Imam Bukhari berkelana ke berbagai negeri sejak belia demi menuntut ilmu hadis. Pada usia 16 tahun, Bukhari telah menghafal sejumlah kitab karya ulama ternama. Di bawah terang purnama, ia kemudian mulai menumpahkan ilmunya ke dalam karya pertamanya.
Luasnya hanya separuh Kota Jakarta Selatan. Penduduknya kurang lebih sama dengan populasi kabupaten Merauke di Papua. Hanya 272.000 jiwa pada 2017. Tapi, kedudukannya di tengah benua Asia menjadikan kota ini saksi sejarah hilir mudiknya pedagang Jalur Sutra. Inilah Bukhara, daratan Uzbekistan yang pernah menjadi ibu kota Imperium Samaniyah.
Praja Bukhara menyimpan segudang kekayaan sejarah peradaban manusia dan Islam. Setidaknya 140 monumen berarsitektur kompleks dan elok berdiri di atasnya. Bangunan-bangunan bersejarahnya, termasuk masjid dan madrasah, terukir sebagai situs warisan dunia UNESCO.
Di antara lembaran sejarah, Bukhara memang pernah tercatat bersaing dengan Baghdad sebagai pusat intelektual dunia Islam. Salah satu intelektual tersohor yang lahir di sana ialah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah[1] atau dikenal dengan sebutan Imam Bukhari.
Muhammad bin Ismail lahir pada 809 masehi (194 hijriah) atau sepuluh tahun sebelum Imperium Samaniyah berdiri. Ketika masih kecil, Imam Bukhari telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Jadilah dia anak yatim yang diasuh langsung oleh ibunya.
Ayah Imam Bukhari dikenal sebagai ulama ternama. Menurut Imam Bukhari, ayahnya mendengar hadis langsung dari Imam Malik bin Anas,[2] menyaksikan Hammad bin Zayd[3], dan menyalami Ibnu Al-Mubarak[4] dengan kedua tangannya.
Di bawah asuhan ibunya, Bukhari kecil menimba ilmu hadis dengan berguru kepada para ulama di kotanya. Dia rajin menghadiri majelis ilmiah dan berdialog dengan hadirin di sana.
Menginjak usianya ke-16 tahun, Bukhari telah menghafal kitab-kitab karya ulama ternama, Ibnu Mubarak dan Waki bin Jarrah. Tak hanya itu, di usianya yang masih belia, ia telah memahami pendapat Ahlu Rayi, asal-usul serta mazhab mereka.[5]
Masih di usia remaja, Bukhari bersama ibu dan kakaknya, Ahmad, berangkat ke Makkah menunaikan ibadah haji. Lepas melaksanakan haji, ibu dan Ahmad pulang ke Tanah Air. Sementara Bukhari meneruskan tinggal di Kota Suci untuk belajar mendalami ilmu hadis.
Dua tahun kemudian, dia hijrah ke Madinah. Di kota tempat Nabi Muhammad Saw dimakamkan itu, dia bertemu dengan para penuntut ilmu dari berbagai belahan bumi.[6]
Bukhari kemudian acap kali pulang pergi antara Madinah dan Makkah. Dia juga mulai menulis karya pertamanya Aljami Assahih[7] yang memuat sejarah sahabat dan tabiin. Dia menggoreskan tinta pada lembaran karya pertamanya itu saat malam purnama sebagaimana dituturkan Ibnu Asakir.[8]
Minatnya yang besar terhadap ilmu hadis membuat Bukhari berkelana lebih jauh lagi. Dia bepergian ke Syam, Asqalan, Mesir, Al Jazirah dan Basrah. Sebagai kota pusat ilmu hadis, Bukhari menyambangi Basrah hingga empat kali demi berguru kepada para ulama di sana.
Dia juga sering ke Kufah dan Baghdad. Saat itu Baghdad merupakan ibu kota Dinasti Abbasiyah. “Aku tidak dapat menghitung berapa kali aku ke Kota Kufah dan Baghdad untuk bertemu para pakar hadis,” kata Bukhari.[9] “Aku belajar lebih daripada seribu guru dan tidak satu pun hadis kecuali aku ingat sanad-nya.”[10](YS)
Bersambung ke:
Catatan kaki:
[1] Bardizbah adalah bahasa Bukhara yang berarti petani. Lihat; Muhammad bin Ahmad Addhahabi, Siyar A’lam Annubala, tahqiq Shuayb Alarna’ut, cetakan pertama juz 12 biografi 171 Abu Abdullah Albukhari (Bayrut: Muassasah Risalah, 1983), hlm 391.
[2] Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Asbahi (93-179 H/ 711-795 M) adalah seorang guru besar Islam. Bukhari berkata, “Sanad tersahih itu dari Malik dari Nafi dari Ibnu Umar.” Menurut Bukhari, Malik memiliki keluasan ilmu, adil, mengikuti sunah, pemuka ilmu fikih, piawai dalam berfatwa. Lihat: Muhammad bin Ahmad Addhahabi Siyar A’lam Annubala, tahqiq Shuayb Alarnaut, cetakan pertama juz 8 biografi 10 Malik Imam (Bayrut: Muassasah Arrisalah, 1983), hlm 48.
[3] Hammad bin Zayd bin Dirham Abu Ismail Alazdi (wafat 179/ 795) adalah seorang imam Alhafidz, guru besar di Irak. Ibnu Mahdi berkata, “Para imam di masanya ada empat: Atthawri, Malik, Awzai, dan Hammad bin Zayd.” Lihat: Muhammad bin Ahmad Addhahabi, Tadhkirah Alhuffadz, edisi revisi juz 1 biografi nomor 213 (Bayrut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1958), hlm 228.
[4] Abdullah bin Mubarak bin Wadih (w. 181/ 797), seorang imam Alhafidz dan Alhujjah, kebanggaan kaum mujahidin, figur kaum zuhud, dan produktif dalam menulis. Ibnu Main berkata, “Dia seorang thiqah (terpercaya) yang tangguh, kitabnya memuat 20 ribu hadis”. Lihat: Muhammad bin Ahmad Addhahabi, Tadhkirah Alhuffadz, edisi revisi juz 1 biografi nomor 260 (Bayrut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1958), hlm 392.
[5] Muhammad Abu Shuhbah, Fi Rihab Assunnah, Alkutub Assahah Assittah (Alqahirah: Almajma Albuhut AIislamiyyah, 1995), hlm 59.
[6] Abdussalam Almubarakfuri, Sirah Imam Bukhari, alih bahasa Abdul Alim Abdul Azim Albastawi, cetakan pertama juz 1 (Makkah: Darul Alam Alfawaid, 2001), hlm 89.
[7] Muhammad Abu Shuhbah. Op.Cit, hlm 60.
[8] Ali bin Hasan bin Hibat Allah bin Asakir, Tarikh Madinah Damshiq, tahqiq Muhib Addin Umar bin Gharamah Alamrawi, cetakan pertama juz 52 (Bayrut: Darul Fikri lil Taba-ah wa Annasar wa Attawzi, 1996), hlm 57.
[9] Ahmad bin Ali bin Hajar Alasqalani, Hadyu Assari Muqaddimah Fathu Albari bi Sharah Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Albukhari, tahqiq Abdul Qadir Shaybah Al Hamad, cetakan pertama (Alriyad: Maktabah Malik Fahd Alwathaniyah Athna Annashr, 2001), hlm 478.
[10] Yusuf Almizzi, Tahdhib Alkamal fi Asma Arrijal, tahqiq Bashashar Awad Makruf, cetakan pertama juz 24 (Bayrut: Muassasah Arrisalah, 1992), hlm 445.