Mozaik Peradaban Islam

Mengenal Kaum Khawarij, Mereka yang Keluar dari Barisan

in Studi Islam

“Mereka (Khawarij) telah punah, wahai Amirul Mukminin!” Ali menjawab, “Tidak! Demi Allah, mereka masih ada dalam sulbi-sulbi kaum pria dan rahim-rahim kaum wanita.”

Foto: BBC

Abu Said Al-Khudri pernah mengabarkan peristiwa berikut:

Suatu kali Nabi mengumpulkan para sahabat untuk melakukan pembagian harta. Tiba-tiba seseorang yang bernama Abdullah bin Dzil Khuwaysharah berteriak, “Berlakulah adil wahai Muhammad!”

Dengan nada protes Nabi memotong, “Celaka kau! Jika aku tidak berbuat adil, maka siapa yang—menurutmu—berbuat adil?!”[1]

Setelah itu Nabi menjelaskan ciri-ciri kelompok ini dengan cukup rinci dan dapat kita cocokkan dengan kelompok yang sekarang ini lazim disebut dengan kaum Wahabi.

Sejumlah peneliti Islam menganggap peristiwa di atas sebagai awal tumbuhnya Khawarij dalam Islam. Khawarij yang dimaksud di sini bukan hanya merujuk pada kelompok tertentu, tapi pada semangat yang mengagungkan kepatuhan mutlak terhadap sisi luar dan formal syariat.

Ia muncul dari prakonsepsi tentang kekurangan abadi manusia sebagai hamba yang selalu harus tunduk pada aturan teks yang ketat. Inilah cara beragama yang menolak sesuatu yang dapat dianggap sebagai kekurangpatuhan dan ketidakmurnian.

Cara beragama ini, sederhananya, menolak konteks yang dapat mendamaikan teks ilahi dengan kepentingan-kepentingan manusia, bahkan jika semua itu datang dari Nabi atau imam yang menjadi sumber legalitas dan legitimasi dalam Islam.

Sekitar 30 tahun setelah peristiwa di atas, Khawarij secara resmi lahir sebagai kelompok yang cukup berpengaruh dalam sejarah Islam. Persitiwa kelahirannya tak lain berlangsung di akhir perang Shiffin yang bermula pada 36 Hijriah.

Saat melihat Ali menyuruh pasukannya berperang melawan pasukan Muawiyah yang mengangkat Alquran, kaum Khawarij keluar dari barisan. (Dari sinilah istilah khawarij yang secara harfiah berarti “mereka yang keluar dari barisan” muncul).

Argumen Ali bahwa pengangkatan Alquran oleh pasukan Muawiyah itu hanya tipuan, rupanya tak bisa mereka terima. Bagi Khawarij, Ali telah keluar dari Islam karena memerangi pasukan yang mengangkat (simbol-simbol) Alquran. Ali berdalil bahwa dirinya adalah Alquran yang hidup dan berbicara, sedangkan Alquran yang diusung pihak lawan adalah gulungan teks yang dipakai untuk mengelabui situasi.

Tapi argumen-argumen Ali justru mengeraskan militansi Khawarij. Ali—orang pertama yang memeluk Islam setelah Khadijah—pun puncaknya dikafirkan dan dihalalkan darahnya. Sejarah mencatat bahwa pembunuh Ali, Abdurrahman bin Muljam, sesaat sebelum menetak kepala Ali, berteriak keras: “Hukum hanya untuk Allah, hai Ali. Ia bukan milikmu dan sahabat-sahabatmu!”[2]

Khawarij melakukan semuanya untuk menegakkan hukum Allah—setidaknya begitulah yang mereka percaya berdasarkan apa yang mereka ketahui dari teks Islam. Tapi, inilah paradoksnya: bagaimana mungkin kehendak melaksanakan teks itu berujung dengan membunuh pemimpin yang terpilih, di saat salat, di dalam masjid Kufah, di bulan Ramadan yang suci?

Keberagamaan kaum Khawarij yang ingin selalu tekstual dan harfiah tidak memberi tempat bagi logika kehidupan sosial dan politik. Mereka terpaku pada huruf-huruf syariat sambil melupakan tinta dan kertas yang menampung huruf-huruf tersebut.

Akibatnya, kaum Khawarij senantiasa berada dalam ketegangan di antara kewajiban melakukan suatu perintah dan larangan melanggar perintah yang lain. Ada anggapan dalam pikiran Khawarij bahwa toleransi membersitkan keragu-raguan atau kelemahan dalam menjalankan perintah agama—sekalipun toleransi juga merupakan salah satu prinsip utama Islam.

Sejak 1435 tahun silam, fenomena Khawarij selalu muncul dalam tapestri sejarah Islam melalui beragam motif dan bentuk. Tapi semangatnya tetap sama: kepatuhan mutlak pada yang tampak, spontanitas dalam menjalankan agama, keterikatan penuh pada teks yang keluar dari konteks sosial dan politik dan keengganan untuk melihat Islam sebagai keutuhan yang tidak bisa dilepas jadi potongan-potongan demi spontanitas menjalankan perintah.

Dalam pandangan Khawarij, apa yang tampak itulah kebenaran yang seutuhnya, dan teks yang dilihat dan diterima harus segera dilaksanakan. Agama, bagi mereka, adalah potongan-potongan perintah dan larangan yang begitu mereka terima harus langsung mereka laksanakan, tanpa harus menunggu atau memahami konteks keseluruhan.

Begitulah cara masyarakat gurun pasir mengungkapkan ketaatan kepada Allah dan syariat-Nya, khususnya mereka yang lahir di wilayah Nejd seperti Abdullah bin Dzil Khuwaysharah.

Dengan menilik konteks di atas, Radwan Mortada, jurnalis yang membidangi gerakan-gerakan Islam ekstremis, meletakkkan Islamic State of Iraq and Sham/Levant (ISIS/L)—kini berganti nama menjadi Islamic State (IS) — sebagai metamorfosa Khawarij.

Hampir semua ciri gerakan Khawarij ada pada ISIS: mulai dari cara beragamanya sampai praktik kekerasannya. Watak beragama yang menolak konteks yang menjadi ciri khas Khawarij juga terlihat nyata dalam perilaku ISIS.[3]

Barangkali bukan kebetulan jika kemudian ISIS memaksa untuk menguasai Raqqa yang 1400 tahun silam menyaksikan kelahiran Khawarij pasca perang Shiffin. Orang Arab menyebut situasi ini sebagai sukhriyyatul qadar (kelakar takdir).

Tapi yang lebih penting dan berbahaya dari semua itu ialah fakta bahwa ISIS sekarang menjadi salah satu senjata pemusnah massal yang efektif menghancurkan kelompok mana saja yang dianggap berbeda dengannya di Irak dan Suriah—dan betapa banyaknya mereka yang berbeda itu.

ISIS bukan saja memusnahkan kelompok-kelompok yang berbeda dalam cara beragama dengannya seperti Sunni dan Syiah, tapi juga semua yang tidak mau berbaiat kepada khalifah Abu Bakr Al-Baghdadi, termasuk anak kandungnya sendiri seperti Jabhat An-Nusra di bawah pimpinan Abu Muhammad Al-Julani.

Hingga saat ini, ISIS juga terus memporak-porandakan negara Irak yang awal tahun ini berhasil mengusir pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat. Kehadiran ISIS—seperti juga asal-usulnya—tampak lebih banyak merugikan kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat ketimbang benar-benar mampu mengganggu kepentingan Amerika Serikat dan Israel yang menjadi simbol penjajahan di Timur Tengah.

Apa yang Dapat Dilakukan untuk Menghadapi Paham Khawarij?

Kembali ke sejarah tentang Khawarij, ketika mereka berhasil dikalahkan Ali, seseorang berkata kepadanya, “Mereka telah punah, wahai Amirul Mukminin!”

Tapi Ali berkata, “Tidak! Demi Allah, mereka masih ada dalam sulbi-sulbi kaum pria dan rahim-rahim kaum wanita. Namun, setiap kali muncul seorang pemimpin di antara mereka, ia akan ‘terpotong’ sehingga akhirnya mereka hanya tinggal sebagai penyamun-penyamun….”

Dalam men-syarah perkataan Ali di atas, Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa artinya kaum Khawarij tidak akan punah sama sekali. Tetapi, seitap kali muncul seorang pemimpin di kalangan mereka, dia akan segera terkalahkan.

Akhirnya mereka akan menjadi bagai gerombolan-gerombolan liar yang tidak mampu mendirikan “kerajaan”, tidak bergabung dengan mazhab kaum Muslim selain mereka sendiri. Mereka hanya akan merupakan gerombolan orang-orang jahat dan bodoh.[4]

Jika yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Abduh benar, bahwa kaum Khawarij tidak akan punah sama sekali, maka umat Islam mesti mempersiapkan solusi-solusi untuk menghadapi kaum penyebar kekerasan seperti Khawarij yang tentunya masih ada dan hidup di masa kekinian.

Menurut hemat penulis, berikut ini adalah solusi-solusi praktis untuk menhadapai mereka. Pertama,  menyebarkan paham bahwa manusia adalah makhluk multidimensional yang terdiri atas lahiriah dan batin. Bahwa segala sesuatu yang tampak secara kasat mata bukanlah kebenaran yang seutuhnya. Butuh penafsiran dan pendalaman lebih jauh untuk menilai perbuatan seseorang.

Kedua, memperkenalkan aspek-aspek di dalam Islam, ibarat pohon yang terdiri atas akar atau pokok-pokok, cabang-cabang, dan ranting-ranting. Inilah kesalahan dari Khawarij, mereka tidak mampu menelaah aspek-aspek ini, sehingga cara pandang mereka selalu tekstual, harfiah, dan hanya melihat pada satu sisi saja tanpa melihat secara keseluruhan.

Ketiga, mengajarkan bahwa Islam yang sedang berkembang sekarang adalah tafsir atas teks-teks wahyu dan sunnah. Bahwa setiap teks yang ada harus selalu dilekatkan kepada konteks kehidupan sosial dan politik.

Keempat, mengajarkan Islam yang moderat (washatiyah), berbasis konteks, dialogis, dan dapat menerima kenyataan bahwa manusia pada umumnya, dan Islam pada khususnya, terdiri dari entitas yang berbeda-beda dan beragam. Bukankah toleransi juga merupakan salah satu prinsip utama Islam? (MK) 

Selesai.

Catatan Kaki:


[1] HR. Al-Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064)

[2] “La hukma illa lillah….” Demikianlah ucapan dari Kaum Khawarij kepada Ali dalam peristiwa Tahkim, yakni perundingan di antara pihak Ali dengan Muawiyah dalam Perang Shiffin, selengkapnya dapat dilihat dalam Syaikh Muhammad Abduh, Nahjul Balaghah, sebuah Kitab Syarah dari pernyataan-pernyataan/surat-surat Ali bin Abi Thalib, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Muhammad AI-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah (Mizan, 1995), hlm 82-84.

[3] Radwan Mortada, “What does ISIS’ declaration of a caliphate mean?, dari laman http://english.al-akhbar.com/node/20378

[4] Syaikh Muhammad Abduh, Op.Cit., hlm 84.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*