Para ahli nujum mengetahui bahwa seorang nabi telah, atau akan diutus, dan kekuatannya akan menghancurkan Persia. Namun mereka berbohong kepada Kisra karena takut dibunuh.
Setelah sebelumnya para peramal, ahli sihir, dan ahli nujum diperintahkan oleh Kisra (Abarwiz) untuk mencari tahu dan menyelidiki sebab-sebab runtuhnya atap istana dan jebolnya bendungan di Tigris, mereka pergi untuk melakukan tugas mereka.
Sekarang mari kita lanjutkan kembali riwayat dari Wahab bin Munabbih yang dituturkan oleh al-Tabari:
Mereka pergi dari hadapannya dan menyelidiki urusannya, namun seluruh penjuru langit menjadi tertutup bagi mereka dan bumi menjadi gelap; mereka memanfaatkan sepenuhnya sumber-sumber pengetahuan mereka, tetapi tidak satu pun sihir para penyihir atau kemampuan para peramal itu untuk melihat ke masa depan yang terbukti manjur, begitu pula pengetahuan para ahli nujum tentang bintang-bintang tidak ada gunanya.
Al-Saib menghabiskan seluruh malam yang gelap dan mendung di sebuah bukit kecil, di mana dia melihat kilatan petir yang muncul dari arah Hijaz, terbang melintasi langit, dan mencapai sejauh Timur. Keesokan paginya, dia melihat apa yang ada di bawah kakinya, dan lihatlah, ada padang rumput hijau.
Dia kemudian membuat pernyataan dalam perannya sebagai peramal, “Jika apa yang aku lihat itu benar, akan muncul dari Hijaz sebuah kekuasaan (sultan) yang akan mencapai Timur dan dari sana bumi akan tumbuh hijau dan subur – jauh melebihi ketimbang kerajaan sebelumnya.”[1]
Ketika para peramal dan ahli nujum membicarakannya bersama secara diam-diam (tentang apa yang telah mereka lihat) dan melihat apa yang telah terjadi pada diri mereka sendiri (ilmu mereka tertutup), dan menyadari bahwa hanya Saib yang benar-benar melihat sesuatu, mereka berkata kepada satu sama lain, “Kalian tahu, demi Tuhan, bahwa itu hanya dari sesuatu yang berasal dari langit yang telah mencegah kalian untuk menggunakan ilmu khusus kalian.
“Itu (terjadi – ilmu kami tertutup) karena seorang nabi telah diutus (oleh Tuhan), atau akan segera diutus, yang akan mengambil kekuatan kerajaan saat ini dan menghancurkannya.
“Tetapi jika kalian memberi tahu kepada Kisra tentang kehancuran kekuasaan kerajaannya yang akan datang, dia pasti akan membunuh kalian.
“Jadi karanglah di antara kalian sendiri beberapa penjelasan yang dapat kalian berikan kepadanya yang akan menangkis (murkanya) kepada kalian untuk beberapa waktu yang lama.”
Lalu mereka menemui Kisra dan memberitahunya. “Kami telah menyelidiki masalah ini dan telah menemukan bahwa perhitungan bintangmu, kepada siapa engkau mempercayakan ramalan untuk membangun atap istana kerajaanmu dan juga untuk pembangunan bendungan di seberang Dijlah al-Awra, didasarkan perhitungan mereka pada bintang-bintang yang tidak menguntungkan.
“Ketika siang dan malam secara berturut-turut mengerjakan konstruksi itu, bintang-bintang yang tidak menguntungkan mengambil posisi mereka yang paling jahat, sehingga segala sesuatu yang didasarkan pada malam dan siang itu hancur.
“Namun, kami dapat membuat perhitungan untuk engkau mengenai kapan engkau harus memulai pekerjaan pembangunan ulang, dan yang ini tidak akan dihancurkan (oleh bintang-bintang jahat).”
Kisra berkata, “Kalau begitu buatlah perhitungannya.”
Mereka melakukan ini untuknya dan (setelah selesai menghitung) mengatakan kepadanya, “Sekarang bangunlah!”
Jadi dia melakukan itu (pembangunan bendungan), dan mengerjakannya di Tigris selama delapan bulan, mengeluarkan uang yang tak terhitung banyaknya.
Ketika akhirnya selesai, Kisra bertanya kepada mereka, “Haruskah aku duduk di atas tembok bendungan?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Jadi dia memerintahkan agar karpet dan penutup dan ramuan aromatik untuk ditempatkan di atasnya. Dia memerintahkan para marzban (gubernur) untuk berkumpul di hadapannya, begitu pula para musisi dan pemain (la’abun). Kemudian dia pergi dan duduk di atasnya.
Namun ketika dia duduk di sana, Tigris menghancurkan konstruksi itu dari bawah dia, dan dia terselamatkan (dari situ) menjelang napas terakhirnya.[2] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Mengacu kepada, tentu saja, kebangkitan Nabi Muhammad saw dan lahirnya agama baru di Makkah.
[2] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 5, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh C. E. Bosworth (State University of New York Press: New York, 1999), hlm 332-333.