Mozaik Peradaban Islam

Puncak Adam Sri Lanka (2): Ziarah Muslim

in Travel

“Tidak diketahui secara pasti dari sejak kapan Muslim mulai melakukannya. Salah satu tokoh Muslim yang pernah mendatanginya adalah Ibnu Bathuthah, penjelajah ternama dari abad ke-14.”

–O–

Sebelumnya telah dikisahkan, bahwa Puncak Adam sudah diziarahi oleh orang-orang Veddic yang menyembah Dewa Saman, yang mana itu terjadi pada 1.500 tahun sebelum Masehi.[1] Puncak Adam telah menarik banyak peziarah terkemuka, di antaranya: Marco Polo dan Ibnu Bathuthah pada abad ke-14, Hermann Hesse pada abad ke-20, dan banyak raja dan pangeran, utusan kepausan, dan juga pembesar-pembesar lainnya. Konon, bahkan Alexander Agung pernah juga mendatanginya.[2]

Adapun sebagai destinasi ziarah bagi Muslim, tidak diketahui secara pasti dari sejak kapan mereka mulai melakukannya. Salah satunya yang diketahui pernah melakukannya adalah Ibnu Bathuthah. Ibnu Bathuthah adalah seorang penjelajah Muslim ternama dari abad ke-14 yang telah menjelajahi lebih dari 40 negara yang kita kenal hari ini. Ketika kembali ke kampung halamannya di Maroko setelah 29 tahun perjalanan, dia mencatatkan petualangannya yang luar biasa ke dalam sebuah buku yang berjudul Rihlah.[3] Meskipun demikian, dalam catatan perjalanannya Ibnu Bathuthah mengindikasikan bahwa praktek ziarah ke Puncak Adam sudah dilakukan oleh Muslim-muslim lain selain dirinya. Ibnu Bathuthah berkata bahwa Syekh Abdallah ibnu Khafif, seorang sufi Mistik dari Persia pada abad ke-10 pernah berziarah ke Puncak Adam.[4]

Dalam bukunya, Ibnu Bathuthah sempat mengatakan bahwa Puncak Adam adalah salah satu gunung tertinggi di dunia, yang mana sebenarnya itu salah. Namun itu dapat kita maklumi mengingat keterbatasan ilmu pengetahuan pada saat itu. Gunung tertinggi di dunia adalah Everest, dengan tingginya yang mencapai 8.850 MdPl,[5] sementara itu Puncak Adam hanya 2.240 MdPL.[6] Berikut ini adalah kisahnya:

“Gunung Sarandib (Puncak Adam) adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Kami melihatnya dari laut ketika perjalanan kami masih sembilan hari lamanya,  dan ketika kami mendakinya, kami melihat awan di bawah kami, menutup pandangan kami ke bawah. Di sana ada banyak pohon cemara dan bunga dengan berbagai macam warna, termasuk mawar merah sebesar telapak tangan. Di gunung itu ada dua jalur menuju Tapak Kaki (Adam), satunya disebut jalur Baba, dan lainnya jalur Mama, yang berarti Adam dan Hawa. Jalur Mama mudah dilalui dan merupakan rute pulang para peziarah, tetapi siapa pun yang melewati jalur itu, oleh mereka dianggap tidak melakukan ziarah sama sekali. Jalur Baba adalah jalur pendakian yang sulit dan curam.

Lukisan Puncak Adam dalam buku Ibnu Bathuthah yang berjudul Rihlah.

“Generasi sebelumnya telah membentuk semacam tangga di gunung itu, dan memasang tiang-tiang besi di sekitarnya, di sana mereka memasang rantai-rantai untuk pegangan para pendaki. Ada sepuluh rantai yang seperti itu, dua di kaki bukit “gerbang”, tujuh di jalur panjang yang berurutan, dan yang ke sepuluh di “rantai pengakuan keimanan”, disebut demikian karena ketika seseorang mencapainya dan melihat ke bawah ke arah kaki gunung, dia dikuasai, oleh kekhawatiran dan membacakan doa-doa karena takut jatuh. Setelah melewatinya, engkau akan menemukan jalur yang sukar. Dari rantai ke-sepuluh ke gua Khidr berjarak sekitar 11 km, gua ini terletak di dataran yang luas, dan di dekatnya ada mata air yang penuh dengan ikan, tetapi tidak ada satupun yang menangkapnya. Di dekatnya ada dua bak yang terbuat dari batu di sisi jalan. Di gua Khidr, para peziarah meninggalkan barang-barang mereka dan naik ke puncak gunung sejauh sekitar 3 km di mana Tapak Kaki berada.

Puncak Adam yang sebenarnya pada hari ini. Photo: news.lk

“Tapak Kaki yang diberkati, tapak kaki Adam ayah kita, berada di atas batu hitam megah yang berada di dataran yang luas. Tapak Kaki yang diberkati itu melesak ke dalam batu, cukup untuk meninggalkan kesan seperti yang sengaja dilubangi. Panjangnya sebelas jengkal. Pada zaman kuno orang-orang Cina datang ke sini dan memotong bagian bekas jempol dan sendinya. Mereka menempatkannya di sebuah kuil di Zaytun, di mana ia dikunjungi oleh orang-orang dari bagian terjauh negeri itu.

“Pada batu Tapak Kaki tersebut ada sembilan lubang yang sengaja dilubangi oleh peziarah kafir agar mereka dapat menaruh persembahan seperti emas, batu mulia, dan permata. Engkau dapat melihat para Darwish, setelah mereka mencapai gua Khidr, berlomba satu sama lain untuk mengambil apa yang ada di lubang itu. Kami, pada bagiannya, tidak menemukan apa pun di dalamnya kecuali beberapa batu dan sedikit emas, yang mana kami berikan kepada pemandu.

“Adalah hal yang biasa bagi para peziarah untuk tinggal di gua Khidr selama tiga hari, mengunjungi Tapak Kaki setiap pagi dan sore, dan kami mengikuti praktik ini. Ketika tiga hari berakhir, kami pulang melalui jalur Mama, dan berhenti di beberapa desa di sekitar gunung. Di kaki gunung ada pohon kuno yang dedaunannya tidak pernah jatuh, terletak di tempat yang tidak bisa ditinggali. Aku belum pernah bertemu dengan siapa pun yang telah melihat daunnya jatuh. Di sana aku melihat sejumlah Yogi yang tidak pernah berhenti menunggu di kaki gunung menunggu daunnya jatuh. Mereka menceritakan dongeng-dongeng khayalan tentang hal itu, salah satunya adalah bahwa siapa pun yang memakannya akan memperoleh kembali masa mudanya, bahkan meskipun dia sudah tua, tetapi kisah itu tidak benar. Di kaki gunung terdapat danau besar tempat mengambil batu rubi, menyajikan pemandangan hamparan air dengan warna biru muda.”[7] (PH)

Selesai.

Sebelumnya:

Puncak Adam Sri Lanka (1): Ziarah Empat Agama

Catatan Kaki:

[1] “Vedic religion”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Vedic-religion, diakses 1 Oktober 2018.

[2] Norbert C. Brockman, Encyclopedia of Sacred Places: Volume 1 (ABC-CLIO, LLC, 2011), hlm 7.

[3] Evan Andrews, “Why Arab Scholar Ibn Battuta is the Greatest Explorer of all Time”, dari laman http://www.history.com/news/why-arab-scholar-ibn-battuta-is-the-greatest-explorer-of-all-time, diakses 19 Januari 2018.

[4] Ibn Battuta, Travels In Asia And Africa 1325-1354, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, Broadway House, Carter Lane; 1929), diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh H.A.R Gibb, hlm 92-97.

[5] Barry C. Bishop, (Henry Cecil) John Hunt, (Cuthbert) Wilfrid (Francis) Noyce, Norgay Tenzing, dan Stephen Venables, “Mount Everest”, dari laman https://www.britannica.com/place/Mount-Everest, diakses 1 Oktober 2018.

[6] Norbert C. Brockman, Ibid., hlm 6.

[7] Ibn Battuta, Ibid., hlm 258-259.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*