Peci: Sintesis Keislaman dan Keindonesian (1)

in Lifestyle

Last updated on March 1st, 2018 07:39 am

“Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia. Petji jang memberikan sifat chas perorangan ini, seperti jang dipakai oleh pekerdja-pekerdja dari bangsa Melaju, adalah asli kepunjaan rakjat kita. Namanja malahan berasal dari penakluk kita. Perkataan Belanda ‘pet’ berarti kupiah. ‘Je’ maksudnja ketjil. Perkataan itu sebenarnja ‘petje’. Hajolah saudara-saudara, mari kita angkat- kita punja kepala tinggi-tinggi dan memakai petji ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”

—Ο—

 

Bila dibuat survey, 9 dari 10 orang Indonesia dewasa kemungkinan besar mengenal Peci, Songkok atau Kopeah. Hampir setiap hari di setiap masjid di Indonesia, kita menemukan orang memakai peci dalam berbagai jenis dan modelnya. Dalam porsi tertentu, peci memang sangat identik dengan budaya Islam. Tapi lebih daripada itu, peci/songkok/kopeah, khususnya yang hitam dan berbahan bludru, demikian khas dan sudah menjadi simbol kebangsaan yang tak terbantahkan. Hampir Seluruh presiden yang pernah memimpin Indonesia – kecuali Megawati – mengenakan peci di poto-poto resminya.

Adalah Bung Karno, orang yang pertama-tama memperkenalkan peci sebagai simbol kebangsaan Indonesia, dan ini diikuti oleh para penjuang lainnya. Dalam autobiografinya yang ditulis oleh seorang wartawati Amerika Serikat bernama Cindy Adams, dan diberi judul “Sukarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” atau “Sukarno An Autobiography As Told To Cindy Adams”, Bung Karno menuturkan kisahnya secara khusus terkait awal mula “peci” menjadi simbol identitas kebangsaan Indonesia. Beliau menuturkan sebagai berikut: [1]

MINGGU terachir bulan Djuni tahun 1921 aku memasuki kota Bandung, kota seperti Princeton atau kota-peladjar lainnja dan kuakui bahwa aku senang djuga dengan diriku sendiri. Kesenangan itu sampai sedemikian sehingga aku sudah memiliki sebuah pipa rokok. Djadi dapat dibajangkan, betapa menjenangkan masa jang kulalui untak beberapa waktu. Salah satu bagian daripada egoisme ini adalah berkat suksesku dalam pemakaian petji, kopiah beludru hitam jang mendjadi tanda pengenalku, dan mendjadikannja sebagai lambang kebangsaan kami.

Pengungkapan tabir ini terdjadi dalam pertemuan Jong Java, sesaat sebelum aku meninggalkan Surabaja. Sebelumnja telah terdjadi pembitjaraan jang hangat karena apa jang menamakan dirinja kaum intelligensia, jang mendjauhkan diri dari saudara-saudaranja rakjat biasa, merasa terhina djika memakai blangkon, tutup kepala jang biasa dipakai orang jawa dengan sarung, atau petji jang biasa dipakai oleh tukang betja dan rakjat-djelata lainnja. Mereka lebih menjukai buka tenda daripada memakai tutup kepala jang merupakan pakaian sesungguhnja dari orang Indonesia. Ini adalah tjara dari kaum terpeladjar ini mengedjek dengan-halus terhadap kelas-kelas jang lebih rendah.

Orang-orang ini bodoh dan perlu beladjar, bahwa seseorang tidak akan dapat memimpin rakjat-banjak djika tidak menjatukan diri dengan mereka. Sekalipun tidak seorang djuga jang melakukan ini diantara kaum terpeladjar, aku memutuskan untuk mempertalikan diriku dengan sengadja kepada rakjat-djelata. Dalam pertemuan selandjutnja kuatur untuk memakai petji, pikiranku agak tegang sedikit. Hatiku berkata-kata. Untuk memulai suatu gerakan jang djantan seperti ini setjara terang-terangan memang memerlukan kebenaran. Sambil berlindung dibelakang tukang-sate didjalanan jang sudah mulai gelap dan menunggu kawan-kawan seperdjoangan jang berlagak tinggi lewat semua dengan buka tenda dan rapi, semua berlagak seperti mereka itu orang Barat kulit putih, aku ragu-ragu untuk sedetik. Kemudian aku bersoal dengan diriku sendiri, “Djadi pengikutkah engkau, atau djadi pemimpinkah engkau ?”— “Aku pemimpin,” djawabku menegaskan—”Kalau begitu, buktikanlah,” kataku lagi pada diriku. “Hajo madju. Pakailah petjimu. Tarik napas jang dalam ! Dan masuk SEKARANG ! ! !” Begitulah kulakukan. Setiap orang memandang heran padaku tanpa kata-kata. Disaat itu nampaknja lebih baik memetjah kesunjian dengan buka bitjara, “Djanganlah kita melupakan demi tudjuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakjat dan bukan berada di atas rakjat.” Mereka masih sadja memandang.

 Aku membersihkan kerongkongan. “Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia. Petji jang memberikan sifat chas perorangan ini, seperti jang dipakai oleh pekerdja-pekerdja dari bangsa Melaju, adalah asli kepunjaan rakjat kita. Namanja malahan berasal dari penakluk kita. Perkataan Belanda ‘pet’ berarti kupiah. ‘Je’ maksudnja ketjil. Perkataan itu sebenarnja ‘petje’. Hajolah saudara-saudara, mari kita angkat- kita punja kepala tinggi-tinggi dan memakai petji ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”Pada waktu aku melangkah gagah keluar dari kereta-api di stasiun Bandung dengan petjiku jang memberikan pemandangan jang tjantik, maka petji itu sudah mendjadi lambang kebangsaan bagi para pedjoang kemerdekaan.”

Meski sudah demikian identik dengan simbol kebangsaan Indonesia, namun tidak diketahui pasti kapan dan bagaimana tepatnya peci masuk ke Nusantara. Sejak dulu, peci memang dikenal khas sebagai penutup kepala kaum pria di Nusantara khususnya orang-orang Melayu yang beragama Islam. Atau sekurang-kurangnya, peci, sarung, dan keIslaman, sejak zaman dahulu memang identik satu sama lain. Di pulau Jawa, pada masa pergerakan merebut kemerdekaan, peci identik dengan kaum santri. Para pemuda penjuang yang berasal dari kaum santri umumnya memang menggunakan peci sebagai identitas keseharian mereka, jauh sebelum Sukarno mendeklarasikan peci sebagai identitas kebangsaan kita.

Tidak hanya di Indonesia, peci juga dikenal dan sudah menjadi busana khas masyarakat Melayu sejak berabad-abad yang lalu. Rozan Yunos dalam artikelnya yang sangat terkenal The Origin of the Songkok or Kopiah di The Brunei Times, mengatakan bahwa Peci atau songkok pertama kali diperkenalkan ke bangsa Melayu oleh para pedagang Arab pada abad ke 13. Menurut Rozan, sebenarnya disamping peci, ada juga penutup kepala yang disebut sorban. Namun sorban lebih identik dengan simbol keulamaan. Sedang bagi masyarakat biasa, mereka lebih suka menggunakan songkok. Demikian luasnya penggunaan songkok pada waktu itu, hingga “menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar,” lanjut Rozan.[2]

Namun demikian, pendapat Rozan ini menimbulkan juga beberapa keraguan. Mengingat dari bentuknya, songkok atau peci tidak sama sekali mirip dengan berbagai jenis punutup kepala yang populer di dunia Arab. Di beberapa negara Islam ada dikenal fez di Turki dan tarboosh di Mesir, yang bentuknya mirip dengan peci. Menurut salah satu artikelnya di Historia.id,Di Istambul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama fezzi atau phecy. Di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan menunjukkan dukungan Muslim India atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran Ottoman.”[3] (AL)

Bersambung…

Peci: Sintesis Keislaman dan Keindonesian (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, Halaman 28

[2] Lihat, Rozan Yunos, “The Origin of the Brunei’s Kopiah”, http://bruneiresources.blogspot.co.id/2008/02/origin-of-bruneis-kopiah.html, diakses 15 Februari 2018

[3] Lihat, Hendri F. Isnaeni, “Nasionalisme Peci”, http://historia.id/retro/nasionalisme-peci, diakses 15 Februari 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*