Oleh Haidar Bagir[1]
Suluk atau jalan/praktik/laku bertasawuf biasa dipahami sebagai melakukan mujahadah (perjuangan keras menaklukkan hawa nafsu/keakuan yang bisa mendorong kepada maksiat) dan riyadhah (praktik spiritual melakukan pendekatan kepada Allah lewat ibadah wajib dan Sunah, serta berbagai bacaan zikir, wirid, dan hizib).
Tujuan puncaknya adalah mencapai Ihsan. Yakni, hubungan pemujaan/cinta kepada Allah, yang begitu intens, dalam bentuk masuknya kita ke hadirat Ilahiyah, dalam pertemuan berhadap-hadapan/musyahadah dengan-Nya. Dalam ungkapan berbeda, segitiga mujahadah-riyadhah-ihsan ini biasa dirujuk sebagai proses takhalliy- tahalliy-tajalliy.
Takhalliy – bermakna pengosongan – maknanya sejajar dengan mujahadah. Yakni pengosongan hati kita dari nafsu keakuan/egoisme yang cenderung mendorong kita untuk berbuat maksiat. Tahalliy – bermakna penghiasan – kiranya sejajar dengan riyadhah. Yakni mengisi hati kita dengan nilai-nilai ibadah yang sesungguhnya mencakup – bukan hanya gerakan-gerakan lahir – tetapi lebih penting lagi merupakan aktivitas batin.
Jika kita selesai dengan takhalliy dan tahalliy, maka kita pun akan mencapai tahap bertajalliynya Allah Swt. di dalam hati kita. Inilah tingkatan Ihsan. Sabda Nabi: “Allah itu indah dan menyukai keindahan”. Maka Dia hanya akan bersemayam di tempat yang indah yang sudah terhiasi. Yakni hati yang sudah bebas dari nafsu amarah dan telah dipenuhi dengan ibadah-ibadah yg memenuhi nilai-nilai kekhusyukan dan kekhudhu’an (kehadiran dan merendahkan hati).
Ada 4 Rukun mujahadah:
1. Qillatut-tha’am, yang untuk masa sekarang kiranya lebih pas diterjemahkan sebagai “konsumsi seperlunya.” Biasa juga disebut dengan zuhud.
2. Qillatul manam, yakni tidur seperlunya. Biasa juga disebut sebagai sabar.
3. Qillatul kalam (bicara seperlunya). Biasa juga disebut dengan shamt.
4. Yang terakhir adalah i’tuzalul anam (menarik diri dari pergaulan yang berlebihan). Biasa juga disebut sebagai ‘uzlah saja.
Ibnu Arabi menambah dengan unsur ke-5, yakni meniru Rasul saw.
Mujahadah melepaskan beban-beban (maksiat) kita, sedang riyadhah menjadi sayap-sayap kita untuk terbang ke hadirat-Nya.
Lihatlah betapa ibadah (di bulan) puasa – termasuk berbagai anjuran mengisi waktu dengan memperbanyak ibadah Sunah, mendaras Quran, melakukan zikir-zikir dan wirid-wirid, qiyamul-lail – sesungguhnya merupakan miniatur dari suluk.
Termasuk meniru Nabi yang disebutkan dalam Sunah: “Nabi adalah orang yang banyak bersedekah. Tapi, dalam bulan puasa, sedekahnya seperti angin, mengalir ke sana dan ke mari tanpa henti.” Lihat betapa semua unsur mujahadah dan riyadhah ada di dalamnya.
Maka, jika seseorang hendak memiliki modal awal yang besar untuk bertasawuf atau bersuluk (sepanjang tahun), maka memaksimumkan kualitas ibadah (di bulan) puasa adalah jalan yang terbaik.
Itu pula sebabnya Allah begitu memuliakan ibadah (di bulan) puasa hingga ke tingkat ibadah termulia. Sedemikian hingga Dia berfirman: “Ash-shawmu lii wa anaa ajzii bih,”yang artinya, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan menyampaikan pahalanya.”
Mudah-mudahan Allah Swt memberikan hidayah, ‘inayah dan
tawfiq-Nya agar kita bisa beribadah (di bulan) puasa yang telah menjelang,
dengan sebaik-baiknya, sehingga hal ini bisa menjadi pembuka suluk kita menuju
ihsan, menuju tajalli-Nya, terbang dari alam dunia rendah ini hingga sampai ke
hadirat-Nya.
Catatan Kaki:
[1] Haidar Bagir, Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan dai Islam Cinta.