Puasa Kaum Sufi (6): Psikologi Puasa dalam Ihya Ulumuddin (2)

in Ramadania

Last updated on May 18th, 2019 12:16 pm

Jiwa dan rahasia puasa adalah melemahkan kekuatan celah setan yang menjerumuskan. Tutuplah celah itu dengan mengatur pola makan dan tidak berlebihan ketika buka puasa. Karena itu menjadi kunci penyingkapan, sebagaimana perkataan Al-Ghazali: “Siapa yang menjadikan antara hati dan dadanya tempat penampung makanan, maka dia terhijab dari-Nya. Dan siapa yang mengosongkan perutnya, demikian itu belum cukup untuk mengangkatkan hijabnya sebelum cita-citanya kosong dari selain Allah. Dan pangkal semua itu ada dalam menyedikitkan makanan.”

Oleh:

Khairul Imam

(Staf Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta) x

Gambar ilustrasi. Sumbet: acathist.ru

Sebagai upaya meyucikan hati, maka dibutuhkan kesadaran penuh dari jiwa terdalam. Sebab, ketika salah satu anggota tubuh ditekan untuk menahan diri, maka pergolakan batin serasa membuncah menuntut pemenuhan. Puasa menahan lapar dan dahaga, ini sederhananya. Namun jangan dikira kenyamanan akan diperoleh dengan mudah seketika. Tidak.

Hati berontak, setan pun menampakkan taringnya untuk terus mengembuskan godaan. Suasana lengang dan tenang menjadi tempat peraduannya mengangkangi manusia; siapa yang terkuat di antara mereka. Maka dari itu, di antara langkah-langkahnya adalah dengan menutup celah masuknya setan, sebagaimana disampaikan Al-Ghazali dalam Ihya.

Al-Ghazali mengungkapkan poin berikutnya perihal bagaimana menggapai kesempurnaan puasa khusus. Pada poin keempat, dia mengatakan, dengan mencegah anggota tubuh lainnya dari segala dosa. Mulai dari tangan sampai kaki, dari segala yang makruh, dan mencegah perut dari semua hal syubhat pada saat berbuka. Puasa menjadi tak berarti ketika mencegah dari makanan halal, sementara berbukanya dengan mengkonsumsi makanan haram. Ini diibaratkan Al-Ghazali layaknya membangun sebuah istana dan menghancurkan kota.[1]

Demikian pula makanan halal menjadi berbahaya ketika terlalu banyak atau berlebihan. Bukan disebabkan jenisnya, melainkan nilainya menjadi “haram.” Seperti obat, takaran yang sedikit atau sesuai anjuran dokter akan mujarab, sedangkan kelebihan dosis akibatnya bisa berbahaya. Selain itu, perhatian Al-Ghazali tampak pada satu narasi hadis yang mungkin akrab di telinga kita, “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun mereka tak mendapatkan apa pun kecuali lapar dan dahaga.”

Menurutnya, ada tiga makna yang terkandung dalam hadis di atas. Pertama, orang yang berbuka dengan makanan haram. Ini jelas sekali. Kedua, orang yang menahan diri atau berpuasa dari makanan halal, tetapi ketika berbuka dengan hidangan daging manusia dengan cara ghibah (bergunjing). Ini dianalogikan dengan firman Allah SWT. (Lihat QS al-Hujurat [49]: 12). Dan ketiga, orang yang tidak menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan dosa dan tercela.[2]

Selanjutnya, kelima, tidak memperbanyak makanan halal ketika berbuka sampai-sampai rongganya terisi penuh. Karena, sebagaimana disebutkan Al-Ghazali dengan mengutip hadis Nabi Saw. Tidak ada tempat atau wadag yang lebih dibenci Allah dari perut yang penuh dengan yang halal.”[3] Ini artinya, ketika berpuasa, selayaknya pengaturan dan kontrol diri harus tetap kita pentingkan. Karena puasa berarti al-imsak, yakni menahan. Dengan menahan itulah kita berharap ada faedah dan manfaat yang bisa kita dapatkan. Selain manfaat jasmani, tentu manfaat terbesarnya bagaimana kita semua menjadi hamba-hamba yang dekat dengan Allah SWT.

Poin penting dari pernyataan Al-Ghazali ini bukan dari faktor makanannya saja, tapi perolehannya harus dipastikan melalui jalan yang halal. Sebab, sebenernya puasa juga harus memperhatikan gerak laju anggota tubuh lainnya. Jika perolehannya dari jalan yang haram, secara otomatis ketika menjelma hidangan menjadi haram. Keharaman bukan terletak pada dzat dan wujud makanan, melainkan pada substansi dan nilai makanan tersebut. Sehingga ini akan mempengaruhi nilai dari ibadah puasa itu sendiri. Maka, sesuatu yang haram atau menjadi haram, misalnya, dari kebanyakan makan atau substansi makanan yang diperoleh dari keharaman akan berpotensi merusak agama.

Sejalan dengan pernyataan di atas, ada istilah menarik mengenai makanan ini, Al-Ghazali mengistilahkan dengan fakhsy al-ghidza (makanan yang keji). Menurutnya, makanan yang keji itu menzalimi dan mengakibatkan hati menjadi keras serta menjauhkan diri dari Allah SWT.  Sedangkan makanan yang baik akan menerangi dan melahirkan kelembutan hati, serta mendekatkan dengan Allah, sebagaimana firman-Nya, Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu. (QS Al-Baqarah [2]: 172)[4]

Karena itulah, Al-Ghazali mempertanyakan, bagaimana seseorang dapat mengambil manfaat puasa dengan menghancurkan musuh Allah dan meluluhlantakkan hawa nafsunya, manakala dia berpuasa lalu berbuka dengan apa yang tidak diperolehnya pada siang hari? Sehingga kebiasaan pun berlanjut dengan mengumpulkan dan mengkonsumsi makanan, bahkan yang tidak pernah dimakannya di luar bulan Ramadan sekalipun disantapnya sekalian. Padahal tujuan puasa yaitu mengosongkan perut dan menghancurkan hawa nafsu guna memperkuat jiwa menuju takwa.[5] Dengan kata lain, semakin lezat makanan, maka nafsu makan pun bertambah. Dan ini akan meningkatkan syahwat-syahwat rendah yang menuntunnya pada altar kemalasan dan kemaksiatan.

Di dalam risalah Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin, Al-Ghazali menuliskan satu bab khusus tentang perut dan penjagaannya (al-bathnu wa hifzhuhu). Dia mengatakan, perut adalah tambang yang darinya kebaikan dan keburukan bergerak menjalar ke seluruh tubuh. Sehingga perlu dijauhi karena tiga alasan: 1) menghindari neraka ; 2) seseorang yang mengkonsumsi makanan haram dan syubhat ditolak ibadahnya dan tak beroleh pertolongan dalam menjalankannya; 3) Pemakan haram dan syubhat kebaikannya akan ditolak dan tak dapat balasan.[6]

Dalam konteks kecerdasan nalar dan spiritual, Al-Ghazali pun menandaskan dalam risalahnya yang lain. Seperti disebutkan dalam Bidayatul Hidayah (Menjelang Hidayah): Jagalah urusan perut dari hal-hal haram dan mubah. Berusahalah sekuat tenaga untuk mencari yang halal. Jika engkau telah mendapatkan, berusahalah membatasi diri sampai sebelum kenyang. Karena kenyang itu membuat hati keras, merusak kecerdasan, melupakan hafalan, memberatkan tubuh untuk ibadah dan mencari ilmu, memperkuat syahwat, dan membantu pasukan setan. Kenyang karena makanan halal merupakan pangkal segala keburukan, terlebih makanan haram.[7]

Berkaitan dengan hal di atas, sebuah studi yang sangat menarik dilakukan oleh Berg, dkk.[8] Pada tahun 1960-an mereka melakukan eksperimen dengan seekor tikus—eksperimen yang tidak apple to apple; antara manusia dan hewan; tapi tidak masalah, karena yang hendak diambil adalah substansi dan hikmahnya—dengan timbulnya penyakit ginjal kronis (glomerulonefritis kronis), gangguan jaringan tulang (periosteritis) dan semacam jantung koroner (degenerasi miokard), serta umur panjang dan kematian yang dipengaruhi oleh tingkat asupan makanan.

Dalam pemberian makan ad libitum (sebanyak dan sesering yang diinginkan), tikus mencapai ukuran besar dan mengalami obesitas. Ketika asupan makanan dibatasi 33% atau 46%, (tingkatan untuk mencegah akumulasi lemak dan sedikit efek memperlambat pertumbuhan tulang), usia pun semakin panjang dan timbulnya penyakit dapat dihindari. Meskipun penyakit utama yang menyebabkan kematian pada tikus dan manusia berbeda secara alami, namun jaringan yang terkena penyakit sama. Pada kedua spesies, pembuluh darah, jantung, dan ginjal yang terkena hipertensi berpotensi menjadi komplikasi. Dan terdapat bukti yang cukup bahwa kelebihan berat badan dan obesitas pada manusia menyebabkan harapan hidup pendek dan meningkatnya gangguan kardiovaskular, gangguan ginjal, dan hipertensi.

Selain untuk menghindari munculnya ragam penyakit seperti dibuktikan dalam penelitian di atas, jiwa dan rahasia puasa itu sejatinya untuk melemahkan kekuatan yang menjadi celah setan dalam menjerumuskan manusia pada kejahatan dan kehinaan. Celah-celah itu tak akan tertutup ketika kita tidak segera menutupnya dengan mengurangi makan, terutama mengatur pola makan yang baik dan tidak berlebihan ketika buka puasa.

Dengan makan sedikit, kita dapatkan manfaat kemudahan dalam mengiba hati dan menghadang amalan-amalan saleh. Seperti kata Al-Ghazali: “Barang siapa menjadikan antara hatin dan dadanya tempat penampung makanan, maka dia terhijab dari-Nya. Dan siapa yang mengosongkan perutnya, demikian itu belum cukup untuk mengangkatkan hijabnya sebelum cita-citanya kosong dari selain Allah. Dan pangkal semua itu ada dalam menyedikitkan makanan.”

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, juz. 1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1982), hlm.  235

[2] Ibid., hlm. 235

[3] Ibid

[4] Imam al-Ghazali, “Radhatut Thalibin.,” hlm 103

[5] Al-Ghazali, Ihya., hlm. 235

[6] Imam al-Ghazali, “Radhatut Thalibin.,” hlm. 151-152

[7] Imam al-Ghazali, “Bidayatul Hidayah.,” hlm. 316

[8] Mohammad Mazhar Hussaini, “Islamic Food Habits” dalam http://www.thepenmagazine.net/islamic-food-habits/ akses Rabu, 15 Mei 2019 le 6 Co

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*