Pada masa Khalifah Umar, kaum Muslimin mendirikan salat tarawih 20 rakaat. Pada masa Umar Bin Abdul Aziz, 36 rakaat. Dua pendapat ini menurut Maliki sama-sama benar.
Setelah selesai delapan rakaat salat tarawih, beberapa jamaah ada yang meninggalkan tempat salat. Mereka kemudian melanjutkan salat witir sebanyak tiga rakaat di tempat lain yang memang sudah disediakan oleh pengurus masjid bersama beberapa jamaah lain. Sementara sisanya tetap melanjutkan salat tarawih sampai selesai dua puluh rakaat yang kemudian dilanjutkan dengan tiga rakaat salat witir.
Situasi seperti inilah yang terjadi di masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga di beberapa masjid lainnya. Memang terjadi perselisihan dan beberapa pendapat terkait rakaat salat tarawih, salat tahunan yang didirikan ketika malam hari bulan Ramadan. Sebagian ada yang berpendapat delapan rakaat, dua puluh, dan bahkan ada juga yang mendirikan salat ini dengan tiga puluh enam rakaat.
Beberapa masjid mungkin secara khusus dari tahun ke tahun mendirikan salat tarawih dua puluh rakaat, atau delapan rakaat atau lebih. Tetapi tidak dengan yang berlangsung di masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, di sini secara sekaligus, baik yang ikut pemahaman delapan atau dua puluh, sama-sama melaksanakan salat tarawih dengan imam yang sama dalam satu atap.
Jumhur ulama mengatakan bahwa jumlah rakaat salat tarawih dari Nabi Muhammad Saw tidak memiliki batasan yang pasti. Oleh karenanya, tidak ada kesepakatan di antara para ulama terkait jumlah rakaat salat tarawih. Pada masa Khalifah Umar, diriwayatkan bahwa kaum Muslimin mendirikan salat tarawih dua puluh rakaat. Pada masa Umar Bin Abdul Aziz, umat Muslim mendirikan salat ini dengan jumlah rakaat tiga puluh enam. Dua pendapat ini menurut Maliki sama-sama benar.
Kalangan yang berpendapat jumlah rakaat tarawih delapan, mengambil hadis yang diriwayatkan Abu Salamah Bin Abdurrahman.
Di sinilah contoh keragaman pengamalan bisa kita lihat dapat berjalan dengan harmonis. Hal ini merupakan representasi dari keragaman yang terjadi di Indonesia, bahwa masyarakat dapat bersikap luwes tanpa menyalahkan golongan yang berbeda pendapat. Keragaman yang dimaksud adalah latar belakang budaya, ras, suku, agama, dan juga praktek pengamalan dalam agama yang sama. Sebab pada teks yang sama, bisa jadi terdapat penafsiran yang beragam.
Keragaman adalah realitas yang sangat baik jika kita sikapi dengan tangan terbuka. Dalam konteks perbedaan jumlah rakaat salat tarawih misalnya, kita terpaut jauh beberapa abad dari masa Nabi Muhammad Saw, yang mana berdasarkan beberapa pendapat, tidak ada batasan rakaat pada masanya. Bahkan generasi sahabat Nabi dan Tabiin, hanya bisa menafsirkan melalui riwayat-riwayat hadis yang sangat terbatas.
Pun demikian pada persoalan perbedaan hal-hal lainnya. Dalam bingkai kebangsaan Indonesia, sering diistilahkan dengan Bhinneka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan. Adanya perbedaan antara satu dengan yang lainnya, jangan kemudian dijadikan sebagai kesimpulan bahwa salah satunya adalah yang terbaik dan terpuji. Semuanya sama. Mari kita sikapi dengan tangan terbuka dan hati yang menerima.
M. Warits, alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar. Saat ini mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.