“Safiyyah Ra menjelaskan bahwa pengkhianatan ayahnya disebabkan oleh superioritas kaum Bani an-Nadhir. Karena garis keturunan mereka (Bani Israil) yang menolak seorang nabi dari bangsa Arab.”
Sejak tiba di Madinah, kabilah Bani an-Nashir di benteng Khaybar tetap menolak ajakan damai. Alih-alih meminta maaf, Huyayy melontarkan hinaan, caci maki, dan mengatakan bahwa kaumnya takkan pernah mau berdamai. Kabilah Bani an-Nadhir akan membunuh semua Muslim.[1]
Karena kabilah yang dipimpin oleh Huyayy identik dengan menghasut perang, maka Nabi Muhammad Saw tidak punya pilihan selain menghadapi mereka.
Perang Khaybar
Huyayy yang arogan tidak menerima Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir. Padahal ia tahu betul dalam kitab Taurat hal tersebut sudah dijabarkan. Safiyyah Ra meriwayatkan sebagai berikut:
“Aku adalah anak kesayangan ayah dan paman. Ketika Rasulullah datang ke Madinah dan tinggal di Quba, kedua orangtuaku menemuinya di malam hari. Dan ketika mereka terlihat bingung dan letih, aku menyambut mereka dengan riang gembira. Namun, yang mengejutkanku, tak seorang pun dari mereka menoleh kepadaku. Mereka begitu berduka sehingga mereka tidak merasakan kehadiranku.
“Aku mendengar pamanku, Abu Yasir berkata kepada ayahku, ‘Apakah itu benar dia?’ Dia menjawab, ‘Ya, demi Allah’. Pamanku berkata: ‘Dapatkah engkau mengenalinya dan memastikan hal ini?’ Dia menjawab ‘Ya’. Pamanku berkata, ‘Bagaimana perasaanmu terhadapnya?’ Dia berkata, ‘Demi Allah, aku akan menjadi musuhnya selama aku hidup’.”[2]
Safiyyah Ra terkejut mendapati reaksi ayah dan pamannya setelah bertemu dengan Rasulullah. Sikap keduanya menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw benar-benar utusan Allah, tetapi mereka memutuskan untuk memeranginya. Safiyyah Ra menjelaskan bahwa pengkhianatan ayahnya disebabkan oleh superioritas kaum Bani an-Nadhir. Karena garis keturunan mereka (Bani Israil) yang menolak seorang nabi dari bangsa Arab.
Perang pun tidak terelakkan lagi antara kaum muslim dan Bani an-Nadhir dengan sekutunya. Selama dua pekan perang berlangsung, kekalahan telak disandang oleh kabilah Bani an-Nadhir dan sekutunya. Huyayy tewas dalam peperangan tersebut, begitu pun dengan Kinanah—suami dari Safiyyah Ra. Perang tersebut dikatakan sebagai salah satu kemenangan besar dalam sejarah muslim.
Pasca Perang Khaybar
Setelah penaklukan di Khaybar, apa yang tersisa dari Bani an-Nashir menjadi harta rampasan peperangan. Perempuan dan anak-anak, menjadi tawanan yang termasuk sebagai hasil rampasan juga. Mengenai hal yang berkaitan dengan Safiyyah Ra, menjadi tawanan ada beberapa pendapat yang dikisahkan berbeda.
Pendapat yang pertama adalah sebagai berikut:
Beberapa sumber mengatakan, di antara para tawanan yang dibawa oleh Ali bin Ali Thalib salah satunya adalah Safiyyah Ra.
Ali memanggil Bilal dan menyerahkan Safiyyah Ra kepadanya, lalu berkata: “Jangan serahkan dia kepada siapa pun kecuali Rasulullah, agar ia dapat memutuskan apa yang harus dilakukan terhadapnya.”[3]
Tujuan Ali mengatakan demikian, karena ia tahu bahwa Safiyyah Ra adalah perempuan dari garis keturunan bangsawan. Ali berusaha melindungi kehormatan dan harga diri Safiyyah Ra, karena diperkenankannya mengambil tawanan sebagai rampasan perang.
Maka Bilal pun membawa Safiyyah Ra dengan salah satu saudara perempuannya untuk menghadap Nabi Muhammad Saw. Namun, Bilal mengantar mereka melewati tubuh-tubuh kabilah Bani an-Nadhir yang sudah tewas. Melihat pemandangan tragis tersebut, Safiyyah dan seorang tawanan wanita lain (disebutkan di beberapa sumber adalah sepupu) menjadi sangat tertekan.
Melihat Safiyyah menangis tergugu saat dibawa ke hadapan Rasulullah, maka terkejutlah beliau. Ketika hal ini diketahui oleh Rasulullah, lalu beliau menegur Bilal, “Apakah kasih sayang telah hilang dari hatimu, wahai Bilal?”[4]
Nabi Muhammad Saw menyatakan kemarahannya, dan memberi titah bahwa tawanan perempuan tidak boleh melihat mayat-mayat dari bangsanya sendiri. Mereka harus dilindungi agar tidak menyaksikan sesuatu yang menyedihkan seperti itu.[5]
Sumber lain menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Bilal bukan karena kesengajaan, melainkan kecerobohan, karena ia seorang laki-laki (dan pejuang) yang mungkin sudah ‘terbiasa’ dengan peperangan.
Namun, tidak bagi perempuan atau anak-anak. Menunjukkan arena perang kepada perempuan dan membuat trauma, bukan identitas dari Islam itu sendiri.
Maka Nabi Muhammad Saw hanya menegur Bilal, untuk menunjukkan rasa belas kasih, lebih sensitif dan juga lebih berhati-hati. Rasulullah pun mengajarkan kepada yang lain, untuk berbelas kasih terhadap perempuan dan anak-anak korban peperangan.[6] (TR)
Bersambung …
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Thaqlain, Safiyya bint Huyayy’s Jewish Background & Her Love for the Prophet, pada laman https://www.youtube.com/watch?v=Ku-fTviowfs&list=PLOXzVYnjThorUIEtu2YYLNRMq6CBgUOu3&index=25 diakses pada 10 Mei 2023
[2] AboutIslam, The Prophet’s Wives Series: From Judaism to Islam – Story of Safiyyah bint Huyayy, pada laman https://aboutislam.net/family-life/husbands-wives/judaism-islam-safiyyah-bint-huyayy/ diakses pada 11 Mei 2023
[3] Sibtayn.com, The Battle of Khaybar, pada laman http://www.sibtayn.com/en/index.php?option=com_content&view=article&id=6546:the-battle-of-khaybar&Itemid=519 diakses pada 12 Juni 2023
[4] Ibid.
[5] The Review of Religion, The Noble Wives of The Holy Prophetsa – Hazrat Safiyyahra Part 1, pada laman https://www.reviewofreligions.org/9733/the-noble-wives-of-the-holy-prophetsa-hazrat-safiyyahra-part-1/ diakses pada 12 Juni 2023
[6] Thaqlain, Saffiya bint Huyayy’s Jewish Background & Her Love for the Prophet, pada laman https://www.youtube.com/watch?v=Ku-fTviowfs&list=PLOXzVYnjThorUIEtu2YYLNRMq6CBgUOu3&index=25 diakses pada 10 Mei 2023