Profil Emas KH. Wahid Hasyim (6): Mementaskan Lakon Agung di Panggung Sejarah (1)

in Tokoh

Last updated on March 8th, 2018 06:51 am

Persatuan umat Islam ibarat arloji. Satu bagian mendukung bagian yang lain, tanpa ada yang merasa lebih tinggi derajatnya. Semua berperan menggerakkan arloji.”

—Ο—

 

Keputusan Kiai Wahid memilih NU sebagai perahu politiknya, bisa disebut sebagai langkah pertama beliau memasuki panggung sejarah bangsa.  Kehadirannya di NU bukan hanya bermanfaat bagi NU sebagai organisasi tapi juga bagi umat Islam di nusantara seluruhnya. Sebagaimana sabda Nabi Saw, “Manusia terbaik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya”, demikianlah kurang lebih penggambaran sosok Kiai Wahid.

Sangat jarang kita menemukan manusia dengan talenta seperti yang dimiliki oleh KH. Wahid Hasyim. Hampir semua yang disentuhnya berubah positif, dan masih membekas hingga hari ini. Ketika beliau mereformasi pesantren, maka pesantren mengalami perubahan mendasar, yang dampaknya tetap terasa hingga hari ini. Demikian juga dengan kiprahnya di belantika politik tanah air, khususnya ketika masa transisi dari pergerakan menuju kemerdekaan. “Semua warisan yang ditanam Kiai Wahid ibarat pohon, tumbuh subur dan terus beranak-pinak,” kata Zamakhsyari Dhofier, Rektor Universitas Sains Al-Quran, Wonosobo, Jawa Tengah, yang dikenal pula sebagai peneliti pesantren.[1]

Sebagaimana sudah kita singgung dalam edisi sebelumnya, bahwa sebelum memutuskan masuk ke Nahdlatul Ulama, beliau membutuhkan waktu empat tahun untuk berpikir. Dan pada saat beliau menetapkan keputusannya, beliaupun menulis sebuah catatan yang menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa beliau akhirnya memilih NU. Dari catatan tersebut dikatakan bahwa NU meskipun dinilai oleh sebagian besar aktifis kurang progresif (karena diisi oleh “orang-orang tua”) dan kaku (karena terlalu patuh pada Kiai), tapi faktanya, dari sejumlah organisasi yang kala itu ada di Indonesia, NU adalah yang paling progresif dalam meraup partisipasi. Hanya dalam kurun waktu 10 tahun sejak berdirinya, NU ketika itu sudah menjangkau hampir 60% wilayah di Indonesia. Sebagai perbandingannya, organisasi-organisasi kepemudaan yang katanya progresif, hanya mampu mengembangkan tidak lebih dari 20 cabang, yang itupun lokasinya saling berdekatan.

Kiai Wahid di dalam tulisannya mempertanyakan, “Jadi apalah artinya radikal dan revolusioner , jika hasilnya hasilnya di dalam jangka sepuluh tahun masih baru mempunyai cabang sepuluh dan hanya berputar di daerah keresidenan saja? Begitulah pikir saya ketika telah membanding-banding itu. Satu hal yang saya pakai menjadi ukuran sudah saya tinggalkan, setelah saya menentukan bahwa yang penting di dalam hal ini bukanlah “ kegagahan” di dalam berjuang, tetapi hasil dari pada perjuangan itu sendiri.[2]

Tulisan ini demikian menggugat dan banyak merevisi cara pandang keorganisasian pergerakan di Indonesia, khususnya yang beraliran Islam. Pada akhirnya semua tujuan organisasi adalah bagaimana mencapai visi bersama, bukan berkutat pada wacana ideologi yang akhirnya menjemukan dan hanya menjadi menara gading di tengah masyarakat awam. Demikianlah Kiai Wahid masuk pertama kali dalam belantika politik praktis di Indonesia. Langsung menggebrak dan merevisi skema besar gerakan nasional.

Di NU, bila dibandingkan dengan banyak kader lainnya, mungkin tidak ada yang memiliki modal sosial dan politik sebesar Kiai Wahid. Belum lagi bila modal tersebut dikali dengan kompetensinya yang sangat mumpuni. Dengan semua itu, sebenarnya beliau bisa memilih posisi jabatan apa saja yang beliau mau. Tapi beliau tidak demikian. Kiai Wahid masuk organisasi ini dengan kedudukan sama seperti anggota lainnya, bukan lantaran dia anak kiai dan pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau mulai di tingkat bawah, sebagai sekretaris pengurus ranting Tebuireng, lalu anggota pengurus cabang Jombang, Jawa Timur. Beliau benar-benar membuktikan bahwa pilihannya pada NU benar-benar  “Lepas dari pengaruh perasaan, sentimen, dan keturunan,” sebagaimana yang beliau tulis dalam catatannya.

Tapi bagaimanapun, beliau tidak bisa melepaskan diri dari ikatan ayahnya. Sebagai putra dari seorang tokoh besar dan berpengaruh pada masa itu, kiprah Kiai Wahid terus dibayangi oleh kebesaran sosok yang ayah. Hanya setahun setelah masuk menjadi pengurus NU, beliau tiba-tiba melonjak menjadi petinggi di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1939, mewakili Nahdlatul Ulama. MIAI adalah perhimpunan yang mirip semacam federasi yang berisi gabungan 13 organisasi Islam di Nusantara.

Sedikit mengenai MIAI, organisasi ini didirikan pada tahun 1937 atas inisiatif K.H. Mas Mansur dari Muhamadiyah, K.H.M. Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah dari Nahdatul Ulama, Wondoamisseno dari Serikat Islam dan tokoh organisasi Islam lainnya separti Persatuan Ulama dan Al-irsyad.[3] Tujuannya adalah untuk menjadi wadah komunikasi yang sekaligus menyatukan langkah gerakan umat Islam bagi bangsa dan Negara.[4]

Sebelum berdirinya MIAI, organisasi-organisasi Islam ini sebenarnya sudah sangat sering berkongres. Sejak tahun 1921, sudah dikenal untuk pertama kalinya Kongres Al-Islam. Setelah itu, kegiatan ini terus berlangsung setiap tahun. Sampai tahun 1932, kegiatan ini berhenti, padahal banyak sekali isu-isu penting yang muncul dan membutuhkan tindakan bersama untuk mengatasinya. Maka ketika para tokoh-tokoh penting Islam menyerukan untuk kembali duduk bersama dalam format organisasi yang lebih ajeg, respon dari berbagai organisasi Islam langsung cepat. Kelak MIAI inilah yang kemudian bertransformasi menjadi organisasi politik bernama Masyumi.

Salah satu point atau amanat dari hasil kesepakatan dalam pendirian MIAI adalah melaksanakan Kongres Muslimin Indonesia (KMI). Dalam kongres tersebut ditetapkan lima wakil perhimpunan anggota. Kiai Wahid sendiri baru masuk organisasi ini pada tahun 1939. Dan pada Kongres MIAI tahun 1940, beliau langsung diangkat sebagai Ketua pertama. Salah satu ide beliau yang begitu diingat adalah isi pidato yang beliau sampaikan pada Kongres Muslimin III di Solo, 5-7 Juli 1941. Ketika itu usia beliau masih 27 tahun, tapi ide-idenya sudah jauh melampau zamannya. Dalam pidato tersebut beliau menganalogikan bahwa persatuan umat Islam ibarat arloji. Satu bagian mendukung bagian yang lain, tanpa ada yang merasa lebih tinggi derajatnya. Semua berperan menggerakkan arloji. Dan satu pernyataan diucapkannya menjelang akhir pidato. ”satu untuk semua dan semua untuk satu. Bersediakah kiranya umat Islam Indonesia untuk itu?” itulah kata-kata beliau.[5] (AL)

Bersambung…

Profil Emas KH. Wahid Hasyim (7): Mementaskan Lakon Agung di Panggung Sejarah (2)

Sebelumnya:

Profil Emas KH. Wahid Hasyim (5): Cinta dan Perjuangan

Catatan kaki:

[1] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, diakses 12 Februari 2018

[2] Lihat, https://dokumen.tips/documents/mengapa-saya-memilih-nahdlatul-ulama.html, diakses 3 Maret 2018

[3] Lihat, https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/4747/MTI5OTE=/Partai-Masyumi-cabang-Surakarta-pada-tahun-1954-1960-abstrak.pdf, diakses 3 Maret 2018

[4] Lihat, http://repository.uinbanten.ac.id/1534/5/BAB%20III.pdf, diakses 3 Maret 2018

 

[5] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*