Rasulullah saw menulis surat untuk Kisra, “…. Masuklah Islam, niscaya Tuan akan selamat. Namun jika Tuan menolak, maka dosa orang-orang Majusi ada di pundak Tuan.” Setelah membacanya Kisra langsung merobek-robeknya.
Perang Dhu Qar
Setelah pada masa-masa awal diangkatnya Muhammad saw sebagai Nabi Allah, dan Kisra mendapatkan tanda-tanda serta pemberitahuan tentang hal ini dari para peramal, ahli sihir, dan ahli nujumnya, kehidupan di antara orang-orang Muslim dan Persia berjalan masing-masing.
Tidak banyak persentuhan peradaban di antara Muslim dan Persia pada masa-masa ini, terkecuali terjadinya perang antara suku Arab non-Muslim dengan pasukan Kisra di Dhu Qar, sebuah daerah di dekat Kufah, Irak.
Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai waktu pasti terjadinya Perang Dhu Qar, ada yang mengatakan tahun 623 atau 624 M dan ada juga yang mengatakan 606 hingga 622 M. Namun sejarawan modern seperti Gustav Rothstein, A. P. Caussin de Perceval, dan C. E. Bosworth mengelaborasi dan mempersempitnya menjadi 604 hingga 611 M.[1]
Perang Dhu Qar adalah perang yang terjadi di antara Kabilah Rabiah dari Arab dengan pasukan Persia Sasaniyah Kisra II (Abarwiz). Kabilah Rabiah sendiri sebenarnya di dalamnya terdiri dari beberapa kabilah lagi, namun yang paling dominan di antara mereka adalah Kabilah Bani Bakar bin Wail.[2]
Bani Bakar bin Wail adalah kabilah Kristen Arab yang tinggal di bagian timur laut Jazirah Arab dan pinggiran selatan Irak. Pada masa Kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq ra kabilah ini menyatakan masuk Islam dan berbaiat kepada khalifah. Kelak, Kabilah Bani Bakar bin Wail akan memainkan peranan inti dalam peristiwa penaklukan Islam ke Persia.[3]
Kembali kepada Perang Dhu Qar, mengenai perang ini, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Tabari, Nabi Muhammad saw bersabda, “Ini (adalah) pertempuran pasukan (Arab) pertama (yawm) di mana orang Arab telah mengamankan hak mereka dari Persia (intasafat al-Arab min al-Ajam), dan melalui diriku mereka diberi kemenangan.”[4]
Surat Nabi kepada Kisra
Tahun demi tahun berlalu semenjak Rasulullah saw diangkat menjadi nabi, hingga Kaum Muslim memantapkan posisi mereka di Madinah. Kemudian pada tahun 6 H/628 M sekembalinya dari Hudaibiyah, di mana umat Islam membuat perjanjian damai sementara dengan Quraisy Makkah, Rasulullah saw menulis surat yang ditujukan kepada beberapa raja.
Saat hendak menulis surat, ada seseorang yang memberitahunya, “Sesungguhnya mereka tidak akan mau menerimanya kecuali jika surat itu disertai dengan cincin stempel.”
Karena itu beliau membuat cincin stempel yang terbuat dari perak, dengan cetakan yang berbunyi, “Muhammad Rasul Allah.”
Setelah suratnya dibuat beliau mengutus para utusan yang dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang raja-raja dan negara-negara yang bersangkutan. Al-Allah al-Mansurfuri memastikan bahwa beliau mengutus para utusan ini pada awal bulan Muharram 7 H/628 M, yaitu beberapa hari sebelum beliau pergi ke Khaibar.[5]
Surat-surat itu dikirim kepada Raja Habasyah, Raja Mesir, Raja Persia, Raja Romawi, Pemimpin Bahrain, Pemimpin Yamamah, Pemimpin Damaskus, dan Raja Oman.
Adapun surat untuk Kisra II (Abarwiz), Rasulullah saw menulis:
Bismillahirahmanirahim.
Dari Muhammad Rasul Allah kepada Kisra, pemimpin Persia. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Aku menyeru Tuan dengan seruan Islam. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada seluruh manusia untuk memberi peringatan kepada orang yang hidup dan membenarkan perkataan atas orang-orang kafir.
Masuklah Islam, niscaya Tuan akan selamat. Namun jika Tuan menolak, maka dosa orang-orang Majusi ada di pundak Tuan.
Rasulullah mengutus Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi untuk mengantarkan surat tersebut. Surat itu kemudian disampaikan kepada pemimpin Bahrain. Tidak diketahui apakah pemimpin Bahrain mengutus bawahannya untuk mengantarkan surat tersebut, atau Abdullah sendiri yang mengantarkannya.
Namun, siapa pun yang menyampaikan surat tersebut, yang pasti setelah membacanya Kisra langsung merobek-robek surat tersebut, dan dengan congkak berkata, “……..”[6] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Ella Landau-Tasseron, “ḎŪ QĀR”, dari laman https://iranicaonline.org/articles/du-qar, diakses 23 Agustus 2020.
[2] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 5, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh C. E. Bosworth (State University of New York Press: New York, 1999), hlm 338.
[3] Agha Ibrahim Akram, The Muslim Conquest of Persia (Maktabah: Birmingham, 1975), hlm 9, 17.
[4] Al-Tabari, Loc.Cit.
[5] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 457,
[6] Ibid., hlm 462.