Profil Emas KH. Wahid Hasyim (6): Mementaskan Lakon Agung di Panggung Sejarah (2)

in Tokoh

Last updated on March 11th, 2018 06:30 am

Kiai Wahid memasukkan mata pelajaran yang berisi ilmu pengetahuan umum di semua madrasah NU. Alasannya, karena ilmu-ilmu ini adalah bekal yang penting bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan masa depan.

—Ο—

 

Meski karir Kiai Wahid di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) demikian cemerlang, namun beliau tidak lama berkiprah di sini. Para tahun 1941, beliau harus kembali ke Tebuireng karena panggilan sang ayah. Beliau diminta untuk mengasuh Pesantren Tebuireng.

Disamping aktif di MIAI, beliau juga tetap aktif di Nahdlatul Ulama (NU) yang ketika itu berkantor pusat di Surabaya. Tidak berbeda dengan di MIAI, di NU juga karir organisasi beliau melesat. Pada tahun 1940 beliau dipercaya menjabat Ketua Departemen Pendidikan NU (LP Ma’arif). Departemen ini merupakan salah satu divisi keorganisasian NU yang sifatnya otomon, yang memiliki struktur kepengurusan sendiri, bahkan anggaran rumah tangga sendiri. Di tempat ini Kiai Wahid mendapat kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi minat dan ide-ide progresifnya di bidang pendidikan dalam skala yang lebih luas.

Kiai Wahid membentuk panitia kecil yang mendiskusikan strategi untuk memajukan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU. Salah satu keputusan progresif yang muncul dari sini, adalah program pembaharuan pendidikan madrasah. Kiai Wahid dan timnya menggagas jenjang pendidikan madrasah dengan membaginya menjadi : pertama, Madrasah umum, yang termasuk dalam kategori ini adalah : a) Madrasah Awwaliyah (dua tahun masa belajar); b) Madrasah Ibtidaiyyah (tiga tahun masa belajar); c) Madrasah Tsanawiyah (tiga tahun masa belajar); d) Madrasah Mu’allimin Wustha; e) Madrasah Mu’allimin Ulya. Kedua, apa yang disebut dengan Madrasah Ikhtishasiyyah (sekolah dengan keahlian khusus), di antara yang termasuk kategori ini adalah; a) Madrasah Qudhat (sekolah hukum); b) Madrasah Tijarah (sekolah ekonomi); c) Madrasah Nijarah (sekolah kehutananan); d) Madrasah Zira’ah (sekolah pertanian). [1]

Namun karena keterbatasan jumlah tenaga pengajar dan belum memadainya kompetensi para guru, hanya madrasah umum saja yang bisa diwujudkan. Sedang kategori sekolah dengan keahlian khusus, belum bisa terlaksana. Meski begitu, sejak diluncurkannya program ini, jumlah madrasah NU meningkat pesat di seluruh Indonesia. Penambahan tenaga pengajar terus dilakukan. Dan yang cukup fenomenal adalah, beliau juga memasukkan mata pelajaran yang berisi ilmu pengetahuan umum di semua madrasah NU. Alasannya, karena ilmu-ilmu ini adalah bekal yang penting bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan masa depan. Untuk memantapkan langkah reformasi pendidikan ini, Kiai Wahid menggagas juga pertemuan khusus yang membahas pentingnya perguruan tinggi.  Konferensi Daerah Jawa Timur II di Malang pada 12-13 Februari 1941 menghasilkan rancangan peraturan rumah tangga Nahdlatul Ulama bagian perguruan dan pendidikan. Inilah yang menjadi cikal-bakal universitas dan institut agama Islam yang tersebar di seluruh Indonesia.[2]

Era Penjajahan Jepang

Pada tahun 1942, Jepang masuk ke Indonesia. Seketika setuasi politik berubah total. Semua strategi harus berubah, dinamika sosial dan politik sulit diprediksi. Sebagian pejuang revolusioner di Indonesia memandang situasi ini sebagai satu momentum berharga untuk mendorong terjadinya kemerdekaan Indonesia. Tapi Jepang bukanlah Belanda, yang suka bermain politik dengan menggabungkan antara soft power dengan hard power.  Jepang adalah negara yang kecanduan perang. Visinya tidak hanya kemakmuran semata, tapi juga menjadi raja Asia. Tujuan mereka hanya untuk mencari sumber daya guna mendukung mereka dalam Perang Dunia II. Tanpa kompromi, semua harus satu komando. Sehingga tanpa ampun, semua gerakan yang menentang, langsung ditindak dengan keras. Rakyat kian menderita, mereka diperas hingga tetes keringat terakhir. Tidak sedikit yang menganggap, era penjajahan Jepang yang hanya 3,5 tahun itu, setara penderitaannya dengan era penjajahan Belanda selama 3,5 abad.

Tak urung, KH. Hasyim Asy’ari pun terkena imbasnya. Gerakan perlawanan yang beliau lakukan dianggap menggancam, sehingga Kiai Hasyim di tangkap, dan pesentren Tebuireng di rusak. Menurut Abdurahman Wahid (Gus Dur), alasan Jepang menahan Kiai Hasyim adalah beliau menolak untuk memberikan hormat pada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan diri sambil menghadap ke Utara (ke arah Jepang). Akibatnya beliau dipukuli oleh Jepang demikian parah hingga beliau kehilangan fungsi tangan kanannya.[3]

Tapi di kemudian hari Jepang mulai menyadari kekeliruannya. Memperlakukan tokoh kharismatik dan populer seperti Kiai Hasyim adalah kesalahan fatal yang bisa mempercepat usia pendudukkan di Nusantara. Di sisi lain, Jepang juga mengagumi komunitas Islam tradisional yang berjejaring demikian luas di seluruh Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Menurut Greg Barton, Islam tradisional yang diwakili oleh masyarakat pesantren adalah satu-satunya elemen masyarakat yang tidak ternoda oleh kolonialisme Belanda. Ini sebabnya, di samping menyadari kekeliruannya, Jepang juga mulai melihat kelompok Islam trandisional sebagai mitra stretegis yang harus dijinakkan segera.[4] Percaya atau tidak, salah satu sosok yang memasukkan perspektif semacam ini dalam benak Jepang, tidak lain adalah KH. Wahid Hasyim. (AL)

Bersambung…

Profil Emas KH. Wahid Hasyim (7): Mementaskan Lakon Agung di Panggung Sejarah (3)

Sebelumnya:

Profil Emas KH. Wahid Hasyim (6): Mementaskan Lakon Agung di Panggung Sejarah (1)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Chumaidah Syc, KH A. Wahid Hasyim dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/wutsqa/…/713/

[2] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, diakses 12 Februari 2018

[3] Lihat, Greg Barton, Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat, Indonesian President; A View From The Inside, Australia, UNSWPress, 2002, hal. 44

[4] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*