Jika hendak ditarik kesimpulan apakah Sayyid Jafar Barzanji itu Sunni atau Syiah? Maka berdasarkan teks sejarah dia adalah seorang Sunni, namun dengan pemikiran yang sangat akrab dengan pemahaman Syiah.
Sanai dan Rumi (2)
Pada artikel kali ini kita masih dalam pokok pembahasan titik temu antara Sunni dan Syiah yang berada dalam Tasawuf. Kita lanjutkan kembali pemaparan dari William C. Chittick mengenai para sufi yang menjadikan pengorbanan Imam Husein sebagai teladan.
Setelah sebelumnya kita melihat bait-bait dari Sanai, sekarang kita akan melihat pandangan Jalaluddin Rumi. Oleh karena itu, sekali lagi kita akan meminjam saduran dari Haidar Bagir terhadap artikel karya William C. Chittick yang berjudul Rumi’s View of The Imam Husayn (pandangan Rumi terhadap al-Imam Husein) tersebut.
Haidar menulis:
…. Setelah itu ada Rumi, sang Panglima Cinta. Seolah menyauti Sanai dia bersyair:
“Apa artinya menjadi karib Cinta? Kecuali memisahkan diri dari hasrat jiwa?
Menjadi darah, menelan darah sendiri,
dan menunggu di pintu kesetiaan bersama anjing-anjing?
Pencinta mengorbankan dirinya…
Baginya kematian dan pencabutan tak beda dengan tinggal berdiam.
….
Karena para syuhada ini tak punya kesabaran tanpa kematian…
Mereka jatuh cinta kepada kemusnahan mereka sendiri
Larilah, kalau kau mau, dari penderitaan dan nasib…
Ketakutan mereka adalah kepada tiadanya penderitaan
Lakukan saja puasa di hari-hari yang dianjurkan dan Asyura…
(karena) kau tak bisa pergi ke Karbala”
Maka, seolah Rumi hendak berkata, jika kau mau jadi pengikut Husein, bersegeralah memenangkan ruhmu atas nafsumu. Jangan bimbang, dan jangan pakai bertanya-tanya lagi:
“Kenapa duduk saja dengan pertimbangan-pertimbanganmu?
Jika kau laki-laki, mangkat sana ke Sang Kekasih!
Jangan bilang, ‘Mungkin dia tak menginginkanku?’
Apakah ngengat berpikir tentang nyala api?
Bagi ruh cinta, menimbang-bimbang adalah aib
Jika para kesatria mendengar suara genderang
Saat itu juga dia seperti 1000 lelaki
Telah kau dengar genderang, maka hunuslah pedangmu tanpa menunggu
Ruhmu adalah sarung Dzul Fiqar, sang penakluk segala
Kau adalah Husein di padang Karbala, jangan berpikir tentang air!
Satu-satunya ‘air’ yang kan kau lihat hari ini, adalah pedang ‘air pertama’ (yakni air kehidupan saat kau dihidupkan Tuhan pada awalnya, pada saat kau diminta kesaksian di alam alastu) itu.”…
…. Maka akhirnya Rumi – sang sufi – membayangkan dirinya sebagai Husein (dan Hasan, kakaknya):
“… lihat aku
Aku bak Husein, duduk di atas darahku sendiri
Atau bak Hasan, mereguk racun.”
“Siapa saja yang memiliki api
mengenakan jubahku…
Dia penuh luka seperti Husein, cawan seperti Hasan”
….
“Dalam api kerinduan, hatiku terus menjerit
berharap suatu seruan kan memanggil dari arah kebersatuan (dengan-Mu)
Hatiku adalah Husein, dan perpisahan (dari-Mu), Yazid
Hatiku telah disyahidkan dua ratus kali
di padang siksaan dan penderitaan (karb dan bala).”[1]
Demikianlah, kita cukupkan sekian mengenai pembuktian bahwa dari kalangan Sunni yang mendalami tasawuf, sesungguhnya mereka akan menemukan banyak sekali titik pertemuan dengan Syiah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid Wahid Akhtar di awal, utamanya dalam hal menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai rantai pertama silsilah spiritual dan kesyahidan Imam Husein dalam peristiwa Karbala.[2]
Sebenarnya kita masih bisa mengambil contoh-contoh dari ulama tasawuf lainnya mengenai pandangan mereka terhadap hal ini, sebut saja Ibnu Arabi, Abu Thalib al-Makki, atau ulama yang lebih kontemporer seperti Muhammad Iqbal, namun kiranya kita cukupkan sampai sekian.
Kesimpulan
Jika kita hendak menarik kesimpulan mengenai perdebatan status Sayyid Jafar Barzanji, apakah dia seorang Sunni atau Syiah? Maka sejauh penelusuran penulis dari teks sejarah, dia adalah seorang Sunni. Dia adalah salah seorang mufti mazhab Syafii di Madinah pada masa Kesultanan Utsmaniyah berkuasa di Hijaz pada rentang 1840-1908.[3]
Orang-orang yang menduga bahwa Jafar Barzanji adalah Syiah sejauh ini tidak bisa menyodorkan bukti-bukti teks sejarah selain hanya menilai berdasarkan kandungan yang terdapat di dalam Kitab Barzanji.
Memang, apabila dilihat dari segi kandungan, ada indikasi yang begitu kuat bahwa ia begitu mirip dengan ajaran Syiah, seperti misalnya tentang nasab suci Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib adalah makhluk terbaik setelah Nabi, pemulian Ahlul Bait, pengakuan bahwa para Imam Ahlul Bait itu suci, dan sebagainya.
Namun kita tahu bahwa Jafar Barzanji selain mufti Syafii, dia juga adalah ulama tasawuf. Maka sekali lagi kita akan meminjam pemikiran dari Sayyid Wahid Akhtar, bahwa dalam tasawuf, sekat-sekat mazhab itu menjadi lebur.
Dalam hal tingkat kewalian seseorang, baik Sunni maupun Syiah sama-sama mengakui konsep tersebut, barangkali yang berbeda hanya ada dalam persoalan istilah. Meminjam istilah dari Akhtar, jika orang Syiah menyebut para ahlul bait Nabi itu sebagai Imam, maka dalam Sunni mereka dapat disebut sebagai pemimpin spiritual.
Namun secara konsepsi, masih dari pendapat Akhtar, sesungguhnya keyakinan terhadap Imamah (Syiah) dan Pemimpin Spiritual (Sunni) adalah sesuatu yang begitu intim dalam sejarah tasawuf.[4] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Haidar Bagir, “Syahadah Imam Husayn adalah Teladan Kesufian: Tragedi Karbala dalam Syair-Syair Sana’i dan Rumi”, dari laman https://islamindonesia.id/haidar-bagir/kolom-haidar-bagir-syahadah-imam-husayn-adalah-teladan-kesufian-tragedi-karbala-dalam-syair-syair-sanai-dan-rumi.htm, diakses 26 Maret 2021.
[2] Sayyid Wahid Akhtar, Tasawwuf the Meeting Point of Tashayyu and Tasannun (Al-Tawhid Islamic Journal).
[3] William Ochsenwald, Society and the State in Arabia. The Hijaz under Ottoman Control, 1840-1908 (Columbus: Ohio State University Press, 1984), hlm 52, dalam Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Mizan: Bandung, 1995),hlm 86.
[4] Sayyid Wahid Akhtar, Loc.Cit.