Jejak perjalanan ruhani para pendahulunya telah memahat jiwa Ibn Arabi demikian istimewa. Bakat ruhani yang dimilikinya sejak usia dini, adalah hasil perkalian yang kompleks dari jiwa-jiwa besar tersebut.
Bakat Ruhani
Bakat ruhani Ibn Arabi memang mengalir deras dari garis ayah dan ibunya. Paling tidak ada tiga pamannya—dua dari garis ibu dan satu dari garis ayah—yang mengilhaminya memasuki jalan ruhani. Kisah pertobatan pamannya yang bernama Abu Muhammad Abdullah al-Arabi al-Thai adalah yang paling sederhana. Orang ini mengalami lompatan ruhani yang kerap terjadi pada para wali: sebuah pertobatan sekonyong-konyong yang berlangsung di usia lanjut.
Suatu hari, seorang pemuda datang ke apotek Abu Muhammad untuk meminta obat tertentu. Melihat kebodohan pemuda itu dalam soal obat-obatan, Abu Muhammad tertawa meledek. Ternyata pemuda itu adalah orang yang sudah sampai pada ketinggian ruhani yang jauh melampaui usianya. Dia pun segera menjawab: “Kebodohanku dalam soal ini tak terlalu buruk. Sebaliknya, hai orang tua, kelalaian dan pembangkanganmu pada Allah bakal mendatangkan banyak keburukan yang besar!” Jawaban pemuda itu terasa sangat menusuk hingga Abu Muhammad langsung minta pemuda itu membimbingnya dalam ibadah. Tak berapa lama setelah itu Abu Muhammad meninggal dunia.
Kisah Yahya bin Yughan al-Sanhaji, paman Ibn Arabi dari garis ibu, mungkin membawa kesan paling mendalam. Yahya adalah pangeran Berber yang mendadak sontak melepas tahta dan menginfakkan seluruh hartanya untuk mengabdikan jiwa dan raganya pada Allah. Ibn Arabi menempatkannya sebagai salah satu contoh orang zuhud, yaitu orang yang secara suka rela meninggalkan kenikmatan dunia rendah dan mengutamakan Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalam karya utamanya, al-Futûhât al-Makkiyyah, Ibn Arabi menuturkan rincian kisah pertobatan penguasa Tlemcen ini.
Begini kisahnya:
Abu Abdullah Al-Tunisi adalah seorang ahli fiqih, agamawan dan abid asal Tunisia. Saat itu dia baru saja pindah ke Desa Al-Ubbad yang tak jauh dari Tlemcen. Hidupnya dia habiskan dalam ibadah di masjid dan mengabdikan diri di jalan Allah. Hingga kini kuburan Abu Abdullah Al-Tunisi menjadi tempat ziarah masyarakat Tlemcen.
Suatu hari, abid ini berjalan di pusat kota Tlemcen, sedang pamanku Yahya bin Yughan, pembesar Tlemcen, menunggang kuda di tengah rombongan pengawal dan pasukan. Saat berpapasan, seseorang berbisik kepadanya, ‘Itulah Abu Abdullah Al-Tunisi, orang suci di zaman kita!’ Yahya bergegas mengekang tali kudanya dan berhenti. Setelah berbalas salam, pangeran yang mengenakan pakaian kebesaran itu bertanya, ‘Hai Syaikh, bolehkah aku shalat dengan pakaian ini?’ Syaikh pun tertawa keras. ‘Apa yang kau tertawakan?’ tanya.
Syaikh itu menjawab, ‘Betapa dangkal pemahamanmu dan bodohnya dirimu! Dalam keadaanmu yang seperti ini (kau bertanya tentang kesucian bajumu)?! Kau lebih mirip dengan anjing yang berlumuran darah bangkai lalu mengangkat kakinya saat kencing agar tidak mengotori tubuhnya. Kau adalah mangkok yang penuh kotoran. Kau bertanya padaku tentang (kesucian) bajumu sementara kau bertanggungjawab atas setiap derita rakyat yang berada di bawah kekuasaanmu?!’ Raja itu langsung menangis dan melompat turun dari kudanya. Di hadapan semua yang hadir di sana, dia menyatakan mundur dari kerajaannya.
Dia kemudian mengabdi pada sang syaikh. Tiga hari setelah itu, sang syaikh membawa tali dan berkata padanya, ‘Raja, tiga hari masa keramahan yang dianjurkan (oleh Nabi Muhammad bagi tiap tamu) telah berlalu. Sekarang pergi dan kumpulkan kayu untuk dijual.’ Maka raja itu pun mulai mencari kayu, memikulnya dan menjualnya di pasar. Rakyat yang menyaksikannya memikul tumpukan kayu segera terharu dan serentak menangis. Setelah menjual kayunya dan mengambil sebagian penghasilannya untuk dimakan, dia menyedekahkan semua sisanya. Yahya melakukan semua itu di bekas kerajaannya sampai dia mati dikubur di sebelah sang Syaikh. Syaikh Abu Abdullah sering menyatakan ke orang-orang yang meminta doanya, ‘Pergilah ke Yahya bin Yughan; dia adalah raja yang melepas kerajaannya demi Allah. Jika Allah mengujiku sepertinya, mungkin aku takkan sanggup meninggalkan kerajaanku!’
Selain dua pamannya yang mengalami pertobatan dramatis itu, Ibn Arabi juga mengisahkan pamannya yang menjalani ibadah secara bertahap, tekun dan tabah. Namanya adalah Abu Muslim al-Khawlani. Orang ini, kata Ibn Arabi, masuk dalam kategori al-‘ubbâd (para abid). Berbeda dengan al-zuhhâd (ahli zuhud) dan al-rahmâniyyûn (orang yang mencerap Nafas Sang Maha Pengasih), para ‘abid lebih tekun melaksanakan seluruh kewajiban syariat sejak masa muda. Mereka senantiasa memikirkan kematian, alam kubur, hari kebangkitan, surga, neraka dan seluruh pahala dan siksa yang mengiri masing-masingnya.[1]
“Pamanku dari garis ibu,” tulis Ibn Arabi, “adalah salah seorang dari mereka. Dia biasa menunaikan shalat semalam suntuk. Bila kakinya mulai lemah, dia akan memukulinya dengan cambuk yang dia simpan khusus untuk tujuan ini. Lalu dia berkata ke kedua kakinya: ‘Kau pantas mendapat cambuk lebih banyak dari kudaku. Jika para sahabat Nabi Muhammad percaya bahwa mereka mau mengambil Nabi hanya untuk diri mereka sendiri, maka demi Allah kita akan desak mereka sampai mereka sadar bahwa ada orang-orang penuh tekad yang layak pula mendapat nama sebagai sahabat Nabi.’” (MK)
Bersambung ke:
Perjumpaan dengan Sang Arif; Hagiografi dan Pemikiran Ibn Arabi (4)
Sebelumnya:
Perjumpaan dengan Sang Arif; Hagiografi dan Pemikiran Ibn Arabi (2)
Catatan kaki:
[1] Menurut Ibn Sina, “orang yang memalingkan diri dari kesenangan dunia disebut zahid. Sementara orang yang tak henti-hentinya menjalankan ibadah seperti shalat, puasa, dan sebagainya, dinamakan ‘abid. Dan orang yang terus menerus memusatkan segenap pikiran dan hatinya kepada Allah (Yang Maha Suci dan Maha Agung) dengan tujuan agar cahaya terbit dalam relung hatinya yang paling dalam (sirr), disebut ‘arif. Mungkin saja beberapa predikat ini berkumpul pada satu orang”. Terkait ungkapan Ibn Sina ini, Murtadha Muthahhari menyatakan seseorang bisa saja – dalam waktu yang sama – menjadi zahid dan ‘abid, zahid dan ‘arif atau ketiganya sekaligus. Ibn Sina memang tidak menjelaskan masalah ini lebih jauh. Tapi secara tersirat ia menunjukkan bahwa seseorang bisa saja menjadi ‘abid dan zahid, tanpa (harus) menjadi ‘arif. Namun mustahil seorang menjadi ‘arif tanpa menjadi zahid dan ‘abid. Lihat, Murtadha Muthahhari, Mengenal ‘Irfan; Meniti Maqam-Maqam Kearifan, Jakarta, Penerbit Iman, 2002, Hal. 70