Mozaik Peradaban Islam

Puasa Kaum Sufi (5): Psikologi Puasa dalam Ihya Ulumuddin (1)

in Ramadania

Last updated on May 15th, 2019 10:38 am

Puasa sebagai tolak ukur olah spiritual sekaligus moral. Suatu aktivitas untuk mereformasi dan merekonstruksi bangunan psikologis dalam jiwa-jiwa manusia. Ketika berpuasa, maka kesadaran ketuhanan semakin tinggi, hati selalu terpaut dengan Allah, dan diamini melalui perilaku keseharian. Menegakkan optimisme, membangun kepercayaan antarsesama dengan tidak melakukan kebohongan, bergunjing, permusuhanan, adu domba, serta menyebarkan kebohongan.  

Oleh:

Khairul Imam

(Staf Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta)

Gambar ilustrasi. Sumber: floristicplanet.by

Energi positif Ramadan senantiasa mengantarkan umat Islam pada satu titik kesadaran insaniah sekaligus Ilahiah yang terpendam dalam batinnya. Satu bulan bulan penuh umat Islam digembleng untuk merunduk, melihat jauh ke dalam relung jiwanya dengan menggemuruhkan amalan lahir dan batin serta mengontrol diri (self-control) dari segala perbuatan tercela. Dengan harapan, selepas Ramadan katub-katub keberimanan dan ketakwaan umat semakin terbuka lebar, dan kesadaran untuk menjadi manusia yang lebih unggul pun meningkat tajam.

Sama halnya dengan puasa, inti darinya agar ketakwaan dan ketundukan umat terhadap segala pesan-pesan teologis dalam kurva terus meningkat. Karena itulah, puasa selayaknya berfungsi memancing aktivitas ibadah lainnya supaya tambah bersemangat; puasa sepatutnya menjadi motivasi bertambahnya nilai-nilai dalam segala lini kehidupan, baik yang secara langsung bersifat ukhrawi maupun yang tidak langsung.

Bukan sebaliknya, dengan dalih kurangnya asupan makanan dari subuh hingga magrib, maka puasa menjadi ajang menikmati kemalasan. Bukan pula untuk membenarkan secara tekstual ungkapan hadis yang mengatakan bahwa “Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah,” lantas mengisi hari-harinya dengan tidur dan bermalas-malasan.

Selayaknya puasa mampu memantik nilai-nilai positif dalam membangkitkan semangat kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Aktivitas ini harus dijalaninya dengan rasa penuh kesyukuran dan kebahagiaan. Karena bulan Ramadan menjadi salah satu dari keutamaan Allah SWT, maka kita pun diperintahkan untuk menyambutnya dengan segenap kegembiraan dan kesenangannya, seperti firman Allah SWT, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, selayaknyalah mereka bergembira dengan itu semua. Karena karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus [10]: 58).

Al-Ghazali pun tak ketinggalan menguatkan firman-Nya dengan kutipan hadis Nabi Saw, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan saat berjumpa dengan Tuhannya.”[1] Sebab, dia menyadari betul bahwa puasa menjadi pintu utama bagi segenap ibadah, seperti dalam sabdanya, “Setiap sesuatu memiliki pintu, dan pintu ibadah adalah puasa.”[2] Sehingga jika puasa seseorang tidak sempurna puasanya, maka bagaimana dia akan meraih kunci kesempurnaan dari ibadah-ibadah lainnya? Jika menjalaninya tidak dengan keikhlasan dan kegembiraan, lalu bagaimana bisa memperoleh keikhlasan dalam ibadah-ibadah lainnya?

Dalam Ihya, al-Ghazali menjelaskan tentang kesempurnaan puasa khusus: Pertama, menjaga pandangan (ghadhdhul bashar). Dalam konteks ini yaitu menundukkan pandangan dan menjaganya dari jangkauan pandangan segala sesuatu yang merendahkan dan dibenci, serta semua yang menyibukkan hati dan melalaikannya dari Allah SWT.[3] Oleh sebab mata merupakan pihak pertama yang menjadi pintu masuknya segala kebaikan dan keburukan, maka dia menempati urutan pertama yang harus dijaga. Ketika puasa, kita dianjurkan menjaganya dengan bantuan hati dan pikiran. Mata menahan, hati menguatkan, dan pikiran memberikan kontrol serta memverifikasi antara potensi merusak (mafsadat) atau manfaat.

Melalui mata, segala kemaksiatan bisa terlaksana. Sebaliknya, lewat kontrol mata, kebaikan dapat berlanjut dan kemaksiatan dapat digagalkan. Seseorang pun dapat mengatur hati dan pikirannya, serta bersikap abai dari pandangan orang lain, pun dari pandangan kita sendiri. Sehingga ketenangan hati akan kita raih dengan menjaga mata. Dan dengan tenangnya hati maka persoalan kehidupan pun semakin nyaman. Tak ada permusuhan, tanpa gunjingan, tanpa balasan terhadap pandangan keji orang lain.

Karena itu, Nabi Saw mewanti-wanti untuk menjaga pandangan dengan menyebutkan hadis, Pandangan adalah panah beracun di antara panah-panah Iblis yang terkena kutukan Allah. Barang siapa meninggalkan pandangan (yang buruk) karena takut kepada Allah, niscaya Dia akan mendatangkan keimanan, hasil olah kemanisan di dalam hatinya.”

Kedua, menjaga lisan. Puasanya lisan, menurut Al-Ghazali, berarti menjaganya dari perkataan yang sia-sia, dusta, ungkapan adu domba, perkataan keji, ucapan yang merusak hubungan, kata permusuhan, dan ungkapan yang mengandung riya. Demikian sebaliknya, ketika sedang berpuasa dianjurkan untuk berdiam diri serta menyibukkan dengan zikir kepada Allah dan membaca Alquran.[4]

Kenyataan lisan yang tak dapat dicegah lajunya ini segera diinsafi oleh Ibrahim as. dalam doanya, seperti direkam oleh Allah SWT, “Dan jadikanlah bagiku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian” (QS aasyu-Syu’ara’ [26]: 84). Ini artinya, lisan memegang peranan penting dalam kehidupan sosial, sehingga seseorang dapat dipercaya atau tidak bergantung dari lisannya. Bahkan gelar “Al-Amin” yang diperoleh Nabi Muhammad Saw dari masyarakatnya tidak lain hasil dari perangainya yang tidak pernah berbohong. Dan beliau pun menempat kebohongan sebagai puncak dari segala dosa “rasu adz-dzunub al-kadzib.”  

Dalam konteks kekinian, menjaga lisan dapat dianalogikan dengan tulisan. Tulisan tidak saja mengubah satu pikiran, tapi mampu menembus ribuan pikiran manusia. Seperti ungkapan Sayyid Qutb, “Satu peluru hanya dapat menembus satu kepala, namun tulisan bisa menembus ribuan kepala.” Tulisan yang baik bisa mempengaruhi dan menyebarkan kebaikan kepada semua orang. Tapi tulisan yang berisi fitnah, kebohongan, dan kebencian (hate speech) dapat melahirkan dusta dan kebencian yang seterusnya menjadi sesuatu yang dibenarkan. Ini mengingatkan kita akan pernyataan Paul Joseph Goebbels, seorang menteri propaganda Adolf Hitler yang menyatakan “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada masyarakat. Sebab kebohongan yang diulang-ulang akan membuat mereka percaya.

Ketiga, mencegah pendengaran dari hal-hal yang makruh. Menurut Al-Ghazali, setiap yang haram diucapkan berarti haram pula mendengarkannya. Maka dari itu, Allah menyamakan antara orang yang mendengar dengan yang makan makanan haram, seperti firman-Nya: Mereka orang-orang yang suka mendengar untuk berdusta dan memakan yang haram. (QS Al-Maidah [5]: 42). Demikian pula firman Allah yang mengonfirmasi para rabi dan pendeta dengan mengatakan, Mengapa orang-orang alim mereka (rabi), pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan Perkataan bohong dan memakan yang haram?” (QS al-Maidah [5]: 63)

Maka dari itu, Al-Ghazali menegaskan orang yang diam, dalam arti mendengarkan pergunjingan sama halnya sedang mikmati sesuatu yang haram. Karena sebagaimana sabda Nabi Saw, “Orang yang menggunjing dan yang mendengar itu bekerja sama dalam dosa.” Selayaknyanya kita menghindari dari jebakan pergunjingan di tengah-tengah obrolan kita dengan lawan bicara. Jangan sampai terjebak dengan tipuan-tipuan halus yang ditiupkan setan, yang biasanya tanpa disadari obrolan kita melukai perasaan orang lain. 

Dengan berpuasa, kita sedang mengaktifkan self-control.[5] Upaya ini menguatkan ruhani untuk tidak merusak puasa dan mencederai Ramadan dengan perbuatan-perbuatan rendah yang mungkin biasa dilakukan di luar bulan puasa. Puasa menjadi tolak ukur olah spiritual sekaligus moral. Mereformasi dan merekonstruksi bangunan psikologis dalam jiwa-jiwa manusia. Ketika berpuasa kesadaran ketuhanan manusia semakin tinggi, hati selalu terpaut dengan Allah, dan diamini melalui perilaku keseharian. Menegakkan optimisme, membangun kepercayaan antarsesama dengan tidak melakukan kebohongan, bergunjing, permusuhanan, adu domba, dan menyebarkan berita bohong (hoax).

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, juz. 1 (Kairo: Dar asy-Sya’b, tt), hlm. 235

[2] Ibid.,

[3] Ibid., hlm. 236

[4] Ibid.,

[5] Lihat Tamim Mobayed, “The Psychology of Self-control and The Potential Benefits of Fasting” dalam https://www.cilecenter.org akses 14 Mei 2019 ty

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*