“Ia adalah sosok ningrat Persia, berderajat Brahmana; yang berjalan keliling dunia, mengitari arus waktu; melepaskan martabatnya, menekuni penghambaan, menjadi murid, budak dan hamba sahaya; demi satu tujuan, bertemu dengan maha guru kebijaksanaan; memohon untuk agar beliau sudi mengajaknya serta dalam perahunya menuju keharibaan Al Haq.”
—Ο—
Salman Al Farisi adalah salah satu sahabat paling terkemuka di antara para sahabat Rasulullah SAW. Perannya dalam Perang Khandaq, dicatat sebagai paling monumental. Ia yang mengusulkan pada Rasulullah SAW agar membangun parit di sekeliling kota Madinah untuk menghalau pasukan koalisi bangsa Arab pimpinan Abu Sufyan. Pemimpin kaum kafir ini menggalang aliansi dengan semua kabilah di jazirah Arab, termasuk Yahudi di dalamnya. Ia menggelontorkan dana sangat besar untuk menyewa bala tentara yang mahal, dan pendekar-pendekar pilih tanding dari seluruh negeri.
Sebagaimana kita ketahui, bangsa Arab jahiliah terpecah-pecah dalam klan yang saling berperang satu sama lain. Permusuhan satu dan lainnya bisa berlangsung berpuluh tahun bahkan abad. Ditambah lagi, sumber daya alam yang minim membuat mereka tidak mungkin bercocok tanam. Berdagang pun mereka harus melintasi padang pasir tandus yang tak kalah melelahkan. Pekerjaan mereka umumnya adalah merampok dan membajak kafilah-kafilah dagang yang lewat dari Yaman dan Syam. Intinya, semua keterbatasan sumber daya dan kerasnya lingkungan hidup, membuat mereka menjadi masyarakat yang insecure.
Abu Sufyan, seorang pedagang dan juga politikus kawakan di jazirah Arab sangat memahami titik lemah bangsanya. Dengan cerdik ia merangkul para saudagar Yahudi untuk bersatu dan menggelontorkan dana yang belum pernah dilihat suku-suku nomaden tersebut. Melihat upah yang menggiurkan, sontak semua klan-klan tersebut menyambut seruan Abu Sufyan dan bergabung untuk menyerang Madinah. Maka jadilah serangan sebut sebagai pagelaran pasukan paling besar dalam sejarah yang pernah dikerahkan bangsa Arab masa itu.
Gema tentang adanya pasukan raksasa yang akan menghancurkan Madinah tersebut terdengar ke segala penjuru, khususnya di Madinah. Dalam situasi itu, Rasulullah SAW mengajak para sahabat untuk bermusyawarah mencari jalan keluar atas masalah ini. Kemudian muncullah ide yang unik dari Salman Al Farisi yang ketika itu baru dibebaskan dari perbudakan. Salman mengatakan, bahwa di negerinya (Iran saat ini), mereka membangun parit untuk menghalau pasukan yang bobot kekuatannya lebih besar dari mereka. Ide ini kemudian diterima secara aklamasi oleh semua yang hadir.
Maka sebagaimana sejarah mencatat, sekeliling Madinah digali parit. O. Hasem menyebutkan bahwa kedalaman parit tersebut mencapai 3,2 meter (7 hasta) sampai 4,6 meter (10 hasta); dan lebarnya paling sedikit 4,1 meter (9 hasta). Parit ini memanjang sejauh 1,5 Km di sebelah utara Masjid Nabawi. Dalam riwayat Muhammad bin Ahmad Basyamil, melalui observasi terhadap bekas parit yang tersisa sekarang, kemungkinan parit tersebut panjangnya mencapai 5000 hasta.
Dalam proses penggalian ini, semua orang terlibat, tak terkecuali Rasulullah SAW. Beliau SAW bahkan secara langsung mengarahkan proses pengerjaan tersebut hari demi hari. Beliau SAW yang membagi tiap 40 hasta/ 18,4 meter di kerjakan oleh 10 orang. Dengan demikian, bila kita memperkirakan jumlah kaum laki-laki Madinah pada masa itu, dengan panjang parit 5000 hasta, maka jumlah pekerja proyek tersebut sekitar 1.250 orang. Dan karena semua laki-laki di Madinah terlibat, maka bisa dikatakan bahwa jumlah tersebut adalah seluruh kekuatan di Madinah. [1]
Singkat cerita, pada pertengahan bulan Syawal tahun kelima hijrah, dua pasukan bertemu. Penduduk Madinah tercengang. Kabar burung itu tidak salah. Ini memang pasukan paling besar yang pernah mereka saksikan. Sebagai catatan, penduduk Madinah umumnya petani miskin. Mereka tidak terbiasa berpetualang meninggalkan kampung halamannya. Belum pernah mereka menyaksikan fenomena pasukan berkumpul sebanyak itu. Terlebih pasukan itu datang justru untuk menghancurkan tanah air mereka. Maka sebagaimana disebutkan O. Hasem, tidak sedikit di antara mereka panik meninggalkan pasukan secara diam-diam dan bersembunyi ke dalam rumahnya.[2]
Tapi yang justru menarik, pasukan koalisi Arab pimpinan Abu Sufyan justru terkejut melihat parit yang membentang di depan mereka. Sama seperti orang Madinah, kaum Quraisy ini juga belum pernah melihat fenomena strategi seperti itu. Bahkan terlintaspun tidak dalam bayangan mereka. Selama beribu tahun bangsa Arab selalu memahami perang sebagai serangan satu arah, body contact, dan hidup mati. Bagi mereka, sistem pertahanan adalah tembok yang membentang ke atas. Tapi tiba-tiba mereka harus menyaksikan lawan-lawan mereka yang berjumlah kecil dan ringkih itu duduk tenang di seberang sana, sedang mereka hanya bisa menahan emosi sambil menatap parit yang tidak mungkin mereka lewati.
Pasukan raksasa dengan energi melimpah itu mendadak ngadat di tepi parit. Tidak bisa maju, mundur pun tidak mungkin. Seperti merasa dilecehkan, akhirnya mereka berteriak-teriak mengejek kaum Muslimin sebagai pengecut dan tidak ksatria. Mereka menganggap semua yang dilakukan ini bertentangan dengan muru’ah atau sifat-sifat yang diagungkan oleh bangsa Arab. Tapi provokasi ini ditanggapi dingin oleh kaum Muslimin.
Alhasil, tidak ada pertempuran itu. Hanya terjadi beberap duel antara para pendekar ternama di jazirah Arab, menghadapi Ali bin Abi Thalib. Salah satu pendekar paling dikenal dan berbiaya tinggi saat itu bernama ‘Amr bin ‘Abdi Wadd, tewas di tangan Ali bin Abi Thalib. Ketika ‘Amr bin ‘Abdi Wadd tewas, maka pendekar lainnya langsung lari tunggang langgang, tak ada lagi yang berani menantang duel.
Selebihnya, Abu Suryan dan koleganya terkatung-katung di tengah gurun seperti orang tersesat. Cuaca dingin ekstrim dan panas di siang hari yang berangin membuat kondisi mereka makin memprihatinkan saja. Sedikit demi sedikit bekal mereka habis. Ribuan unta sudah disembelih untuk menyambung hidup, hingga akhirnya mereka putus asa, dan memutuskan kembali dengan wajah tertunduk malu dan bangkrut.
Banyak sebenarnya drama yang terjadi dalam perang Khandaq. Tapi inti dari semua perang ini adalah fenomena parit tersebut. Strategi ini demikian fenomenal pada masanya, karena bisa menaklukkan musuh secara kolosal, tanpa korban jiwa yang signifikan. Bila saja pasukan sebesar itu berhasil masuk ke Madinah, mungkin sejarah Islam akan berbeda sepenuhnya. Allah SWT membawa satu fenomena strategi petempuran yang sepenuhnya asing bagi bangsa Arab, bangsa yang selama ribuan tahun sudah mengenali ilmu perang.
Dan fenomena luar biasa itu dibawa oleh sosok ningrat Persia, berderajat Brahmana; yang berjalan keliling dunia, mengitari arus waktu; melepaskan martabatnya, menekuni pencarian, menjadi murid, budak dan hamba sahaya; demi satu tujuan, bertemu dengan maha guru kebijaksanaan; memohon agar beliau sudi mengajaknya serta dalam perahu keselamatan menuju keharibaan Al Haq. (AL)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Lihat, O. Hasem, Muhammad Sang Nabi; Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail, Jakarta, Ufuk Press, 2007, hal. 195
[2] Ibid, hal. 198