Puasa Kaum Sufi (4): Al-Ghazali dan Aspek Psikologis Puasa

in Ramadania

Last updated on May 14th, 2019 05:55 am


Spirit Ramadan dengan berbagai ajaran dan hikmahnya memenuhi ruang semesta manusia. Hari-harinya tampak begitu tenang, lengang. Tak ada kekacauan di ruang-ruang sosial, tak ada kegalauan dan gundah gulana. Seakan dunia berjalan sangat pelan dan nyaman. Mungkinkah ini efek dari puasa yang melemahkan jiwa-jiwa rendah manusia. Atau, menguatkan tekadnya guna memenuhi panggilan takwa. Menahan diri dari bergolaknya nafsu dan perang batin melawan tirani ego.

Oleh:

Khairul Imam

(Staf Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta)


Gambar ilustrasi. Sumber: tarihnotlari.com


Segala ibadah tak lain untuk menjalankan kewajiban. Lebih dalam daripada itu, ia menjadi ekspresi kesyukuran manusia atas karunia kehidupan. Melalui ragam ibadah, Allah mengajarkan manusia bagaimana mengungkapkan rasa terimakasih atau segala hal, baik dari sisi pemenuhan materi maupun sisi ketenangan dan ketentraman yang tersembunyi dalam jiwa. Bagi kaum sufi, ibadah tidak sekadar pemenuhan kewajiban. Ibadah merupakan ekspresi cintanya kepada Tuhan tanpa batasan, sekaligus menjadi hal terpenting yang meliputi diri dan dunianya. Tiada hari terlewati dan waktu terlampaui tanpa ibadah. Sehingga ia akan tetap beribadah untuk membuktikan cintanya, tanpa terikat dengan janji pahala dan surga serta ancaman dosa, tak terkecuali ibadah puasa.

Puasa telah menjadi aspek utama dalam rangkain ibadah umat Islam. Tanpa ibadah yang satu ini, keberislaman kita akan dipertanyakan. Ia menjadi tak sempurna. Sebegitu pentingkah puasa itu, bahkan jauh sebelum ditetapkannya syariat Muhammad, puasa telah menjadi bagian ibadah kaum-kaum sebelumnya, seperti syariat kaum Nabi Nuh as. serta umat Nasrani dan Yahudi.  

Lantas ada apa sebenarnya dengan puasa? Memang, puasa secara sederhana sekadar menahan lapar, dahaga, dan kemaluan. Namun, justru menahan sesuatu itu lebih menyedihkan daripada kebolehan yang kita dapatkan. Larangan mengundang penasaran. Semakin dilarang, maka bertambah rasa ingin tahu manusia. Karena selain menahan, puasa sejatinya membunuh ego. Ego manusia ditekan untuk tidak memenuhi keinginannya, melainkan sebatas mempersiapkan bekal kebutuhan perjalanan puasa hingga magrib menjelang.

Karena itulah, Al-Ghazali menandai ibadah ini dengan satu hadis dari Rasulullah Saw yang menyatakan, “Puasa adalah setengah kesabaran,” yang selaras dengan hadis, “Kesabaran adalah setengah dari keimanan.” Karena keistimewaanya di hadapan Allah SWT dibanding dengan amalan-amalan lainnya, seperti firman-Nya dalam hadis qudsi, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku akan mengganjarnya secara Pribadi.”[1]

Sebab, di dalam puasa manusia diuji kesabarannya. Sabar dalam menjalani perintah ketakwaan kepada Allah, dan sabar menjalankan larangan. Karena ketika puasa, hati kita senantiasa berontak mempertanyakan manfaat semua ini. Hati serasa mengajak berdebat tentang arti ibadah ini; Kenapa harus menahan? kenapa tidak boleh melakukan ini dan itu? Kenapa tak boleh makan dan minum; untuk apa dan siapakah ibadah ini? Dan seterusnya.

Dalam konteks ini, Maimun bin Mahran pernah mengatakan bahwa sabar itu ada dua: Sabar atas musibah, dan ini baik sekali. Akan tetapi, yang paling utama adalah sabar dari perbuatan maksiat. Karena yang terakhir ini pada akhirnya akan memperoleh kemenangan dan kesuksesan. Sementara pelakunya akan mendapatkan jejak-jejaknya di dunia sebelum Hari Kiamat, dan pada Hari Kiamat dia akan memperoleh pahala surga (QS Ali ‘Imran [3]: 200)[2]

Sabar dalam puasa berarti sabar dalam menjalankan takwa sekaligus sabar dalam rangka menjaga diri dari kemaksiatan. Dengan begitu, kita membunuh ego. Dengan membunuh ego, secara tidak langsung kita telah menjaga hati dari pesakitan. Karena poros segala penyakit tubuh ada dalam kendali hati. Maka tak heran ada ungkapan, “Berpuasalah, maka itu menyehatkan.” Sebab dengan puasa kita mengendalikan aspek lahiriah dan batiniah secara bersamaan. Termasuk mengendalikan ego yang berpotensi menyengsarakan hati.

Seperti disampaikan Robert Frager,[3] di antaranya ego atau hasrat untuk menceritakan ibadah kita kepada orang lain. Jikalau ibadah lainnya dapat disaksikan oleh orang lain, maka puasa tak ada yang mengetahui kecuali oleh pelaku dan Allah SWT. Dia pun  mengatakan, puasa untuk melemahkan nafs. Nafs mendorong manusia untuk melakukan segala yang mudah, nyaman, atau menyenangkan, daripada yang benar. Dengan puasa, maka kebutuhan tidak serta merta kita penuhi. Mengendalikan perintah tirani nafsu, untuk memenuhi ketakwaan. Ada jeda, ada masa istirahat dari aktivitas nafsu, dan kesempatan ini menjadikan manusia mampu menaklukkan egonya.

Selain itu, puasa juga menampakkan nafs. Dalam arti, perang batin melawan tirani ego antara membatalkan puasa dan melanjutkannya. Nafs muncul melalui bisikan-bisikan lembut yang saat demi saat semakin besar. Tidak hanya keinginan untuk berbuka di siang hari, tapi hasrat untuk bergunjing, mencela, dan memaki, serta meluapkan amarah yang mengurangi nilai ibadah puasa kita.

Frager juga menjelaskan bahwa puasa memperkuat tekad dan membangkitkan ingatan terhadap Tuhan. Memperkuat tekad untuk menolak dan memuaskan dorongan makan dan minum. Dan yang terpenting dari semua ini, setiap kali menolak makan dan minum pada siang hari maka ingatan kita selalu pada perintah Allah SWT. Dengan begitu, puasa mengajarkan kepada kita untuk tidak menjadi budak kebiasaan-kebiasaan kita.[4]

Demikian ini sangat kontekstual dengan keterangan Al-Ghazali dalam Ihya[5] tentang puasa khusus. Menurutnya, puasa khusus merupakan puasanya orang-orang saleh. Puasa mengendalikan anggota tubuh dari perbuatan dosa, dan kesempurnaannya antara lain dengan enam hal: pertama, menjaga pandangan; kedua, menjaga lisan; ketiga, mengendalikan pendengaran; keempat, mengendalikan sebagian tubuh lainnya dari perbuatan dosa dan hal-hal yang dibenci, seperti tangan, kaki, perut dari syubhat dan lain-lain. Kelima, tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan halal ketika berbuka; keenam, setelah berbuka selayaknya hati senantiasa terpaut antara kecemasan (khauf) dan harapan (raja), karena kekhawatiran sekiranya puasanya tidak diterima Allah SWT.

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, juz. 1 (Kairo: Dar asy-Sya’b, tt) hlm. 231

[2] Lihat Bab “Fadhlus Shabr an al-Ma’ashi” dalam https://kalemtayeb.com/safahat/item/41158, diakses Sabtu 11 Mei 2019

[3] Robert Frager, Psikologi Sufi, terj.Hasmiyah Rauf (Jakarta: Zaman, 2014), hlm. 234

[4] Ibid., hlm 235

[5] Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, juz. 1…, hlm. 235-236

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*