Puasa Kaum Sufi (7): Psikologi Puasa dalam Ihya Ulumuddin (3)

in Ramadania

Last updated on May 22nd, 2019 06:22 am

Puasa mengekspresikan takut (khauf) melalui kekhusyukan dan ketundukan. Menepati perintah Tuhan untuk menggapai janji-janji pahala dan surga, dipuncaki harapan perjumpaan dengan al-Haqq. Puasa menanamkan satu harapan (raja`) keabadian. Harapan kebahagiaan dunia dan akhirat. Harapan untuk dapat mempersembahkan yang terbaik dari ibadah manusia yang berlumur dosa. Harapan untuk merengkuh rahmat Tuhan, dan Tuhan merengkuh kita dengan kasih sayang-Nya (radhiyallah wa radhu anhu).

Oleh:

Khairul Imam

Staf Pengajar Institu Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta

Gambar ilustrasi. Sumber: chicagognosis.org

Ramadan dengan seperangkat keistimewaan di dalamnya mengajak kita merenung. Berdoa dan bermunajat mengekspresikan harapan atas karunia dan rahmat Tuhan. Seluruh umat berharap yang terbaik dari bulan terbaik. Tak diragukan lagi, ada harapan besar (raja) berpadu dengan kekhawatiran (khauf) yang terejawantah dalam doa-doa mereka tatkala berbuka, “Semoga ditetapkan pahala puasa kami, jika Allah menghendaki (wa tsabatal ajru, insyaAllah.)” Di dalam batin mereka tersirat tanda tanya, akankah puasa kami diterima? Namun, satu kesadaran yang dibangun Nabi untuk memotivasi umat bahwa ada tiga doa yang tak tertolak; pemimpin yang adil; orang yang berpuasa ketika dia berbuka; orang yang terzalimi.

Dalam doa, ada ekspresi harapan (raja), yaitu ketika seseorang membersitkan dalam hatinya, lalu mengungkapkannya lewat lisan. Dia berharap yang terjadi tidak sebaliknya. Ada optimisme untuk meraih yang terbaik. Kata “semoga” menjadi clue bahwa harapan melampaui pesimisme. Sesaat sebelum kata ini disuarakan, ada kekhawatiran sekaligus ketakutan dengan apa yang telah dikerjakannya gagal, tak diterima Tuhan. Dengan begitu, optimisme umat yang tersimpan dalam batinnya menjelma satu kedinamisan untuk terus melanjutkan kehidupan.

Ini pula yang dipesankan Al-Ghazali ketika membincangkan poin terakhir atau keenam dalam puasa khusus. Menurutnya, setelah berbuka puasa, selayaknya hati manusia terpaut dalam kegelisahan antara ketakutan (khauf) dan harapan (raja) karena ketidaktahuannya; apakah puasanya diterima hingga dia termasuk orang-orang dekat (al-muqarrabin); atau puasanya tak diterima dan bergabungan dengan golongan yang dibenci (al-mamqutin). Dan sepatutnya hal ini juga dilakukan pada setiap ibadah yang baru selesai dilakukannya.[1]

Terma takut (khauf) dan harap (raja) menjadi istilah kunci dalam tahapan tasawuf. Dalam tataran awam, ini penting dipahami sebagai upaya menanamkan perasaan takut kepada Allah, bukan selainnya. Terma khauf atau takut ini tidak boleh dipisahkan dengan raja atau harapan. Keduanya ibarat keping mata uang yang satu sama lain saling memberikan nilai. Takut (khauf) disertai harapan (raja) supaya manusia dapat menyaksikan sifat kasih dan sayang Allah mendahului segala sesuatu, sebagaimana firman Allah SWT dalam sebauh hadis qudsi, “Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku.”

Imam Al-Qusyairi memberikan pengertian takut atau khauf dengan mengatakan: adalah problematika yang berkenaan dengan peristiwa yang akan datang. Sebab seseorang hanya akan takut sekiranya sesuatu yang tak diharapkan menimpanya, atau sesuatu yang diinginkan luput darinya. Demikian ini berkaitan dengan masa yang akan datang. Sedangkan berkaitan dengan hal yang telah terjadi, takut kepada Allah berarti takut akan hukuman-Nya di dunia maupun di akhirat. Karena itu, Allah mewajibkan takut kepada hamba-Nya dalam firman-Nya, “Maka takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran [3]: 175)[2]

Yahya bin Mudz dalam Jawahir At-Tashawwuf mengatakan, “Duhai nestapanya manusia, sekiranya dia takut kepada neraka sebesar takutnya kepada kemiskinan, niscaya dia akan masuk surga.[3] Namun, tidak hanya takut (khauf) an sich. Dalam berbagai referensi tasawuf, terma ini selalu berdampingan dengan raja atau harap[an]. Harapan berarti keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkan menjadi kenyataan. Kebalikan dari takut, harapan memberikan kedinamisan dan menghidupkan. Harapan mendorong lahirnya optimisme untuk mengejar dan mewujudkannya. Tanpa ada harapan, hal itu akan menjelma angan-angan yang tidak akan menggerakkan, tapi menciptakan kemalasan.[4]

Al-Ghazali melanjutkan keterangannya dengan satu riwayat dari Al-Hasan Al-Bashari. Dia mengatakan: “Pada suatu kesempatan dia melewali suatu kaum yang sedang tertawa terbahak-bahak, lalu dia berkata: ‘Sejatinya Allah menjadikan bulan Ramadan sebagai tempat persembunyian bagi makhluk-Nya, di mana mereka berlomba-lomba untuk menaati-Nya. Sehingga, bergegaslah suatu kaum hingga mereka memperoleh kemenangan; dan tertinggallah kaum lainnya, dan mereka pun mendapatkan kerugian. Karena itu, sangat mengherankan bagi orang yang tertawa dan bermain-main pada hari ini, di mana orang-orang yang bergegas memperoleh kemenangan, dan orang-orang yang berjalan sia-sia akan merugi. Demi Allah, seandainya tutup itu tersingkap, sungguh orang-orang baik akan berbuat kebaikan dan orang jahat akan tetap dengan kejahatan mereka.”

Dia pun membubuhkan penjelasan bahwa kegembiraan orang-orang yang amalannya diterima akan menjauhkannya dari bermain-main dan senda gurau. Sedangkan kesedihan orang yang tertolak amalannya akan menutup pintu tertawanya.[5] Pernyataan ini menjadi satu kesadaran bahwa orang-orang yang bergembira karena amalannya diterima akan meluapkan kegembiraannya dengan asyik masyuk dalam ketaatan. Kegembiraannya itu diperoleh dengan keistiqamahan dan ketundukan kepada Tuhan. Dan harapannya dibangun dengan kepatuhan, bukan dengan angan-angan kosong. Sementara mereka yang amalannya tertolak akan menutup pintu tawanya. Dia mulai sadar dan menumbuhkan takut (khauf) dengan kesedihanya, dan mengekspresikan harap (raja) dengan menutup tertawanya untuk menghadang amalan-amalan selanjutnya.

Ini sejalan dengan ungkapan Syah Al-Kirmani, “Tanda adanya harapan dengan ketaatan yang baik kepada Tuhan.”[6] Berharap disertai amalan terbaik yang sanggup dia lakukan, karena amalan menjadi simbol optimisme bagi orang yang memiliki harapan. Seperti sepenggal perbincangan Ahnal bin Qais dan seorang kakek tentang puasa. Ahnal bin Qais berkata: “Engkau sudah tua, dan puasa itu melemahkanmu, wahai Kakek.” Sang Kakek menjawab, “Ketahuilah, aku ini sedang mempersiapkan perjalanan jauh. Dan bersabar atas ketaatan kepada Allah itu lebih ringan ketimbang bersabar terhadap azab-Nya.” Demikian maksud puasa batin menurut al-Ghazali.[7]

Walaupun begitu, Al-Ghazali tetap memberi warning dalam menyikapi takut (khauf) dan harap (raja).[8] Dia mengatakan bahwa ungkapan “Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Maka kami bisa berharap pada ampunan-Nya” seringkali disalahpahami. Tak jarang kata ini justru menjadi ketertipuan orang-orang beriman yang durhaka. Mereka hanya berharap tanpa melanggengkan amalan. Jika harapan tidak didahului amal, berarti itu merupakan bentuk ketertipuan. Harapan (raja) itu ada tiada lain untuk mendinginkan panasnya takut (khauf) dan putus asa. Namun yang terpenting, menggabungkan keduanya tanpa melalaikan dorongan untuk mencari amalan berlimpah.

Pada dasarnya, ungkapan yang dimaksud Al-Ghazali di atas merupakan bentuk harapan (raja) terbaik, namun disalahpahami dengan hanya harapan tapi mengabaikan amal. Bisa jadi ini karena mengandalkan kebaikan dan kezuhudan para pendahulunya. Setan membisikkan tipuan melalui runtutan analogi; siapa yang mencintai seseorang, dia juga mencintai anak-anaknya. Dan Allah mencintai nenek moyang mereka, berarti Dia juga mencintai mereka. Dengan itu, mereka tak perlu menjalankan ketaatan dan mengandalkan keyakinan ini, hingga tertipu karena Allah SWT. Dengan mengandalkan nasab dan kedekatan, hingga seseorang mengandalkannya tanpa memperhatikan amalannya sendiri. Ini, kata Al-Ghazali, seperti orang yang menganggap dirinya bisa kenyang karena orang tuanya telah makan; atau dahaganya bisa hilang sebab orang tuanya telah minum.[9]

Kesesuain antara perhatian Al-Ghazali dalam masalah ini seperti pengalaman perjumpaan Imam Thawus dan Imam Ali bin Al-Husain.[10] Thawus berkisah, “Pada satu kesempatan, saya pernah melihat sesorang yang sedang shalat di bawah saluran air di Masjidil Haram. Dia berdoa dengan khusyuk dan menangis. Ketika telah menyelesaikan shalatnya, aku pun menghampirinya. Ternyata orang itu adalah Ali bin Al-Husain ra. Kemudian aku berkata, “Duhai keturunan Rasulullah Saw., aku melihatmu seperti ini dan itu. Dan engkau memiliki tiga harapan yang kelak memberikan keamanan dari rasa takut: Pertama, engkau cicit Rasulullah Saw.; kedua, syafaat dari kakekmu; ketiga, rahmat dan kasih sayang Allah.” Kemudian Imam Ali bin Al-Husain menimpalinya, “Meski aku ini cicit Rasulullah, tapi belum bisa menjadi jaminan keamananku di akhirat kelak. Bukankah kau telah mendengar firman Allah, “Bilamana sangkakala ditiup, maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak bisa lagi saling bertanya di antara mereka.” (QS Al-Mukminun [23]: 101). Syafaat kakekku, belum tentu menjamin, sebab Allah berfirman, “… dan mereka tiada memberi syafaat kecuali kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS Al-Anbiya [21]: 28). Sedangkan rahmat Allah SWT., seperti firman-Nya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Araf [7]: 56). Sementara aku sendiri tak tahu, apakah termasuk golongan orang yang berbuat baik (atau bukan).”

Maka, dengan puasa, kita menunjukkan rasa takut (khauf) melalui kekhusyukan dan ketundukan. Menepati perintah Tuhan untuk menggapai janji-janji pahala dan surga, dan dipuncaki lewat harapan perjumpaan dengan al-Haqq. Dengan puasa pula menanamkan satu harapan (raja) keabadian. Harapan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Harapan untuk dapat mempersembahkan yang terbaik dari ibadah manusia yang berlumur dosa. Harapan untuk dapat merengkuh rahmat Tuhan, dan Tuhan merengkuh kita dengan kasih dan sayang-Nya (radhiyallah wa radhu anhu)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, juz. 1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1982), hlm.  235

[2] Imam al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah (Kairo: Dar Jawami’ al-Kalim, tt), hlm. 156

[3] Yahya bin Mu’adzar-Razi, Jawahir at-Tashawwuf, tahqiq: Said Harun Asyur (Kairo: Makabahal-Adab, 1423 H/ 2002 M), hlm. 58

[4] Ibid., hlm. 162

[5] Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, juz. 1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1982), hlm.  235

[6] Lihat Imam al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah., hlm. 163

[7] Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, juz. 1., hlm.  236

[8] Imam al-Ghazali, “Al-Kasyfu wa at-Tabyin” dalam Majmu’ Rasail al-Imam al-Ghazali., hlm.

[9] Ibid

[10] Yahya bin Mu’adzar-Razi, Jawahir at-Tashawwuf, hlm. 59

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*