Mozaik Peradaban Islam

Pedang Zulfiqar (5)

in Monumental

“Sejarawan mencatat, Pedang Zulfiqar terakhir kali muncul ke hadapan publik dan terlihat beraksi di medan pertempuran, adalah pada waktu terjadi tragedi Karbala. Ketika itu, Al Husein, cucu kinasih Rasulullah, bertarung dengan mengenakan baju zirah Nabi dan Pedang Zulfiqar di tangannya. Setelah itu, informasi tentang keberadaan Pedang ini menjadi simpang siur.

—Ο—

 

Demikianlah beberapa peperangan legendaris yang disaksikan kaum Muslimin tentang kehebatan Ali dan Pedang Zulfiqar. Sejarawan mencatat bahwa pedang tersebut selalu menemani Ali bin Abi Thalib dalam setiap pertempuran yang dilaluinya, baik pada masa hidup Nabi SAW, maupun setelah itu, seperti dalam Perang Shiffin dan Perang Nahrawan. Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, kisah tentang pedang Zulfiqar sudah tidak lagi terdengar.

Dalam catatan pada sejarawan, Pedang Zulfiqar terakhir kali muncul ke hadapan publik, pada waktu terjadi pembantaian keluarga Rasulullah SAW di Karbala. Ketika itu, sekitar 3000 pasukan yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash mengepung Husein bin Ali beserta hampir seluruh zuriat Rasulullah SAW. Umar bin Sa’ad ditugaskan oleh orang kepercayaan Yazid bin Muawiyah bernama Ubaidillah bin Ziad yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Kufah. Tugasnya hanya dua, mengambil bai’at dari Husein bin Ali untuk Yazid bin Muawiyah, atau membunuhnya.

Selanjutnya sebagaimana sejarah mencatat, drama paling menyayat digelar. Husein bin Ali beserta seluruh keluarga dan pengikutnya dikepung berhari-hari. Mereka tidak diizinkan kembali, tidak juga dibiarkan meneruskan perjalanan sampai Husein bin Ali bersedia memberikan bai’at untuk Yazid. Satu hal yang mustahil dilakukan oleh orang semulia Al Husein.

Sejarawan mencatat Husein bin Ali tiba di Karbala pada tanggal 2 Muharam dan akhirnya gugur di tempat ini pada 10 Muharam. Artinya selama 8 hari beliau menghabiskan sisa perbekalan, selebihnya beliau dan keluarganya menahan rasa haus dan lapar di tengah gurun yang panas menyengat. Ali Audah mengatakan bahwa sejak tanggal 7 Muharam itu, atau selama 3 hari, Husein bin Ali dan keluarganya sudah tidak lagi menenggak minuman. Satu-satunya akses air minum hanya sungai Eufrat, dan ini ditutup oleh pasukan Umar bin Sa’ad. Setiap kali pengikutnya ingin mengambil air, maka nyawa mereka taruhannya.[1]

Demi menjaga kehormatannya, satu persatu pengikut dan keluarga Husein bin Ali melawan kezhaliman ini, dan mereka gugur satu persatu. Mulai dari para budak, hingga keluarga dekat seperti putra-putra Hasan bin Ali, dan juga putra-putra Husein sendiri. Mereka semua adalah kerabat dekat Nabi Muhammad Saw. Hingga akhirnya yang tersisa tinggal Husein bin Ali dengan para wanita dari keluarga Nabi Saw yang berdiam di dalam tenda.

Hari itu, 10 Muharram 61 H, Husein bin Ali keluar dari tendanya dengan mengenakan baju zirah kakeknya, pakaian yang semestinya dikenali oleh umat Nabi Muhammad Saw. Di tangannya, Al Husein menggenggam pedang Zulfiqar, pedang Ali yang pernah diberikan Nabi Saw. Dengan segenap atribut ini, Husein bin Ali masih berharap agar mereka yang berhati keras itu masih bisa melunak dan bertaubat. Karena semua atribut tersebut adalah benda-benda paling terkenal di kalangan kaum Muslimin. Bagaimana mungkin kaum muslimin tega merobek tubuh yang dilindungi oleh baju zirah Nabi SAW?

Tapi pasukan Umar bin Sa’ad tersebut justru menggenapi kebodohannya. Tanpa ampun, mereka menggempur satu orang yang tersisa ini dengan sebuah formasi perang. Anak panah, tombak, hingga pedang berhamburan ke arah Al Husein. Meski begitu, upaya Umar bin Sa’ad tidak berlangsung mudah. Putra Ali bin Abi Thalib ini memiliki kemampuan tempur setara ayahnya. Puluhan nyawa pasukan Umar bin Saad tumpas di ujung pedang Zurfiqar. Hingga akhirnya, setelah puluhan anak panah dan tebasan pedang merobek tubuh beliau, cucu kinasih Nabi ini mereguk kesyahidan dengan tetap memegang teguh prinsipnya.[2]

Kisah pembantaian keluarga Nabi Muhammad SAW di Karbala, adalah satu kisah yang paling menyayat dalam sejarah Islam. Menurut Tabari, pasukan Umar bin Sa’ad tidak hanya membunuh keluarga Nabi SAW, tapi juga memenggal tak kurang dari 70 kepala korban-korbannya, dan menancapkannya di ujung tombak, lalu membawanya ke Ubaidillah bin Ziad di Kufah.[3] Dan bila melihat dari nama-nama korban yang disebutkan oleh Tabari, hampir setengahnya dari korban-korban ini adalah sanak keluarga Al Husein sendiri. Menurut Ali Audah, pada peristiwa Karbala ini, personil Husein bin Ali hanya terdiri dari 72 orang, 32 orang berkuda dan 40 pejalan kaki. Adapun jumlah pasukan yang dibawa oleh Umar bin Sa’ad atas perintah Ubaidillah bin Ziyad sebanyak 4000 orang.[4] Dengan kata lain bisa anggap, bahwa yang dibawa Al Husein ini memang bukan sebuah pasukan tempur. Sehingga peristiwa yang terjadi di Karbala lebih layak disebut sebagai pembantaian daripada sebuah pertempuran.

Terkait dengan keberadaan Pedang Zulfiqar, sejak tragedi Karbala, informasi tentang keberadaannya menjadi simpang siur. Ali Audah mengatakan bahwa ketika Al Husein terbunuh, pasukan Umar bin Sa’ad menjarah juga atribut yang menempel pada jasad Al Husein, termasuk pedangnya. Tak lupa mereka juga berhamburan ke kemah yang didiami oleh para wanita dari keluarga Nabi Saw. Pasukan ini menjarah harta mereka, menawan mereka, dan memperlakukan wanita dari keturunan Rasulullah Saw ini layaknya budak. [5]

Bila riwayat tersebut benar, agaknya memang sulit melacak informasi tentang keberadaan Pedang Zulfiqar. Sebab berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, seperti hilang, berpindah-pindah tangan, disimpan atau bahkan dimusnahkan. Namun sebagian pendapat mempercayai, bahwa Pedang Zulfiqar tetap dijaga oleh keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah SAW. Adapun salah satu pendapat yang paling terkenal di masyarakat Islam, Pedang Zulfiqar akan dipegang oleh Imam Mahdi saat kemunculan beliau di akhir zaman. Wallahualam bi sawab

Selesai

Sebelumnya:

Pedang Zulfiqar (4)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husein, Jakarta, Lentera AntarNusa, 2003, hal. 449

[2] Hanya satu laki-laki yang tersisa dalam pembantaian ini, yaitu Ali bin Husein yang ketika itu sedang mengalami sakit keras. Menurut Akbar Shah Najeebabadi, ketika Syamir melihat Ali bin Husein, iapun sebenarnya ingin membunuhnya. Namun Umar bin Sa’ad melarangnya. Ali bin Husein akhirnya dirantai, dan dipaksa berjalan hingga ke Kufah bersama para wanita dan kepala-kepala yang ditancapkan di ujung tombak para prajurit Umar bin Sa’ad. Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 79

[3] Saat Husein bin Ali terbunuh, kepala-kepala tersebut dibawa ke Ubaydillah bin Ziyad. Suku Kindah membawa tiga belas kepala, dan pemimpin mereka adalah Qays b. al-Ash ‘ath. Suku Hawazin membawa dua puluh kepala, dan pemimpin mereka adalah Shamir b. Dhi al-Jawshan. Sukum Tamim membawa tujuh belas kepala. Bani Asad membawa enam kepala. Madhhij membawa tujuh kepala. Dan sisa tentara membawa tujuh orang kepala. Total semua jumlah kepala tersebut adalah tujuh puluh kepala. Lihat, Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XIX., Op Cit, hal. 179

[4] Lihat, Ali Audah, Op Cit, hal. 448

[5] Lihat, Ibid, hal. 448

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*