Sa’ad ibn Muadz berkata pada Abu Jahal, “Demi Allah, ingatlah ucapanku ini! jika kau menghalangiku beribadah haji, aku benar-benar akan menghalangi mu melakukan sesuatu yang jauh lebih berarti bagimu. Aku akan merintangi jalur perdagangan mu yang melintasi Madinah!”
—Ο—
Salah satu titik monumental dalam sejarah awal Islam adalah Perang Badr. Perang ini secara signifikan berhasil mengembalikan kedudukan kaum Muslimin ke posisi yang semestinya. Sebelumnya, kaum Muslimin di Mekkah diperlakukan sangat tidak manusiawi. Mereka ditindas, dihina, dan dianiaya oleh kaum kafir Mekkah. Bahkan mereka di biokot, di isolasi dari pergaulan masyarakat di tempat bernama Syi’ib Abu Thalib. Penduduk Mekkah dilarang melakukan jual beli dengan mereka; dilarang menikahkan anggota keluarga mereka dengan kaum Muslimin, dan mereka hanya diperbolehkan keluar dari Syi’ib Abu Thalib kecuali untuk melakukan Umrah pada bulan Syawal atau berhaji pada bulan Haji.[1]
Kejahatan yang dilakukan oleh kaum kafir Mekkah ini tidak pernah dilakukan sebelumnya pada siapapun di Mekkah. Ibn Hisyam dalam Sirah Nabawiyah yang ditulisnya mengatakan “Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib menjalani pemboikotan orang-orang Quraisy selama dua atau tiga tahun, hingga mereka mengalami kesengsaraan yang luar biasa, karena tidak ada makanan atau minuman yang bisa sampai pada mereka kecuali secara diam-diam dan siapa pun dan orang-orang Quraisy tidak bisa berhubungan dengan mereka kecuali dengan rahasia.”[2]
Meski mereka demikian tertindas, tapi bukan berarti tidak ada peralawanan sedikitpun dari kaum Muslimin atas menindasan yang terjadi. Kontak fisik bahkan kontak senjata kerap terjadi antara kaum Muslimin dengan kaum kafir Mekkah selama masa boikot tersebut. Meski keributan tersebut tidak berujung pada akibat yang fatal, karena masyarakat umum sebenarnya memaklumi perlawanan yang dilakukan oleh kaum Muslimin, mengingat perlakukan zhalim yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy sudah jauh di luar keadaban.
Akhirnya, setelah 3 tahun berada dalam biokot, pada tahun 622 M, Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW dan kaum Muslimin untuk hijrah. Ketika kaum Muslimin hijrah, kaum kafir Mekkah menjarah harta benda mereka, bahkan mengambil rumah-rumah dan ternak mereka. Sedang di Madinah, kaum Muhajirin dari Mekkah tersebut benar-benar sebatang kara. Layaknya pengungsi, mereka hanya membawa barang-barang kebutuhan seadanya. Pada tahun pertama hijrah, kaum Muhajirin tersebut tinggal di serambi Masjid Nabawi yang mereka buat bersama. Sehingga muncul istilah Ashhab Al-Shuffah atau sahabat yang tinggal di serambi.[3]
Untuk memperkuat mereka, Rasulullah SAW kemudian mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, agar saudaranya (kaum Anshar) dapat mengurangi beban saudaranya (kaum Muhajirin). Tapi gangguan dan ancaman dari kaum kafir Mekkah terus datang baik secara langsung maupun tidak langsung kepada kaum Muslimin di Madinah. Mereka seperti tidak bisa menerima kegagalan mereka dalam menjaga pembiokotan, sehingga kaum Muslimin berhasil melakukan hijrah ke Madinah. Dan pada titik inilah kemudian Rasulullah SAW mulai melakukan reaksi yang lebih agresif pada kaum kafir Mekkah, salah satunya, beliau SAW mengobarkan perang ekonomi dengan mereka.[4]
Rencana untuk melakukan perang ekonomi antara Madinah-Mekkah ini sebenarnya sudah terjadi sebelumnya, ketika suatu hari pada musim Haji di Mekkah, Abu Jahal mendatangi salah seorang tokoh terkemuka Madinah dan berkata, “Aku melihatmu tawaf dengan nyaman di Mekkah, sementara kalian memberi tempat tinggal yang nyaman bagi orang-orang murtad. Kalian juga bersumpah akan melindungi dan menolong mereka. Ketahuilah, hai Sa’ad,[5] demi Allah, seandainya kau tidak punya hubungan baik dengan Abu Sufyan – atau Umayyah bin Khalaf – niscaya kau tidak akan pulang ke keluargamu dengan selamat”.
Mendengar ancaman tersebut, Sa’ad balik menggeretak, “Demi Allah, ingatlah ucapanku ini! jika kau menghalangiku beribadah haji, aku benar-benar akan menghalangi mu melakukan sesuatu yang jauh lebih berarti bagimu. Aku akan merintangi jalur perdagangan mu yang melintasi Madinah!”[6]
Dengan demikian, dimulailah satu babak baru dalam hubungan Mekkah-Madinah. Ditinjau dari aspek geo-strategis, sebenarnya Madinah lebih diuntungkan dalam perang ekonomi ini. Karena posisi mereka berada di antara Mekkah dan Syam yang merupakan jalur perlintasan kafilah dagangan dari kaum kafir Mekkah. Sehingga orang-orang Madinah bisa leluasa mencegat barang-barang bawaan tersebut kemudian menyitanya ketika melintasi Madinah. Dan barang-barang ini, umumnya memang milik para peninggi Mekkah yang menginisiasi penganiayaan dan penjarahan atas harta benda kaum Muslimin. (AL)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Lihat, O. Hashem, Muhammad Sang Nabi; Penelusuran Sejarah Nabi secara Detail, Jakarta, Ufuk Press, 2004, hal. 87
[2] Lihat, Sirah Nabawiah Ibn Hisyam (jilid 1), Fadhli Bahri, Lc (Penj), Jakarta, Batavia Adv, 2000, hal.
[3] DR. Syauqi Abu Khalil, Atlas Jejak Agung Muhammad, Jakarta, Noura Books, 2015, hal. 70
[4] Ibid
[5] Sa’ad ibn Muadz tidak termasuk salah seorang pemimpin Madinah yang ikut dalam Bai’at Aqabah. Ia memeluk Islam pada tahun 622 M (1 H), ketika Nabi Muhammad tiba di Madinah. Ia adalah salah satu dari figur kuat di antara golongan Anshar. Sa’ad adalah sahabat dari Umayah bin Khalaf. Ketika Sa’ad berada di Mekkah, ia biasanya tinggal di rumah Umayah dan ketika Umayah ke Madinah, ia akan tinggal di rumah Sa’ad. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Sa%27ad_bin_Mu%27adz, diakses 27 Juni 2018
[6] Lihat, DR. Syauqi Abu Khalil, Op Cit