Sebab buah dikenal pohonnya, Imam Bukhari dikenal lantaran karya-karyanya. Satu di antaranya Sahih Bukhari, kitab yang ditulis usai melewati pengalaman mengecewakan.
Syahdan, Imam Bukhari menyaksikan kitab-kitab mencampuradukkan antara hadis berkualitas sahih dan lemah. Ia merekam kesaksiannya itu saat bekelana ke berbagai negeri seantero Jazirah Arab.
Walhasil, intelektual asal Bukhara ini tidak puas dengan karya-karya pendahulunya. Dia menyayangkan akibat yang timbul dari bancuhan hadis. Perbuatan bidah[1] yang didatangkan kaum Khawarij, Rafidah dan Qadariyah merajalela di masyarakat hingga awal abad kedua Hijriah.[2]
Bukhari tenggelam dalam kegelisahan akademik. Hatinya kemudian tergerak untuk menyusun kitab yang hanya memuat hadis sahih.[3]
Demikian catatan ahli hadis abad 15 Masehi, Ibnu Hajar Alasqalani, tentang sepenggal kisah Bukhari. Di riwayat lain, Bukhari mengaku terinspirasi menghimpun hadis-hadis sahih setelah mendengar perkataan ulama bernama Ishaq bin Rahawayh.[4]
Ketika bertamu di kediaman ulama itu, Bukhari menerima petuah darinya. “Alangkah baiknya jika kalian mengumpulkan dan menyusun sebuah kitab yang memuat ringkasan hadis-hadis sahih dari Rasulullah Saw.,” ujar sang sahibulbait.[5]
Bukhari lalu menghabiskan 16 tahun dari usianya untuk mewujudkan gagasan itu. Ia mengumpulkan hadis sahih, menghimpunnya secara sistematis dan membukukannya.[6] Jadilah Sahih Bukhari, karya fenomenal yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, diperdengarkan dari atas mimbar-mimbar, dikutip beragam jurnal, diperbincangkan di berbagai seminar.
Karya yang juga populer dengan nama Aljami Almusnad Assahih Almukhtasar min Umur Rasulilah Saw. wa Sunanihi wa Ayyamihi ini merupakan satu di antara kutub assittah, atau kitab-kitab hadis kanonis dalam dunia Islam. Tentang kitabnya, Bukhari mengatakan, “Aku tidak meriwayatkan dalam kitab ini kecuali semuanya bernilai hadis sahih. Sementara yang aku tinggalkan lebih banyak lagi.”[7]
Penulis Makna Assahihayn, Khalil Ibrahim, berpendapat, Bukhari tidak memasukkan seluruh hadis ke dalam kitabnya agar tidak terlalu panjang.[8] Oleh karena itu, menurut peneliti hadis, Hasan Abdul Qader Yahya, hadis yang tidak dimuat dalam Sahih Bukhari bukan berarti tidak sahih.[9]
Tapi Sahih Bukhari bukan karya satu-satunya. Peneliti hadis lainnya, Alazami, mengungkapkan, ulama yang dikebumikan di Samarkand ini sangat produktif di masa hidupnya. Bukhari menulis karya ilmiah di bidang tafsir, hadis, ilmu jarah wa tadil,[10] sejarah dan fikih.
Di antara contoh karya ilmiahnya ialah Qiraat Khalf Alimam, Aladab Almufrad, Birr Walidayn, Adduafa, Aljami Alkabir, Ashribah, Alhibah, Alkuna, Alfawaid, dan Tafsir Alkabir. Karya yang terkahir ditulis oleh Bukhari hingga delapan jilid.[11]
Ada juga kitab Qadaya Assahabah wa Tabiin yang ditulis sejak Bukhari masih berusia 18 tahun. Sayang, naskah kitab ini lenyap entah di mana. Sebagian karya Bukhari lainnya juga telah lapuk ditelan masa.[12]
Produktivitas putra Ismail ini tentu tidak lepas dari perjalanan intelektualnya. Ia berkelana ke berbagai praja dan belajar kepada banyak guru.
Ibnu Hajar mengelompokkan guru-guru Bukhari menjadi lima golongan berdasarkan periode kehidupan masing-masing. Pertama, kelompok tabiin atau mereka yang datang setelah generasi sahabat Rasulullah Saw., seperti: Makki bin Ibrahim, Muhammad bin Abdullah Alansari, Ubaidullah bin Musa, Abu Nuaym, Abu Asim Annabil, Khallad bin Yahya, Ali bin Iyas dan Abu Almughirah Alkhawlani.
Kedua, kelompok sezaman dengan tabiin namun tidak mendengar langsung dari tsiqah tabiin.[13] Guru Imam Bukhari yang termasuk kelompok ini seperti Adam bin Abi Iyas, Abul Akla bin Mashar, Said bin Abi Maryam, dan Ayyub bin Sulaiman bin Bilal.
Ketiga, mereka tidak bertemu tabiin namun berjumpa pengikut tabiin. Mereka adalah Sulaiman bin Harb, Nuaym bin Hammad, Ali bin Almadini, Yahya bin Almain, Ahmad bin Hahbal, Ishaq bin Rahuwayh, Abu Bakar bin Abi Shaybah dan lain sebagainya.
Keempat, mereka adalah para senior Imam Bukhari. Di antara sosok dalam kelompok ini ialah Muhammad bin Yahya Addhuhli, Abu Hatim Arrazi, Muhammad bin Abdurahim Saiqah, Ahmad bin Annadar.
Kelima, orang-orang yang seusia dan seperguruan dengan Imam Bukhari. Mereka adalah Abdullah bin Abi Alas Alkhawarizmi, Husain bin Muhammad Alqabbani dan lain-lain. Imam Bukhari mendengar dari kelompok ini berbagai tambahan informasi walau jumlahnya sedikit.
“Tidak dapat dikatakan sebagai orang alim hingga ia meriwayatkan dari senior, teman seperguruan dan juniornya,” demikian wejangan Alwaki (Waki Ibnu Aljarrah) yang kemudian diamalkan Imam Bukhari.[14] [YS]
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Bidah dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan atau cara yang tidak pernah dikatakan atau dicontohkan Rasulullah atau sahabatnya, kemudian dilakukan seolah-olah menjadi ajaran Islam. Lihat; Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kelima (Balai Pustaka, 2016).
[2] Lihat; Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi, cetakan pertama (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), hlm. 230.
[3] Ahmad bin Ali bin Hajar Alasqalani, Hadyul Sari Muqaddimah Fathul Bari bi Sharah Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Albukhari, tahqiq Abdul Qadir Shaybah Alhamid, cetakan pertama (Riyad: Maktabah Almalik Fahd Alwathaniyah Athna Annashr, 2001), hlm. 4.
[4] Ishaq (bin Rahawayh) bin Ibrahim bin Makhlad Alhanzali Almirwizi (166-238/ 782-852). Assuyuti berkata, “Telah berkumpul pada dirinya hadis, fikih, hafalan, kejujuran serta sifat wara dan zuhud. Dia telah merantau ke Iraq, Syam, Yaman, Hijaz, dan berakahir di Khurasan.” Lihat; Abdurahman bin Abu Bakar Assuyuti, Tabaqat Alhuffaz, cetakan pertama biografi nomor 418 (Bayrut: Darul Kutub Ilmiyah, 1983), hlm. 191.
[5] Muhammad Zubayr Siddiq, Hadith Literature its Origin Development. Sumber; htttp://tinyurl.com/y9lp6xtl pdf hlm. 56, diakses pada 1 Agustus 2017; Hasan Abdul Qader Yahya, Early Islamic Methodology Comparative Study of Hadith literature through Albukhari, Internasional Humanities Studies Vol.1 No. 3; September 2014, ISSN 2311-7796. Sumber; htttp://tinyurl.com/y8rjw7zw hlm. 54, diakses pada 1 Agustus 2017.
[6] Ahmad bin Ali bin Hajar Alasqalani. Op.Cit, hlm 514.
[7] Ibid., hlm. 7.
[8] Khalil Ibrahim Mulla Khatir, Makna Assahihayn, cetakan pertama (Alqahirah: Almatbaah Alarabiyah Alhadithah, 1981). Sumber; http://tinyurl.com/yd8dssg5 pdf hlm. 36, diakses pada 1 September 2017.
[9] Hasan Abdul Qader Yahya, Early Islamic Methodology Comparative Study of Hadith literature through Albukhari, Internasional Humanities Studies Vol.1 No. 3; September 2014 ISSN 2311-7796.
[10] Jarah wa tadil merupakan ilmu yang terkait dengan periwayat, baik nama, julukan, asal-usul, tingkatan maupun posisinya.
[11] Muhammad Mustafa Alazmi, Studies in Hadith Methodology and Literature. Sumber; http://tinyurl.com/ycbmmsyf pdf hlm. 88, diakses pada 1 Agustus 2017.
[12] Ibid.
[13] Tsiqah merupakan istilah dalam ilmu hadis untuk mensifati para perawi yang muktabar dan menjadi indikator dari seorang perawi terpercaya. Lihat: Mari, Muntaha AlMaqal fi Addirayah wa Arrijal, hlm. 83-92, 1417 H; Firuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, Beirut, jilid tiga, hlm. 39.
[14] Ahmad bin Ali bin Hajar Alasqalani. Op.Cit, hlm 479.