“Sayangnya, sejak Kerajaan Arab Saudi berdiri dan menguasai tanah suci, banyak situs bersejarah di awal kemunculan Islam di hancurkan, tak terkecuali rumah Khadijah. Adapun saat ini, rumah ini sudah rata dengan tanah dan menjadi tempat yang sama sekali baru. Orang hanya bisa memperkirakan saja letaknya. Tidak ada tanda khusus yang menunjukkan keberadaan tempat yang mulia ini.”
—Ο—
Kehidupan di rumah Khadijah mengalami perubahan yang luar biasa sejak Rasulullah SAW mulai menyampaikan risalah. Dakwah Rasulullah SAW menghadapi penolakan yang begitu sengit dari kaum Kafir Quraisy. Dengan segala cara, kaum kafir Quraisy berhasil menghasut masyarakat untuk menjauhi Nabi SAW, keluarganya, dan orang-orang yang mengikutinya. Tekanan yang dilakukan kaum kafir Mekkah terhadap diri Nabi dan pengikutnya, dilakukan dengan berbagai cara, seperti; pelecehan, penghinaan, penyiksaan, penganiayaan, pemenjaraan, isolasi, dan embargo. Puncaknya adalah ketika Rasulullah SAW, beserta pengikutnya diboikot di sebuah lembah atau lebih dikenal sebagai sya’ib Abu Thalib. Sebuah pemukiman klan Bani Hasyim yang dipimpin oleh Abu Thalib.
Di tempat ini mereka dikenai sangsi sosial dan ekonomi oleh masyarakat. Hukuman ini merupakan respon atas dakwah Nabi SAW yang tidak kunjung henti setelah diperingatkan berkali-kali oleh para pemimpin Kafir Quraisy. Kaum Jahiliyah tersebut membuat selebaran ke masyarakat yang berisi : 1) tidak boleh kawin dengan anggota keluarga Bani Hasyim; 2) tidak boleh melakukan jual beli dengan keluarga Bani Hasyim; 3) anggota keluarga Bani Hasyim tidak boleh keluar dari sya’ib Abu Thalib kecuali untuk melakukan umrah pada bulan syawal dan berhaji pada bulan suci. [1]
Aksi boikot ini berlangsung selama 3 tahun, atau sampai Rasulullah hijrah ke Madinah. Tahun pertama boikot ini sebenarnya masih bisa dilewati dengan mudah. Karena ketika itu masih ada Abu Thalib dan Khadijah, dua sosok yang begitu kokoh dan selalu melindungi beliau tanpa syarat. Tapi di tahun berikutnya, yaitu sekitar tahun 620 M, situasi memburuk. Tahun ini dikenal juga dengan tahun kesedihan bagi Nabi SAW yang mulia. Secara beruntun beliau kehilangan dua sosok penting dalam hidupnya, yaitu pamannya, Abu Thalib dan Khadijah, Istrinya yang tercinta.
Dengan hilangnya dua orang terdekat beliau ini, kesewenang-wanangan kaum kafir Mekah semakin menjadi-jadi pada kaum muslimin, terlebih kepada Rasulullah SAW. Bila sebelumnya, di bawah perlindungan Abu Thalib, mereka hanya berani mencaci dan menghina Nabi SAW dengan kasar, setelah kepergian Abu Thalib, mereka mulai melakukan perbuatan yang kejam kepada Beliu SAW. Berkali-kali Nabi yang mulia dilempari batu, bahkan pernah ditumpahkan bangkai hewan di kepalanya saat beliau sedang bersujud. Di tengah pelecehan yang dilakukan secara beramai-ramai ini, hanya Fathimah Az Zahra, putri bungsu beliau yang berani membersihkan kotoran tersebut dari tubuh beliau yang mulia. Di tahun ini juga Rasulullah SAW memutuskan untuk perti ke Thaif dan berdakwah di sana. Dakwah ini berujung pengusiran yang kasar dari masyarakat Thaif pada sosok mulia ini. Beliau di usir sambil di lempari baru, sehingga menyebabkan darah menetas dari wajah beliau.
Umumnya sejarawan sepakat, Rasulullah SAW melakukan dakwah selama 13 tahun di Kota Mekkah, dan selama 13 tahun tersebut, Jibril mondar-mandir ke rumah Khadijah menyampaikan wahyu. Sayyidah Khadijah Al Kubra wafat di rumah ini, pada tahun 620 M. Setelah itu hanya dua tahun Rasulullah SAW tinggal di sini. Pada tahun 622 M, beliau SAW bersama seluruh penghuni rumah yang mulia itu hijrah ke Madinah. Tapi bagaimanapun, kenangan Nabi SAW tentang Khadijah tak pernah pudar.
Imam Muslim dalam Hadits Muslim No.4464 meriwayatkan, bahwa Aisyah pernah berkata, “Saya tidak pernah merasa cemburu kepada para istri RasulullahSAW yang lain kecuali kepada Khadijah, meskipun ia tidak hidup semasa dengan saya. Pernah, pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW menyembelih seekor kambing, beliau berkata: ‘Berikanlah sebagian daging kambing kepada teman-teman Khadijah! ‘ maka saya marah kepada Rasulullah sambil berkata; Khadijah?” Lalu beliau menjawab: “Sesungguhnya aku benar-benar telah dianugerahi cinta Khadijah.”[2]
Pernah juga di lain kesempatan Aisyah berkata, “Dulu Rasulullah SAW setiap keluar rumah, hampir selalu menyebut Khadijah dan memujinya. Pernah suatu hari beliau menyebutnya sehingga aku merasa cemburu. Aku berkata, ‘Apakah tiada orang lagi selain wanita tua itu. Bukankah Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik?’ Lalu, Rasulullah marah hingga bergetar rambut depannya karena amarah dan berkata, ‘Tidak, demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik darinya. Dia percaya padaku di saat semua orang ingkar, dan membenarkanku di kala orang-orang mendustakanku, menghiburku dengan hartanya ketika manusia telah mengharamkan harta untukku. Dan Allah telah mengaruniaiku dari rahimnya beberapa anak di saat istri-istriku tidak membuahkan keturunan.’ Kemudian Aisyah berkata, ‘Aku bergumam pada diriku bahwa aku tidak akan menjelek-jelekannya lagi selamanya.”[3]
Setelah Rasulullah SAW pindah ke Madinah, rumah Khadijah jatuh ke tangan Aqil bin Abi Thalib, sepupu Nabi. Ketika era Bani Umayyah, Muawiyah bin Abu Sufyan membeli rumah ini lalu kemudian dijadikan masjid. Setelah itu, tidak banyak lagi diketahui informasi tentang rumah ini. O. Hashem mengutip Ibnu Zhahirah mengatakan bahwa kaum muslimin menganggap rumah ini sebagai tempat paling mulia di Mekkah sesudah Ka’bah. Karena disamping ini tempat kediaman Nabi SAW, kebanyakan ayat Al Quran turun ketika Rasulullah SAW sedang berada di rumah ini. Ibnu Jubair dalam buku ‘Perjalanannya’ mengatakan bahwa tinggi rumah ini 5 hasta atau 2,3 meter. Ia juga menginformasikan, bahwa dulu Rumah Khadijah selalu terkunci dan dijaga. Dan hanya dibuka untuk umum pada tiap hari Senin bulan Rabiul Awal, atau bertepatan dengan hari lahir Nabi SAW pada Senin bulan Rabiul Awal. Ia juga mengatakan bahwa ia sempat memasuki kamar tempat dilahirkannya Sayyidah Fathimah.[4]
Terakhir kali, orang mengetahui letak Rumah Khadijah berada di pasar “Penyepuhan Emas”, Suqu’l Shibaghin. Bila berjalan dari Shafa ke Marwah, pasar ini terletak di sebelah kanan. Ada tanda berupa kubah yang bisa dikenali sebagai petunjuk rumah ini. Sayangnya, sejak Kerajaan Arab Saudi berdiri dan menguasai tanah suci, banyak situs penting dalam sejarah awal Islam yang dihancurkan, tak terkecuali rumah ini. Adapun saat ini, orang hanya bisa memperkirakan saja letaknya. Tidak ada tanda khusus yang menunjukkan keberadaan tempat yang mulia ini. (AL)
Bersambung…
Situs-situs Bersejarah Islam di Kota Mekkah (5); Darul Arqam Madrasah Pertama Islam
Sebelumnya:
Situs-situs Bersejarah Islam di Kota Mekkah (4); Rumah Khadijah (Darul Wahyi/Rumah Wahyu) (1)
Catatan kaki:
[1]. Lihat, O. Hasem, Ibid, Hal. 97-98
[2] Lihat, https://www.mutiarahadits.com/67/67/76/keutamaan-khadijah-ummul-muminin-radhiallahu-anha.htm, diakses 16 Juli 2018
[3] Lihat, https://www.republika.co.id/berita/ramadhan/sirah-sahabat/13/07/05/mpfac4-aisyah-pun-cemburu-kepada-khadijah, diakses 16 Juli 2018
[4] Lihat, O. Hasem, Op Cit, Hal. 47