“Kabar tentang keberhasilan ekspedisi militer kelompok Zanj menaklukkan kota-kota seperti al-Ubullah, Jubbah dan al-Ahwaz menyebar dengan cepat. Tapi bersamaan dengan itu, kisah pembantaian dan penjarahan yang terjadi selama penaklukan mereka menjadi teror bagi seluruh negeri.”
—Ο—
Sebagaimana dikisahkan oleh al-Tabari, peristiwa penghancuran al-Ubulla oleh pemberontak Zanj telah menebar teror ke sejumlah wilayah di sekitarnya. Salah satunya adalah wilayah `Abbadan, yang terletak tak jauh dari al-Ubullah (lihat peta).[1]
Begitu mendengar kekejaman yang terjadi di al-Ubullah, penduduk kota `Abbadan segera menyatakan menyerah tanpa syarat. Mereka berbondong-bondong menyerahkan semua harta benda, budak, dan peralatan perang mereka. Semua hasil rampasan perang dari ‘Abbadan ini kemudian digunakan pemberontak Zanj untuk menggandakan kekuatan ekspedisi militer mereka selanjutnya, yaitu ke kota Jubba (lihat peta).[2]
Kota Jubba adalah kota penaklukan yang dijadikan pangkalan terakhir kelompok Zanj, sebelum akhirnya menaklukkan al-Ahwaz. Sama halnya dengan `Abbadan, penduduk kota Jubba juga tidak memberikan perlawanan sedikitpun pada kelompok Zanj. Alih-alih, mereka malah berlarian meninggalkan pemukimannya. Akibatnya, kota ini mengalami kehancuran yang parah. Penduduknya dibunuh dengan kejam, harta benda mereka dijarah, dan kota mereka dihancurkan.[3] Dan seperti biasa, perbuatan keji yang dilakukan oleh kelompok Zanj pada korban-korbannya telah menebar teror ke wilayah-wilayah lain di sekitarnya.
Setelah selesai menghancurkan Jubba, kelompok Zanj mulai berderap ke arah al-Ahwaz. Gubernur Abbasiyah yang bertanggungjawab atas keamanan di sana bernama Said bin Yaksin. Tapi mungkin disebabkan takut, dia melarikan diri meninggalkan kota bersama para prajuritnya. Tak ayal, sikap ini diikuti oleh penduduk al-Ahwaz yang ikut menyelamatkan diri ke berbagai wilayah di sekitarnya.[4]
Menurut al-Tabari, elit al-Ahwaz yang tetap memilih tinggal adalah Ibrahim bin Muhammad bin al-Mudabbir yang bertanggungjawab atas asset dan pajak. Ketika pemberontak Zanj memasuki kota, Ibrahim langsung disiksa dan ditahan. Harta bendanya disita, termasuk uang, perabot, dan budak-budak yang dimilikinya. Peristiwa ini berlangsung pada 12 Ramadhan 256 H/ 13 Agustus 870 M, atau hanya sekitar setahun sejak deklarasi pemberontakan Zanj pada Idul Fitri 255 H.[5]
Kabar tentang keberhasilan ekspedisi militer kelompok Zanj hingga ke al-Ahwaz menyebar dengan cepat ke seluruh negeri. Di Basrah, kepanikan terjadi. Meski kota ini terbilang aman, karena belum menjadi target serangan kelompok Zanj, tapi penduduknya merasa terteror oleh sejumlah berita penaklukkan Zanj atas kota-kota seperti al-Ubullah, Jubbah, dan al-Ahwaz. Banyak dari mereka yang memilih melarikan diri dari Basrah dan mencari tempat yang lebih aman. Fenomena tersebut kemudian mendorong pemerintah pusat Abbasiyah untuk memerintahkan Sa’id bin Salih al-Hajib, yang merupakan pengganti Ju’lan al-Turki, untuk lebih agresif memadamkan pemberontakan.[6]
Menanggapi perintah tersebut, Sa’id bin Salih al-Hajib kemudian bergerak keluar dari Basrah bersama pasukannya untuk menentang kekuatan pemberontak Zanj. Ali bin Muhammad kemudian mengutus jenderalnya yang bernama Yahya bin Muhammad al-Bahrani untuk meladeni tantangan tersebut.
Pertempuran antara pasukan Sa’id bin Salih al-Hajib melawan kelompok Zanj yang dipimpin Yahya bin Muhammad al-Bahrani terjadi pada Oktober-November 870 M. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan di pihak Sa’id bin Salih al-Hajib. Sa’id berhasil meraup harta rampasan perang yang banyak, termasuk budak-budak wanita. Sedang Yahya untuk sementara terpaksa mundur guna mengevaluasi kinerjanya.[7]
Setelah kemenangan pertamanya atas pemberontak Zanj, Said memilih tetap melanjutkan ekspedisi militernya untuk memadamkan pemberontakan. Tapi ternyata ekspedisi militernya tidak berlangsung lama. Seperti biasa, pemberontak Zanj memiliki kemampuan mengevaluasi diri yang sangat cepat. Tak menunggu waktu lama, Ali bin Muhammad kembali memerintahkan Yahya bin Muhammad al-Bahrani untuk menyergap pasukan Said. Dalam waktu sangat cepat, pasukan Said yang sudah kelelahan langsung kocar kacir menghadapi serangan pemberontak Zanj.[8]
Kerugian yang diakibatkan oleh serangan tersebut, menyebabkan ekspedisi militer Said harus terhenti. Dia pun diperintahkan kembali ke Samarra. Pemerintah pusat kemudian mengganti Said dengan sosok bernama Mansur ibn Ja’far al-Khayyat.[9] Tugasnya sama, yaitu untuk memadamkan pemberontakan kelompok Zanj, mengamankan Basrah dari ancaman, serta membebaskan al-Ahwaz dari pendudukan Zanj.
Di tempat yang berbeda, setelah berhasil menaklukan al-Ahwaz, pemberontakan Zanj terus merangsek ke utara menaklukkan kota-kota kecil lainnya. Hanya saja yang mungkin tidak terlalu diperhitungkan oleh kelompok Zanj, kawasan al-Ahwaz juga merupakan sumber pendapatan penting bagi para budak Turki yang kini berkuasa secara de facto di Samarra. Sehingga wajar bila mereka adalah kelompok yang paling berkepentingan memadamkan pemberontakan di al-Ahwaz.
Ditambah lagi, bangkrutnya keuangan Negara, membuat tentara dari Turki ini kian lapar. Mereka semakin panik ketika setoran dari khalifah tersendat dan pada saat bersamaan suplai yang biasanya mengalir dari al-Ahwaz harus terhenti atau berkurang akibat blokade yang dilakukan oleh para pemberontak Zanj. Pada akhirnya, situasi tersebut secara signifikan mempengaruhi juga dinamika politik di Samarra. (AL)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] The History of al-Tabari Volume XXXVI, The Revolt of the Zanj, Translated by David Waines, State University of New York Press, 1992, hal. 110
[2] Ibid, hal. 111
[3] Ibid
[4] Ibid, hal. 112
[5] Ibid, hal. 112
[6] Ibid
[7] Ibid, hal. 120
[8] Ibid, hal. 121
[9] Ibid, hal. 122