Makkah sedang dilanda kemarau panjang, Ibnu Asakir meriwayatkan, “Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang dimuati oleh awan tebal pertanda hujan lebat akan turun.”
Abu Thalib kini menjadi wali bagi Muhammad setelah kepergian kakeknya, Abdul Muthalib. Pemimpin baru klan Bani Hasyim ini bersama isterinya menerima tanggung jawab tersebut dengan penuh kebanggaan dan kemuliaan. Abu Thalib, 35 tahun, bersama isterinya Fatimah putri Asad bin Hasyim, merupakan pasangan yang sama-sama berasal dari klan Hasyim.[1]
Mereka menerima Muhammad sebagai bagian dari keluarga mereka. Keduanya tidak hanya membawanya ke dalam kehidupan keluarga melainkan ke lubuk hati mereka yang paling dalam.[2]
Abu Thalib membesarkan nabi seperti anaknya sendiri. Sang Paman sangat mencintai kemenakannya ini, dan membiarkannya tidur di samping tempat tidurnya serta menjaga anak itu bersamanya siang dan malam. Dia bekerja keras untuk senantiasa melindungi Nabi serta tidak pernah mengabaikannya walaupun sesaat.[3]
Bahkan, Abu Thalib tidak akan meninggalkannya di rumah dalam waktu yang lama, dia kerap mengajak anak saudaranya itu kapan pun dia pergi.[4]
Saking sayangnya, dia sering memandangi wajah Muhammad, yang membuatnya teringat kepada saudaranya, Abdullah. “Alangkah miripnya Muhammad dengan ayahnya, saudara kandungku, Abdullah,” ujar Abu Thalib dalam banyak kesempatan.[5]
Selain itu, budi pekerti nabi dan kecerdasannya yang menonjol telah tampak melebihi anak-anak seusianya.[6] Apabila makanan dihidangkan, anak-anak Abu Thalib bersegera untuk menyantapnya, namun Muhammad tampak tenang dan menunggu yang lainnya.[7] Budi pekerti Nabi semakin menarik hati sang paman.
Sepanjang naungan dan asuhan Abu Thalib beserta istrinya, Nabi sama sekali tidak merasa hidup terasing dalam kehidupan keluarga maupun pergaulan sehari-hari. Sebagai contoh, jika makan malam telah disediakan namun Muhammad belum hadir, maka Abu Thalib meminta supaya putra-putranya untuk menunggunya. Abu Thalib berkata kepada mereka, “Bersabarlah kalian hingga anakku datang.”[8]
Dalam kesempatan lain manakala salah seorang dari putranya minum susu dari gelas besar, maka Abu Thalib ingin agar Nabi minum terlebih dahulu barulah seluruh keluarganya. Abu Thalib berkata kepada Nabi, “Engkau diberkahi.”[9]
Demikianlah perlakuan Abu Thalib untuk membuat Nabi tidak merasakan kemalangan hidup sebagai anak yatim piatu.[10] Abu Thalib terus melakukannya sampai Muhammad memasuki usia remaja.
Dengan perlakuan itu, maka Nabi tumbuh dalam keluarga yang baik dan sangat perhatian. Secara keseluruhan, masa kanak-kanak Muhammad sangat menyenangkan di dalam keluarga Abu Thalib.
Kebaikan Abu Thalib ini sebenarnya tidak terbatas kepada kemenakannya semata, tapi juga kepada masyarakat Quraisy kala itu. Abu Thalib dijuluki Sayyid al-Abatih (pemuka wilayah yang luas), yang gemar memberi perlindungan dan bantuan kepada setiap orang yang membutuhkan.[11]
Abu Thalib tidak hanya mewarisi ketampanan Abdul Muthalib, tapi juga juga perilaku mulia ayahnya sebagai seorang pemaaf tanpa diminta dan pemberi tanpa pamrih. Sepeninggal ayahnya, dia meneruskan tugasnya dalam memberi minum kepada jamaah haji.[12]
Dan Abu Thalib juga tidak segan-segan untuk berutang agar tidak melewatkan satu kebaikan istimewa, persis seperti perilaku di masa ayahnya masih hidup.
Pemimpin klan Bani Hasyim ini kerap memikul beban melebihi kemampuannya. Beliau hanya memiliki sedikit harta dan hidup dengan kondisi ekonomi yang terbatas serta memiliki banyak anggota keluarga, namun senantiasa ingin menyebarkan kebahagiaan pada semua orang di sekitarnya.
Di masa paceklik, Abu Thalib berupa untuk terus membantu mereka yang miskin, kendati hidupnya sangat jauh dari kemewahan.
Pernah suatu waktu dalam kondisi Kota Makkah yang sedang mengalami musim paceklik yang parah, air lembah mengering, kemarau panjang tanpa pernah turun hujan sehingga kemiskinan terjadi dimana-mana.
Ibnu Asakir meriwayatkan hadis dari Jalhamah bin Arfathah, dia berkata, “Ketika Aku datang ke Makkah mereka sedang mengalami musim paceklik. Kemudian, Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang dimuati oleh awan tebal pertanda hujan lebat akan turun yang darinya muncul kabut tebal yang di sekitarnya terdapat sumber mata air sumur.”[13]
Masih menurut riwayat Ibnu Asakir, kemudian Abu Thalib memegang anak tersebut lalu menyandarkan punggungnya ke Kabah serta menaunginya dengan jari jemarinya dari panasnya matahari ketika itu. Tak lama kemudian tiba-tiba gumpalan awan datang dari sana sini kemudian turunlah hujan dengan lebatnya sehingga lembah mengalirkan air dan lahan-lahan tanah menjadi subur.
Mengenang peristiwa ini, Abu Thalib berkata, “…. Dan (bocah yang) putih, sang penolong anak-anak yatim dan pelindung para janda melalui kedudukannyalah hujan diharapkan turun.”[14]
Demikianlah pekerjaan Bani Hasyim yang selalu menjadi tumpuan bagi masyarakat Makkah bahkan saat dilanda paceklik, kemarau, dan kekeringan. Kehadiran Nabi Muhammad bukan hanya keberkahan bagi keluarga Abu Thalib tapi juga bagi masyarakat Makkah secara keseluruhan.
Dalam kondisi paceklik, Nabi seakan memberikan harapan dan kelapangan dan menghilangkan kesusahan masyarakat Makkah. Sehingga, Abu Thalib semakin mencintai Nabi seperti terlukiskan dari syair-syair indah dan menyentuh yang dibuat beliau:
Jika suatu hari kaum Quraisy berkumpul untuk suatu kebanggaan,
tentu Abdul Manaf rahasia dan orang utamanya
Jika para tokoh dari Abdul Manaf diurut ke belakang,
maka pada Bani Hasyim para tokoh dan moyangnya
Jika suatu hari berbangga diri,
maka Muhammad adalah orang pilihan
dari kalangan mereka yang paling mulia.[15](SN)
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, Kurun Mekah, (Tama Publisher, 2005), hal 101.
[2] Lihat Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah Saw: Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur & Barat, (Zahra, 2004), hal 46.
[3] Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathabai, Inilah Islam; Pemahaman Dasar Konsep-konsep Islam, (Sadra Press, 2011), halaman 84.
[4] Irwan Kurniawan, dalam Pengantar Penyunting buku Benarkah Abû Thâlib Seorang Mukmin? Karya Allâmah Sayyid Ahmad bin Zainî Dahlân, (Hasyimi Press, 2006), hal 7.
[5] Lihat Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih, (Lentera Hati, 2018), hal 242.
[6] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Tintamas, 1984), hal 63.
[7] Quraish Shihab, Op.Cit, hal 243.
[8] Lihat Abdullah Al-Khanizi, Abu Thalib Mukmin Quraisy (Paman, sekaligus Pengasuh, Pelindung,dan Pembela Rasulullah saw), (Penerbit Lentera, 2002), hal 89.
[9] Ibid.
[10] Lihat HMH Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW, (Pustaka Hidayah, 2005), hal 219.
[11] Quraish Shihab, Op.Cit, hal 242.
[12] Abdullah Al-Khanizi, Op.Cit, hal 80.
[13] Lihat Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad SAW, Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir (Darul Haq, 2018), hal 70.
[14] Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Op. Cit, hal 71.
[15] Ibnu Katsir, Ringkasan Al Bidayah Wan Nihayah, (Pustaka As-Sunnah, 2013), hal 154.