Persia menderita kekalahan besar dan Kaisar Heraklius berhasil mendesak Kisra ke Ctesiphon. Pada saat itulah malaikat datang menemui Kisra, menembus dinding istananya dengan bercahaya.
Setelah membaca surat dari Nabi Muhammad saw, Kisra II (Abarwiz) langsung merobek-robek surat tersebut, dan dengan congkak dia berkata, “Seorang budak hina di antara rakyatku berani menulis namanya sebelum namaku!”
Ketika Nabi mendengar bagaimana Kisra telah merobek-robek suratnya, beliau berkata, “Meski begitu Allah akan menghancurkan kerajaannya.”[1] Kelak kita akan melihat kebenaran dari sabda Nabi tersebut.
Setelah itu, Kisra menulis surat kepada Badhan, gubernurnya di Yaman, yang menyatakan, “Utuslah dua orang yang gagah perkasa untuk menemui orang dari Hijaz ini (Nabi Muhammad), dan setelah itu hendaklah mereka berdua membawanya untuk menemuiku.”[2]
Sasaniyah Vs Bizantium
Sementara kegiatan surat menyurat ini berjalan (627-628 M), Persia sebenarnya sedang terlibat perang dengan Kekaisaran Bizantium (Kekaisaran Kristen Romawi Timur) yang dipimpin oleh Kaisar Heraklius. Sekarang mari kita tarik mundur sedikit alur sejarahnya.
Pada tahun 590 M, Kisra didesak untuk lari dari Persia karena Jenderal Persia yang kuat, Bahram Chubin, mencoba mengkudetanya. Di sisi lain, Pangeran Persia, Bestam, juga mencoba mencari peruntungan dengan situasi ini, dia pun menginginkan takhta raja.
Di tengah situasi yang sulit ini, Kisra lari ke Bizantium, dan meminta bantuan dari kaisarnya waktu itu, Kaisar Maurice. Maurice bersedia membantunya, dan dengan kekuatan militer dia menyerang Persia dan menyingkirkan pihak-pihak yang mengkudeta Kisra.
Demikianlah, pada tahun 591 M Kisra akhirnya memperoleh takhtanya kembali di Ctesiphon. Di bawah Kisra, Dinasti Sasaniyah kemudian mencapai kemegahan dan kekayaan materi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hingga pada tahun 602 M, Bizantium bergejolak, Kaisar Maurice dibunuh. Dengan alasan hendak membalas dendam atas pembunuhan Maurice yang telah membantunya naik tahkta, Kisra kemudian mengobarkan perang terhadap Kekaisaran Bizantium.
Dalam perang ini pasukan Persia berhasil merangsek masuk wilayah Bizantium hingga menembus ke Kalsedon (kota tetangga Konstantinopel, ibukota Bizantium), menghancurkan Suriah, dan merebut Antiokhia (611 M), Damaskus (613 M), dan Yerusalem (614M); dan pada tahun 619 Mesir juga berhasil diduduki. Pada masa-masa itu Kekaisaran Bizantium sedang berada pada titik terendahnya.
Pada tahun 610 M, Kaisar Bizantium yang baru naik takhta, dialah Heraklius. Selama bertahun-tahun Heraklius berusaha untuk membangun kembali kekuatan militernya, dengan membentuk pasukan inti yang baru. Bagaimanapun, Heraklius baru merasa kekuatan Bizantium pulih pada tahun 622, dan pada saat itulah dia memutuskan untuk menyerang balik Persia.
Pasukan Bizantium merangsek masuk ke wilayah Persia dan pasukan Sasaniyah mengalami kekalahan di mana-mana. Pada tahun 624 Heraklius menginvasi Atropatene (Azerbaijan) dan menghancurkan kuil api Zoroastrian, dan pada tahun 627 dia memasuki provinsi Tigris, jantung Persia.[3]
Kaisar Heraklius, setelah memerangi Persia selama enam tahun, dari tahun 622 hingga 628 M, akhirnya berhasil mengusir Persia dari wilayah yang disengketakan dan mengejar mereka ke gerbang Ctesiphon.[4]
Heraklius tidak melanjutkan penyerangan ke Ctesiphon karena Kanal Nahrawan terhalang oleh runtuhnya jembatan. Demi menjaga kebutuan logistik pasukannya, Heraklius lebih memilih untuk mundur.
Meskipun kemenangan Heraklius tidak total, namun hal ini sudah cukup untuk menciptakan momentum bagi kokohnya posisi Heraklius di Bizantium, sekaligus, menciptakan perpecahan internal di tubuh Dinasti Sasaniyah.[5]
Dalam masa-masa sulit inilah, dalam sudut pandang sejarah Islam, malaikat mendatangi Kisra, sebagaimana diriwayatkan oleh Hasan al-Basri:
Para sahabat Rasulullah berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa Allah membujuk Kisra demi upaya bagi dirimu (menjadi pengikut Nabi)?”
Nabi bersabda, “Allah mengirimkan kepadanya seorang malaikat, yang mengulurkan tangannya melalui dinding rumah di mana dia berada, bersinar dengan cahaya. Ketika Kisra melihatnya, dia terkejut.”
Malaikat itu berkata, “Mengapa engkau begitu takut, wahai Kisra? Tuhan telah mengutus seorang nabi dan mengirimkan kepadanya sebuah kitab, jadi ikutilah dia, dan engkau akan selamat dalam kehidupanmu saat ini dan di kehidupan berikutnya.”
Kisra menjawab, “Aku akan memikirkannya.”[6] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Safiur-Rahman Mubarakpuri, When the Moon Split: A Biography of Prophet Muhammad (Darussalam, 1998), hlm 220-221.
[2] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 462.
[3] Adrian David Hugh Bivar dan Mark J. Dresden, The Sasanian Period (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2014).
[4] Agha Ibrahim Akram, The Muslim Conquest of Persia (Maktabah: Birmingham, 1975), hlm 7.
[5] Walter E. Kaegi, Heraclius Emperor of Byzantium (Cambridge University Press: United Kingdom, 2003), hlm 168, 172-173.
[6] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 5, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh C. E. Bosworth (State University of New York Press: New York, 1999), hlm 335.