“Darun Nadwah didirikan oleh Qushay bin Kilab, buyut Rasulullah. Sejak didirikan bangunan ini, kehidupan sosial politik masyarakat Arab mengalami kemajuan yang pesat. Interaksi masyarakat di dalam bangunan ini yang kemudian membentuk karakter dan tradisi politik masyarakat Mekkah.”
—Ο—
Selama ribuan tahun, masyarakat Arab di Mekkah, dikenal sebagai masyarakat nomaden yang tinggal di tenda-tenda gurun pasir. Selama ratusan tahun sejak zaman Nabi Ibrahim as, satu-satunya bangunan yang ada pada masa itu adalah Ka’bah. Barulah – sekitar 200 tahun sebelum Rasulullah SAW lahir – mereka membangun sebuah bangunan lainnya, yang diberi nama Darun Nadwah.
Ide pembangunannya digagas oleh leluhur Nabi bernama Qushay bin Kilab. Para penyair dulu menyusun syair-syair untuk mengabadikan nama Qushay dan Balai yang dibangunnya: “Bapak kalian adalah Qushay yang pertama kali mengajak kalian berkumpul. Melaluinya Allah menghimpun kabilah Arab dari berbagai suku”.[1]
Tak kalah sulit dengan mencari informasi detail tentang Kota Mekkah sebelum kedatangan Nabi Ibrahim as, pelacakan informasi tentang kota ini sebelum masa Qushay hingga ke masa Nabi Ismail as, juga sama sulitnya. Sehingga sulit dipastikan, apakah ada satu atau dua bangunan lain yang muncul sebelum Darun Nadwah, yang kemudian roboh atau hilang dilamun waktu. Tapi Mawardi, sebagaimana dikutip oleh O. Hashem mengatakan bahwa Darun Nadwah adalah bangunan pertama di Kota Mekkah setelah Ka’bah.[2]
Darun Nadwah berasal dari kata dar yang berarti rumah, dan nadwah yang berarti pertemuan atau bertukar kata. Sebagaimana namanya, tempat ini berfungsi sebagai balai pertemuan, tempat masyarakat berkumpul, bermusyawarah, dan tempat menyelesaikan masalah di antara mereka. Semacam gedung permusyawaratan rakyat sekarang, di tempat ini pula kehidupan politik masyarakat Arab jahiliyah mulai dibentuk. Di sini mereka membuat kontrak sosial, memilih pemimpin, membuat perjanjian damai, mengatasi perang antar suku, mengorganisir armada perang, hingga membahas masalah pernikahan.
Masyarakat Arab jahiliyah, khususnya Mekkah adalah masyarakat yang “insecure”. Sebuah tipe masyarakat yang selalu ketakutan dan merasa terancam. Di tengah gurun yang keras dan tandus ini, tidak ada yang bisa memastikan mereka masih bisa hidup hingga esok hari.
Sebagai gambaran, Mekkah, dan hampir seluruh kawasan Hijaz adalah sebuah hamparan padang pasir yang sangat tandus. Jangankan manusia, tumbuhan yang bisa tumbuh di kawasan ini hanya sekitar 30 spesias saja. Dalam setahun, hanya 6 bulan wilayah ini dapat dilalui. Selebihnya, sengatan matahari ekstrim membuat sebagian besar wilayah ini panas membakar. Menururt O. Hashem, demikian panasnya suhu pada periode ini, hingga dalam waktu sangat singkat, 80% cairan tubuh manusia bisa menguap dan tinggal menyisakan tulang belulang. Itupun tak lama akan segera digulung oleh gelombang pasir yang bisa mencapai 80 meter, tanpa meninggalkan bau, karena di tempat ini tidak ada kuman pembusuk.[3]
Selama ratusan tahun, masyarakat Mekkah menganut anarki politik. Yang terkuat maka akan bertahan hidup (survive). Perampokan, penjarahan, dan agresi antar suku adalah hal biasa terjadi di tempat ini. Hingga satu masa sekitar abad ke-5 M, salah satu anak keturunan Ismail as, bernama Qushay bin Kilab berhasil menundukkan seluruh suku yang ada di kawasan Hijaz, dan mendapuk dirinya sebagai pemimpin tertinggi di antara mereka.
Menurut Syed Ameer Ali, Qushay menyatukan dalam dirinya semua kekuasaan, baik di bidang spiritual, hingga urusan dunia. Dengan begitu, dia menjadi sangat leluasa untuk membangun peradaban Mekkah. Sebelumnya, suku-suku Quraisy tinggal berjauhan dari Ka’bah. Dialah yang mula-mula mengajak suku Quraisy untuk mendekat, dan tinggal di sekitar lingkungan Ka’bah. Sedang Qushay sendiri, membangun untuk dirinya sebuah istana di dekat Ka’bah yang sebagiannya dia sediakan sebagai balai pertemuan, yang kemudian dikenal sebagai Darun Nadwah. [4]
Dengan adanya tempat ini, kehidupan sosial politik masyarakat Arab mengalami kemajuan yang pesat. Rumah Qushay dan Darun Nadwah, bisa dikatakan sebagai gedung palemen dan Istana kenegaraan dijadikan satu. Qushay memiliki otoritas untuk memanggil setiap ketua suku dan memimpin rapat antar bangsa. Dialah yang berhak menyerahkan panji-panji militer, memungut pajak dari para peziarah, dan mengorganisir distribusi air dari sumur-sumur di Hijaz. Kedudukannya ketika itu layaknya seorang raja. Dialah hakim agung, pemimpin tertinggi, komandan perang dan juga rujukan spiritual masyarakat. Di bawah pemerintahannya, suku Quraisy menjulang derajatnya melampaui semua keturunan Ismail yang lain.[5]
Bila ditinjau secara politis, otoritas dan kedudukan yang dimiliki oleh Qushay memang diperlukan. Dengan cara inilah suku-suku padang pasir tersebut dapat diorganisir dan meninggalkan tradisi jahiliyah mereka. Dengan kedudukannya, Qushay bisa leluasa memerintahkan masyarakat untuk mulai bersikap ramah pada para peziarah. Bila sebelumnya para peziarah ini mengalami ancaman dirampok atau dijarah, ketika era Qushay, masyarakat diajarkan untuk memuliakan tamu, menjamu para peziarah, serta diwajibkan memenuhi kebutuhan mereka. Sebagai gantinya, para peziarah ini dikenakan pajak, yang hasilnya nanti akan didistribusikan untuk fakir miskin di sekitar mereka, serta untuk meningkatkan pelayanan haji.
Untuk memastikan semua berjalan baik, Qushay membuat lembaga-lembaga yang bertanggungjawab untuk mengurus semua ini. Ada setidaknya beberapa bidang yang paling strategis yang dibuat pada masa pemerintahan Qushay bin Kilab; Pertama, Liwa, atau penjaga panji-panji peperangan. Kepala panji-panji itu secara otomatis menjabat sebagai panglima perang angkatan bersenjata Mekkah; Kedua, Rifada, yang bertugas memungut pajak untuk diberikan kepada fakir miskin dan para jamaah haji; Ketiga, Hijabah, yang bertanggungjawab memegang kunci Ka’bah; dan Keempat, Sikayah, yang bertanggungjawab memberi minum jamaah haji. Kelak, di era pemerintahan Abdul Muthalib, badan-badan ini berkembang menjadi 10.[6]
Qushay bin Kilab meninggal di usia tua, sekitar tahun 480 M. Ia meninggalkan pondasi peradaban Bangsa Arab. Apa yang dilakukan oleh Qushay, menjadi tradisi sosial politik yang dilestarikan oleh para penerusnya, yang tidak lain adalah anak keturunannya. (AL)
Bersambung…
Situs-situs Bersejarah Islam di Kota Mekkah (2); Darun Nadwah, Bangunan Kedua di Mekah (2)
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, O. Hashem, Muhammad Sang Nabi; Penelusuran Sejarah Nabi secara Detail, Jakarta, Ufuk Press, 2004, Hal Hal. 98
[2] Ibid
[3] Ibid, hal. 1
[4] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, Hal. 5
[5] Ibid, Hal. 6
[6] Ibid, hal. 8-9