Metode ‘menghaluskan’ tubuh paling mudah tentu saja melalui disiplin-disiplin ruhani seperti shalat, puasa, khalwat, menjauhi kesenangan duniawi, menjalani syariat dengan ketat dan sebagainya. Tapi semua ini tentu tak mungkin tanpa tekad (himmah) bahkan hasrat yang membara. Melalui tekad yang bulat dan hasrat itulah manusia tega membelah jasadnya, meringkihkan tubuhnya dan membiarkan hukum-hukum ruh mendominasi sekujur tubuhnya.
Penghambaan
Tujuan akhir dari melepas semua kepemilikan tak lain adalah penghambaan murni kepada Allah. Sebuah kemurnian yang menuntut hamba untuk membuang semua hak milik dan sifat memiliki; hak dan sifat yang membuat hamba itu merasa menjadi rabb (pemelihara) atas apa yang dimilikinya. Singkatnya, untuk mencapai kemurnian dalam menghamba kepada Allah, orang harus tak memiliki apa-apa dan tak dimiliki oleh apa-apa kecuali Allah.
Ibn Arabi menulis: “Begitu aku meraih maqam (penghambaan murni) ini, aku tak memiliki hak atas makhluk hidup apapun dan tak pula busana yang aku sandang. Aku hanya memakai busana pinjaman dan yang sudah diizinkan untuk kukenakan. Bila kebetulan aku memiliki sesuatu, maka kontan saja aku melepasnya—entah dengan menyedekahkannya atau dengan memerdekakannya jika ia berupa budak. Aku bertekad seperti itu manakala aku mau mencapai penghambaan puncak kepada Allah. Waktu itu aku diberitahu: ‘(Maqam) itu tak mungkin kau capai selama ada satu makhluk yang memiliki hak atasmu!’” Maqam itu semata-mata bisa dicapai dengan mewujudkan pernyataan ini: “Aku tak memiliki hak, tak memiliki bagian apa-apa dalam apapun juga!”[1]
Selama itu, Nabi Isa konon menyuruhnya untuk terus bersikap zuhud dalam apa saja. Lalu Nabi Musa memberitahunya bahwa dia akan mendapat pengetahuan yang disebut dengan ladunni. Inilah ilmu yang dalam al-Qur’an (QS 18: 65) Allah karuniakan pada Khidr. Sementara Nabi Muhammad menyuruhnya untuk mengikutinya dalam tiap langkah, lalu beliau berkata: “Berpegang teguhlah padaku dan kau akan selamat!”[2]
Mengikuti Nabi Muhammad Lahir Batin
Sabda Nabi Muhammad itu tentu berlaku umum. Semua Muslim disuruh berpegang teguh pada Nabi. Tapi bagi Ibn Arabi, sabda Nabi yang berlaku umum itu dia rasakan secara khusus—atau lebih tepatnya dia dengar langsung. Ada subjektifikasi dan penghayatan yang dahsyat di sini. Sikap ini membuat seluruh sabda, tindakan dan ajaran Nabi Muhammad (dan nabi-nabi lain) yang biasa-biasa saja bagi kita terasa demikian langsung bagi Ibn Arabi. Inilah barangkali yang membuatnya mengalami bermacam persentuhan langsung (mubasyarah) dan perjumpaan misterius dengan Baginda Nabi dan para nabi lain secara berkala.
Coba simak penuturan ini: “Semasa masih belum menggali ilmu, beberapa teman mendorongku untuk mempelajari buku-buku ra’y (opini para pakar). Pada periode itu aku sama sekali tak mengetahui soal ilmu ini demikian pula soal (ilmu) hadis. Lalu, saat tidur, aku melihat diriku berada dalam ruangan yang besar, terkepung oleh satu pasukan bersenjata yang hendak membunuhku. Tak ada tempat berlindung. Setelah cukup lama, aku menemukan bukit tak berapa jauh di depanku. Di atas bukit itu ada Rasulullah tegak berdiri. Aku bergegas lari mendekatinya dan berlindung di sampingnya. Beliau pun membuka lebar kedua tangannya dan memelukku kuat-kuat sambil berkata: ‘Kasihku, berpegang teguhlah padaku dan kau akan selamat!’ Lantas aku mengedarkan mata untuk mencari pasukan yang hendak menyerangku. Tapi tak satu pun dari mereka yang terlihat. Sejak saat itu aku terus menyibukkan diri dengan mempelajari hadis.”[3]
Namun, ilmu al-Qur’an dan hadis bagi Ibn Arabi tak bisa direduksi sekadar sebagai tumpukan informasi. Dalam catatan autobiografisnya, Ibn Arabi beberapa kali menuliskan pengalamannya melihat langsung proses turunnya ayat atau terucapnya hadis Nabi. “Mereka yang benar-benar mengikuti beliau (Muhammad) adalah pewaris para nabi. Kepada mereka Allah memperlihatkan bentuk Nabi saat menerima kalam Ilahi dari bentuk Jibril bersamaan dengan seluruh hukum yang turun pada beliau—persis seperti ketika para sahabat melihat Nabi berdialog dengan Jibril berkenaan dengan ‘islam, iman dan ihsan’…” Karena itu, lanjut Ibn Arabi, seorang wali bisa menshahihkan hadis yang dianggap lemah dan juga sebaliknya.
Ihwal ilmu al-Qur’an, Ibn Arabi pernah mengalami turunnya wahyu seperti hujan bintang (tanzîl nujûman). Dia juga pernah mengalaminya dengan cara lain yang lebih mengejutkan. Suatu kali, tulisnya, aku bermimpi melihat sesosok malaikat datang membawa tanah liat yang bersih tak berdebu dan dalam tak terbatas. “Saat kupegang dengan tangan aku paham bahwa segumpal tanah itu tak lain ialah firman-Nya yang berbunyi ‘Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arah-Nya…dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.’” (QS 2: 150-152).
Bumi yang Luas
Al-Qunawi, salah satu murid termasyhur Ibn Arabi, pernah menuturkan bahwa gurunya biasa bertemu dengan arwah para nabi atau wali. Ada tiga cara pertemuan itu berlangsung. Pertama, dia membuat arwah mereka turun ke dunia ini dan dia menemui mereka dengan raga yang halus serupa dengan raga mereka saat hidup di dunia. Kedua, dia memancing mereka untuk masuk dalam tidurnya. Dan ketiga dia melepas tubuhnya sendiri untuk melambung menemui mereka di ketinggian sana.
Bukan itu saja. Dalam karyanya yang paling lengkap, Ibn Arabi menjelaskan bahwa dia menemui Allah dalam setiap saat. Tentu orang harus ingat bahwa derajat melihat dan menemui Allah itu berbeda-beda pada tiap pesuluk. Makin tinggi kekuatan ruhani seseorang, makin langsung penglihatan dan pertemuan itu. Dalam derajat paling intens, Nabi Muhammad dan Imam Ali juga menyatakan tak pernah melihat sesuatu kecuali melihat Allah sebelumnya, sesudahnya dan di seluruh sisinya.
Tapi kita harus segera sadar bahwa penglihatan dan pertemuan dengan Allah tak pernah bisa sama dengan penglihatan dan pertemuan fisik; ia merupakan peristiwa di luar batas-batas ruang dan waktu sehingga tak pernah ada kata yang sanggup secara tepat mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.
Ibn Arabi menyebut tempat pertemuan itu dengan ‘bumi Allah yang luas’—merujuk pada QS 4: 97. Dia juga menyebutnya dengan ‘ranah perlambangan’ atau ‘bumi hakikat’. Ibn Arabi menyebutkan bahwa dia memasuki ‘bumi yang luas’ itu—hamparan yang tak mungkin dipetakan oleh seorang ahli geografi—menjelang usia 30 pada tahun 590 Hijriah atau 1194 Masehi. Inilah bumi yang terbentuk dari sisa lempung Nabi Adam. Ia tak musnah dan tak pula berubah. Inilah alam di mana ‘arwah berbentuk jasmani dan jasad berbentuk ruhani’. Para pesuluk dan arif memasukinya dengan ruh mereka, bukan dengan jasad mereka. Jelasnya, di sana mereka sudah meninggalkan seluruh jasmani di dunia rendah ini. Bumi itu berada di barzakh—alam pertengahan di mana arwah menerima raga yang halus. Seperti tulis Ibn Arabi: “Tiap jasad yang dikenakan oleh ruh, malaikat dan jin dan tiap bentuk yang terlihat orang dalam mimpinya termasuk dalam bumi itu.”
Lalu, apa maksud ‘jasad yang halus’ itu? Sederhananya, manusia terdiri atas dua dimensi: jasad/tubuh dan ruh/jiwa. Masing-masing dimensi punya hukum-hukum yang berbeda, bahkan terkadang bertentangan dan saling memakan. Dominasi salah satunya akan memperlemah yang lain. Bila hukum-hukum ruh mendominasi manusia, maka dimensi jasadnya akan ‘menghalus’. Tak jarang dominasi itu membuat jasad menjadi ringan, bahkan meluruh dan kehilangan kepejalannya. Proses ini pada gilirannya memperkuat dominasi ruh atas tubuh dan memperbesar kemungkinan orang melambung ke alam-alam yang lebih tinggi daripada alam fisik dan terbang bebas seringan kapas.
Metode ‘menghaluskan’ tubuh paling mudah tentu saja melalui disiplin-disiplin ruhani seperti shalat, puasa, khalwat, menjauhi kesenangan duniawi, menjalani syariat dengan ketat dan sebagainya. Tapi semua ini tentu tak mungkin tanpa tekad (himmah) bahkan hasrat yang membara. Melalui tekad yang bulat dan hasrat itulah manusia tega membelah jasadnya, meringkihkan tubuhnya dan membiarkan hukum-hukum ruh mendominasi sekujur tubuhnya. (MK)
Bersambung ke:
Perjumpaan dengan Sang Arif; Hagiografi dan Pemikiran Ibn Arabi (8)
Sebelumnya:
Perjumpaan Dengan Sang Arif; Hagiografi dan Pemikiran Ibn Arabi (6)
[1] Lihat, Claude Addas, “Quest for The Red Sulphur; The Life og Ibn ‘Arabi”, Cambridge, The Islamic Text Society Golden Palm Series, 1993, Hal. 42
[2] Ibid
[3] Ibid, Hal. 43
Boleh tau yang punya web ini siapa ya mau sharing langsung content2
Maksudnya sharing content bagaimana ya mas Suryadi? Untuk berkomunikasi dengan redaksi Anda dapat mengirim email ke sini: ganaislamica@gmail.com
Boleh tau yang punya web ini siapa ya mau sharing langsung content2
Maksudnya sharing content bagaimana ya mas Suryadi? Untuk berkomunikasi dengan redaksi Anda dapat mengirim email ke sini: ganaislamica@gmail.com
Tidak Kan pernah ditemukan rahasia ilmu Ibnu Arabi, kecuali bertemu langsung pewaris ilmunya yang secara turun temurun disampaikan melalui lisan, bukan tulisan. Karena ilmunya sangat halus dan biarpun disampaikan tidak akan mengerti. Karena sesungguhnya bukan ilmu akal pikir maupun hati perasaan