik sejumlah wilayah di dunia, namun secara ideologi justru Kekaisaran Mongo-lah yang lebih banyak dipengaruhi ideologi bangsa-bangsa non-Mongol yang telah ia taklukan. Pakistan, misalnya, takluk secara fisik kepada Kekaisaran Mongol, tetapi tidak dalam segi peradaban. Alih-alih oleh bangsa Mongol, dalam segi membangun peradaban, Pakistan justru banyak dibantu bangsa-bangsa non-Mongol. [MDK]
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Philip K. Hitti. 2008. History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Hlm 614.
[2] Ibid.
[3] Bahrum Saleh. “Jengis Khan dan Hancurnya Sebuah Peradaban”. USU Digital Library. 2003. Dalam http://www.google.co.id. PDF. Diakses di Cianjur 21 November 2018.
[4] F. W. Cleves. “The Mongol Names and Terms in the History of the Nation of the Archers by Grigor of Akanc”. Harvard Journal of Asiatic Studies, XII (1949), hlm 400-443.
[5] Op.Cit., Bahrum Saleh…
[6] Ibid.