Mukjizat al-Qur’an terjadi saat nabi mengekspresikan kebenaran dan apa yang menjelma dalam realitas (amr wâqi’ muhaqqaq) tanpa menambah atau mengurangi sezarah pun. Karena itu al-Qur’an menjadi tak bisa ditiru (mu’jiz).
Iluminasi dan Pengetahuan tentang Allah
Dalam pengalaman Ibn Arabi, ada beberapa kategori iluminasi: mukasyafah (futûh al-mukâsyafah); rasa manis (futûh al-halâwa); dan ekspresi (futûh al-‘ibârah). Untuk menemukan ulasan tentang tiga kategori tersebut, kita perlu menengok buku Futûhât. Di buku inilah Ibn Arabi menuliskan hampir seluruh iluminasi yang dialaminya, dengan gaya bahasa sangat khas sehingga melukiskan suasana batin yang unik.
Ibn Arabi memulai dengan ulasan ihwal iluminasi ekspresi (futûh al-‘ibârah). Menurutnya, iluminasi macam ini hanya dialami oleh ‘pengikut Muhammad yang sempurna.’ Orang yang mengalami iluminasi ini akan mancapai maqam shidq (kebenaran) dalam semua perkataan, gerak dan diamnya. Orang ini tak mengolah, menyusun kemudian baru menyatakan suatu makna. Sebaliknya, dia menangkap makna secara objektif lalu mengungkapkannya secara verbal maupun nonverbal dalam gerak dan diamnya—tanpa jeda waktu.
Mukjizat al-Qur’an (i’jâz) bersumber pada iluminasi seperti di atas. Mukjizat al-Qur’an terjadi saat nabi mengekspresikan kebenaran dan apa yang menjelma dalam realitas (amr wâqi’ muhaqqaq) tanpa menambah atau mengurangi sezarah pun. Karena itu al-Qur’an menjadi tak bisa ditiru (mu’jiz). Itulah mengapa Ibn Arabi dan sebagian besar arif lain benar-benar menjunjung tinggi teks harfiah al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad, serta menafsirkan al-Qur’an dengan metode ta`wîl (selanjutnya ditulis takwil). Secara sederhana, takwil ialah upaya untuk kembali kepada makna asal suatu kata yang digunakan dalam al-Qur’an sebelum menafsirkan atau menganalisisnya.
Kategori kedua ialah iluminasi rasa manis dalam batin. Meski bersifat spiritual, rasa manis ini bisa dirasakan persis seperti dinginnya air dingin. ‘Siapa saja yang mengalaminya akan merasakan kekenduran di tungkai, lengan dan sendi-sendi serta sejenis kekebasan,’ tulisnya. Rasa manis ini berlangsung dalam masa yang tak pasti. ‘Keadaan ini kadang datang saat saya masih mengerjakan sesuatu dan berlangsung singkat, tapi kadang ia menetap beberapa hari dan malam sebelum sirna…’ tulis Ibn Arabi.
Kategori ketiga adalah iluminasi mukasyafah yang diperoleh melalui pengetahuan Allah tentang benda-benda. ‘Ketahuilah bahwa Allah terlalu agung, terlalu mulia untuk diketahui dalam Dirinya sendiri. Tapi Dia bisa diketahui lewat benda-benda… Benda-benda sebenarnya adalah tirai yang menghijabi Allah; begitu terkuak, apa yang di baliknya jadi tersingkap.’
Mata orang biasa, tutur Ibn Arabi, berhenti pada tampilan benda-benda, sementara mata mereka yang mengalami iluminasi mukasyafah melihat Allah pada benda-benda di depannya. Sebagian lain yang lebih rendah melihat benda-benda bersamaan dengan melihat Allah.
Menurut Ibn Arabi, Allah hanya bisa diketahui melalui benda ciptaan-Nya. Tiap benda dikendalikan oleh sebuah Nama Ilahi yang memeliharanya. Karena itu, puncak pengetahuan kita tentang Allah itu sebenarnya tak lain dari pengetahuan kita tentang Pemelihara (Rabb) kita, karena Dia hanya bisa diketahui dalam kapasitas-Nya sebagai Rabb (Pemelihara) atau Tuhan sesuatu. Adapun Dzat Ilahi adalah hakikat yang tak bisa dikenali atau diketahui.
Ibn Arabi lalu berangkat lebih jauh untuk menjelaskan sabda Nabi “Siapa yang mengenal dirinya berarti mengenal Rabb-nya.” Baginya, Rabb (Pemelihara/ Tuhan) dalam hadis ini adalah Nama Ilahi yang mengatur diri seseorang atau benda tertentu. Apa yang kita ketahui tentang Allah pada hakikatnya adalah pengetahuan tentang Rabb dan Nama Ilahi yang mengatur diri dan benda tersebut. Sudah barang tentu kita dituntut untuk mencari seluas mungkin pengetahuan tentang Allah dalam kapasitas-Nya sebagai Pemelihara alam raya.
Ibn Arabi memang kasus khusus: mengalami iluminasi (fath) sebelum menjalani latihan dan disiplin yang teratur. Konon dia mengalami tarikan Ilahi (jadzbah Ilâhiyyah) yang membuat orang terenggut dari dirinya sendiri dalam puncak kegirangan. Jadi pencapaian ruhani Ibn Arabi bukan semata-mata hasil suluk yang bertahap dan teratur. Namun, tak ada yang bisa memastikan apa yang persisnya terjadi pada seorang seperti Ibn Arabi, karena dia selalu mengalami disorientasi antara yang kasat mata dan tidak. Kepribadiannya seolah terbelah di antara dunia yang tampak dan gaib; antara kategori tadi-sekarang-nanti dan waktu-utuh; antara kategori sana-sini dan keseluruhan.
Tekad Berjuang Tanpa Henti
Tentu saja orang tak boleh lupa bahwa menembus garis yang memisahkan dunia yang tampak dan gaib, kategori tadi-sekarang-nanti dan waktu-utuh, dan tempat di sini-di sana dan keseluruhan bukan seperti membalik tangan. Ada tekad bulat, kebersihan hati dan bakat ruhani yang dipersyaratkan.
Al-Qari al-Baghdadi menyebutkan bahwa Ibn Arabi pernah tinggal di kuburan selama 14 bulan untuk melampaui syarat itu. Di sana dia terus berzikir dan berhenti hanya saat waktu shalat tiba. Jadi sebelum merasakan tarikan Ilahi, dia sendiri secara sukarela kembali (bertobat) kepada Allah. Dalam tobat itulah kehendak hamba menemui Tuhannya diuji, ditempa dan dikukuhkan.[1]
Di sinilah, kata Claude Addas, sejarah Ibn Arabi melampaui batas-batas ruang dan waktu. Bayangkan saja, Ibn Arabi merasa bahwa Nabi Isa adalah ‘guru pertama’ yang menuntunnya dalam pertobatan. Katanya, “Di tangan beliaulah aku bertobat. Beliau mendoakanku agar kukuh dalam agama di dunia ini dan di akhirat kelak, dan dia menyebutku sebagai kekasihnya. Dia menyuruhku untuk bersikap zuhud dan menolak hawa nafsu.” [2]
Untuk menghindari pelanggaran syariat, Ibn Arabi berulang-ulang menekankan bahwa sikap zuhud dan menolak dunia tak harus berarti mengabaikan kewajiban memberi nafkah bagi keluarga—tentu saja untuk yang sudah berkeluarga. Dari sini tentu orang bisa menyimpulkan bahwa perjalanan Ibn Arabi terjadi sebelum dia memutuskan untuk mengarungi biduk keluarga.
Hubungan Ibn Arabi dengan para nabi tak terbatas pada Isa. Dia juga berhubungan dekat dengan Musa, Khidr dan terutama sekali dengan Baginda Nabi Besar Muhammad. Semua hubungan ruhani yang bersifat subjektif ini kemudian dia gambarkan dalam karya terbesarnya, Fushush al-Hikam.
Kembali ke soal pertobatan. Berkat dorongan Nabi Isa, Ibn Arabi menggandakan usahanya menjauhi dunia. Dia pun akhirnya melepas semua hartanya. “Aku tinggalkan semua milikkku persis seperti orang mati meninggalkan keluarga dan harta miliknya. Saat aku membincangkan niatku ini dengan Ayah, dia memintaku untuk menitipkan semua milikku padanya. Dan setelah itu aku tak pernah lagi menanyainya tentang apa yang dia lakukan dengan semua milikku.” (MK)
Bersambung ke:
Perjumpaan dengan Sang Arif; Hagiografi dan Pemikiran Ibn Arabi (7)
Sebelumnya:
Perjumpaan dengan Sang Arif; Hagiografi dan Pemikiran Ibn Arabi (5)
Catatan Kaki :
[1] Lihat, Claude Addas, “Quest for The Red Sulphur; The Life og Ibn ‘Arabi”, Cambridge, The Islamic Text Society Golden Palm Series, 1993, Hal. 37
[2] Ibid, Hal. 39