“Sebagaimana hijab, sarung juga merupakan busana tertua, dan salah satu yang secara tradisional paling populer di hampir semua bangsa di dunia. Busana ini dengan beragam model dan design-nya dikenal dengan banyak nama.”
—Ο—
Secara umum, sarung merupakan busana berupa kain persegi empat yang berukuran lebar, sehingga dapat penutupi sebagian besar anggota tubuh. Terkait modelnya, ada yang hanya ditenun lalu dikenakan dengan cara dililitkan ke tubuh. Namun ada juga yang dijahit terlebih dahulu, sehingga berbentuk seperti tabung besar. Jenis inilah yang umumnya disebut “sarung” di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Meski begitu, setelah dipakai, model busana ini akan terlihat sama di semua wilayah, yang membedakannya hanya design dan motifnya saja.[1] Perbedaan motif dan design inilah yang kadang membedakannya secara identik antara satu daerah dengan daerah lain di dunia.
Kata atau istilah sarung sendiri diambil dari Bahasa Melayu, yang berarti penutup. Kata ini diadopsi oleh Bahasa Inggris yang kemudian menjadi terminology dunia untuk menunjukkan identitas busana yang sama. Secara historis, sarung yang dikenal di Indonesia atau di kawasan Asia Tenggara, diketahui berasal dari Yaman dan Hadramaut. Di jazirah Arab, Sarung dikenal dengan berbagai nama lokal seperti fūṭah, izaar, wizār dan ma’waz. Di Hadhramaut sarung disebut ṣārūn di pedalaman dan ṣārūm di wilayah pesisir. Di Oman, sarung disebut wizār, yang umumnya berwarna putih. Adapun di Arab Saudi, sarung dikenal sebagai izaar.[2] Desainnya bisa berupa kotak-kotak atau bergaris-garis dan juga bunga.[3]
Mungkin karena yang bawanya adalah bangsa Arab, sehingga busana ini lebih diidentikkan dengan pakaian kaum Muslimin, khususnya di Indonesia. Tapi meski identik dengan busana kaum Muslimin, di tempat asalnya, sarung sudah dikenal jauh sebelum masa turunnya Islam. Busana ini kemudian dibawa oleh para pelaut Arab dari zaman dahulu dan menyebar ke berbagai belahan dunia. Mulai dari Afrika hingga Negara-negara di gugusan kepulauan Pasifik. Di Negara-negara Kepulauan Pasifik, seperti di Fiji, Sarung dikenal dengan sulu; di Hawaii disebut “kikepa“; di Papua New Guinea di sebut lap-lap, yang dikenakan oleh laki-laki dan perempuan. Di Rotuma sarung dikenal dengan “hạ’ fạli“; di Samoa disebut lavalava (atau juga lava-lava). Di Tahiti dan Cook Islands, sarung dikenal dengan nama pāreu; dan di Tonga disebut tupenu.[4]
Sedangkan di benua Afrika, busana ini dikenakan oleh hampir seluruh masyarakat di Benua Hitam tersebut. Di Afrika Timur, busana ini dinamai kanga (dipakai oleh wanita Afrika), atau kikoy, yang biasanya dipakai oleh pria dan digunakan dengan desain yang jauh lebih sederhana; di Madagaskar sarung disebut lamba; di Malawi itu disebut chitenje; di Somalia itu disebut Macawis;[5] di Mauritius disebut pareos; di Mozambik disebut capulana; di Afrika Selatan disebut kikoi; dan di Zimbabwe sarung dikenal sebagai Zambias.[6]
Di Asia Selatan, sarung sudah seperti pakaian sehari-hari. Di India Selatan, India timur dan Bangladesh sarung disebut phanek atau lungi. Sarung disebut dhoti (atau dhuti) di Bengali Barat, veetti di Tamil, pancha di Telugu, panche di Kannada dan Mundu di Malayalam. Di Maladewa, dan negara bagian Kerala di India, ia dikenal sebagai mundu, feyli atau neriyathu. Di Punjab busana ini disebut Chadra; di Tamil dan Sinhala, dikenal sebagai Sarama. Adapun di Sri Lanka disebut Sarong sama dengan bahasa Inggris.[7]
Di Sri Lanka sarong sangat umum dan hanya dipakai oleh pria. Sedangkan jenis busana yang sama namun dipakai oleh kaum wanita disebut “redda“. Sarong adalah pakaian standar bagi kebanyakan pria di pedesaan dan bahkan beberapa komunitas perkotaan. Namun, secara statistik, jumlah orang yang memakai sarung sebagai pakaian umum utama mereka mengalami penurunan di Sri Lanka; Alasannya adalah bahwa sarung membawa stigma sebagai pakaian untuk kelas sosial bawah yang kurang terdidik. Meski begitu, Sarong masih dikenakan sebagai pakaian formal pada acara-acara khusus, sebagai pakaian kebangsaan. [8] (AL)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Lihat, http://www.travelfoodfashion.com/indonesian-skirt-famous-indonesian-sarong/#, diakses 8 Januari 2018
[2] Izaars adalah pakaian tradisional nelayan Arab di Teluk Persia, Samudra Hindia dan Laut Merah. Inilah pakaian tradisional untuk pria di kawasan Arab dan Asia Selatan, sebelum akhirnya bangsa Turki dan Eropa memperkenalkan piyama seperti celana dan kaftan. Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Sarong, diakses 8 Januari 2018
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Di Somalia dan sebagian besar daerah berpenduduk Muslim di Tanduk Afrika, sarung sudah seperti pakaian sehari-hari. Meskipun pria nomaden dan perkotaan Somalia telah memakai jenis busana ini selama berabad-abad lamanya, namun model yang mereka gunakan tidak sama dengan yang kita lihat hari ini. Pada mulanya, sarung yang mereka kenakan adalah dalam bentuk rok putih polos. Sedangkan sarung makawiis berwarna-warni (ma’awiis), yang sekarang banyak ditemukan di wilayah tersebut baru populer setelah kedatangan perdagangan dari pulau-pulau Asia Tenggara dan anak benua India, sekitar pertengahan abad 20. Sebelum tahun 1940an, kebanyakan macawi terbuat dari kapas. Namun, karena industrialisasi pasar untuk sarung, mereka sekarang banyak menggunakan kain dan kombinasinya, termasuk poliester, nilon dan sutra. Lihat, Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Lihat, https://www.allsarongs.com/sarong-history-a/144.htm, diakses 8 Januari 2018
I believe your opinions are quite fascinating, I appreciate reading what you write. Hope to hear more from you. Subscribed.