Runtuhnya Kesultanan Granada: Sebuah Titik Balik Sejarah Islam (5)

in Sejarah

Last updated on December 3rd, 2018 05:31 am

Pada dekade terakhir eksistensinya, Kesultanan Granada, yang merupakan satu-satunya kesultanan Islam terakhir di Andalusia, mengalami dekadensi yang parah. Perekonomian Granada compang-camping, Raja-raja mereka di adu domba, dan rakyatnya terpecah belah.”

—Ο—

 

Lukisan wajah sultan terakhir Granada bernama Muhammad XII atau Boabdil. Oleh masyarakat barat dia juga dikenal dengan panggilan El Rey Chico . Sumber gambar: wikipedia.org

 

Sultan terakhir Granada bernama Abu Abdullah Muhammad XII atau Boabdil. Dia lahir pada tahun 1460 di Istana Alhambra, dan naik tahta pada 1482. Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, perjalanan Boabdil menuju singgasana terbilang dramatis. Ibunya yang bernama Aixa mengobarkan perang sipil melawan suaminya sendiri, hingga berhasil mendongkel kedudukannya dari singgasana, dan menggantikannya dengan Boabdil.[1]

Satu tahun sebelum Boabdil naik tahta, ayahnya bernama Ali Abu Hasan, sudah memprovokasi kerajaan Kristen bersatu. Dia menyerang Zahara, sebuah wilayah kekuasaan Kristen, dan memperbudak penduduknya. Serangan ini memberi alasan yang kuat pada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella untuk memulai perang dan menggenapi upaya penaklukan kembali Semenanjung Iberia (Reconquista).

Pada pertengahan tahun 1482, pasukan gabungan Kristen berhasil merebut Alhama, sebuah wilayah peri-peri kesultanan Granada (lihat peta). Peristiwa ini menandai dimulainya perang Granada.

 

Proses Reconqueista dari waktu ke waktu hingga penaklukan Granada. Sumber gambar: http://entendernuestrahistoria.blogspot.com

 

Sejak serangan pertama ke Alhama tahun 1482, Perang Granada terus berlangsung hingga 10 tahun kemudian. Perang tersebut tidak berlangsung intensif di satu front. Melainkan terjadi di sejumlah wilayah dan front di sekitar Granada. Memang, bila dinilai secara kuantitatif, agregat kedua pasukan jelas tidak seimbang. Dengan pasukan gabungan yang dipimpin Raja Ferdinand, Kesultanan Granada tak ubahnya seperti mangsa yang sedang dikepung oleh kawanan predator. Meski demikian, bukan hal mudah bagi pasukan gabungan Kristen untuk membuat kemajuan dalam agresinya.

Menurut Eammon Gaeron, salah satu masalah utamanya, Ferdinand dan Isabella mengalami kesulitan untuk mengukuhkan otoritasnya sebagai pemimpin tertinggi pasukan koalisi umat Kristiani. Pasukan ini terdiri dari tentara pribadi para bangsawan lokal yang otoritasnya masih otonom. Setiap pasukan masih lebih setia pada tuannya, dan tuan mereka masih belum sepenuhnya tunduk pada otoritas Ferdinand dan Ratu Isabella. Sehingga praktis, tahun-tahun awal terjadinya perang Granada, Ferdinand dan Isabella disibukkan oleh upaya mereformasi pasukannya.[2]

Dalam kondisi demikian, pasukan Kristen sebenarnya sangat diuntungkan dengan adanya perpecahan di internal Kesultanan Granada. Perang sipil yang dikobarkan Boabdil dan ibunya, membuat konsentrasi Ali Abu Hasan pecah. Hingga akhirnya dia harus mengalami kekalahan di kedua sisinya. Di istana, putranya berhasil mengambil singgasananya, dan di luar istana, pasukan Kristen berhasil melucuti wilayah kekuasaan Bani Ahmar.

Ketika Boabdil naik tahta, mau tak mau dia harus mewarisi perang Granada yang dimulai ayahnya. Termasuk juga memulihkan situasi internal pasca perang sipil di kerajaannya. Pada tahun 1483, dia berinisiatif melancarkan serangan ke wilayah Kastilia. Bila berhasil, upaya ini diharapkan bisa menyelesaikan kedua masalah yang dihadapinya. Di satu sisi, dia bisa memulihkan kondisi ekonomi internal, dan sisi lain, dia bisa mengukuhkan kedudukannya di hadapan musuh-musuh Granada. Tapi sayangnya, kenyataan berbanding terbalik. Serangan yang dilancarkannya bisa dipatahkan dengan mudah oleh Raja Ferdinand. Boabdil ditahan, dan ayahnya kembali naik tahta untuk kedua kalinya. [3]

Di pihak Kristen, upaya Ferdinand untuk mengukuhkan otoritas penuh atas seluruh faksi pasukan mulai menemukan titik cerah pada tahun 1484. Ketika itu, dia berhasil menekan Paus Sixtus IV untuk mengeluarkan bulla kepausan yang menjadi dasar kebijakan inkuisisi Spanyol, serta menetapkan pajak perang salib untuk membantu logistik perjuangan Ferdinand.[4] Legitimasi spiritual dari Paus Sixtus ini ternyata berhasil menggandakan kekuatan pasukan Kristen, serta mempererat komitmen para bangsawan Spanyol untuk mendukung misi penaklukkan Granada.

Di sisi lain, Ali Abu Hasan berhasil mengamankan posisinya sebagai sultan Granada hingga tahun 1485. Selama masa tersebut, dia harus menghadapi kembali gejolak perang sipil di dalam kerajaannya, dan pasukan musuh yang terus menerus berhasil merebut wilayah kekuasaannya. Dan ketika usianya sudah lanjut, dia menyerahkan tampuk kekuasaan pada adiknya bernama Muhammad Al-Zanghal, penguasa kota pelabuhan Malaga.[5]

Masih di tahun 1485, Ferdinand memutuskan untuk membebaskan Boabdil. Tapi dengan syarat; Boabdil harus kembali ke Granada untuk merebut tahta dari tangan ayahnya. Dan apabila dia berhasil menjadi Sultan Granada, dia akan menyatakan tunduk setia pada kerjaan Kristen, serta bersedia membayar upeti secara rutin ke hadapan Ferdinand. Syarat ini disetujui oleh Boabdil.

Akhirnya, perang saudara pun kembali berkobar di Granada. Tapi kali ini, semua tidak berlangsung natural. Boabdil membonceng misi kerajaan Kristen di pundaknya. Ferdinand memberikan Boabdil bantuan militer dan logistik yang melimpah untuk menaklukkan pusat kekuasaan Granada. Sambil di sisi lain, Ferdinand juga mengerahkan pasukannya untuk melucuti kekuatan Granada di wilayah peri-peri.

Dan demikianlah, setelah mampu bertahan dalam arus waktu selama lebih dari 200 tahun, Kesultanan Granada, yang merupakan satu-satunya kesultanan Islam terakhir di Andalusia, mengalami dekadensi yang parah. Raja-raja mereka di adu domba, dan rakyatnya terpecah belah. Perekonomian Granada compang-camping. Terlepas dari keruntuhan ekonomi lokal selama masa Perang Granada, rakyat terus diminta membayar pajak yang terus meningkat guna mendukung tentara mempertahankan Granada. Hal ini membuat situasi ekonomi yang buruk menjadi semakin buruk. [6] Sedang di sisi yang berbeda, pasukan Kristen dengan mantap berhasil merebut satu persatu wilayah kekuasaan Granada. (AL)

 

Bersambung…

Runtuhnya Kesultanan Granada: Sebuah Titik Balik Sejarah Islam (6)

Sebelumnya:

Runtuhnya Kesultanan Granada: Sebuah Titik Balik Sejarah Islam (4)

Catatan kaki:

[1] http://www.andalucia.com/spainsmoorishhistory/boabdil.htm

[2] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 188

[3] Lihat, https://mvslim.com/meet-aixa-al-hurra-unconquerable-sultana-granada/, diakses 20 November 2018

[4] Ferdinand mengatakan bahwa jika Sixtus tidak mengirim pasukan untuk membantu kampanyenya melawan Granada, maka Ferdinand akan menahan dukungan militer untuk upaya militer paus sendiri di dalam dan di sekitar Negara Kepausan. Lihat, Eamonn Gearon, Op Cit

[5] Lihat, https://mvslim.com/meet-aixa-al-hurra-unconquerable-sultana-granada/, Op Cit

[6] Lihat, Eamonn Gearon, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*