Snouck Hurgronye dan Islam Nusantara (1); (Memetakan Sejarah)

in Orientalis

Last updated on October 20th, 2017 03:44 pm

Dalam sejarah kolonialisme bangsa Belanda, pelawanan Umat Islam di Nusantara merupakan salah satu, atau bahkan satu-satunya perlawanan yang paling merepotkan. Menurut Ruslan Abdulgani, serangkaian perang yang dialami oleh Belanda di Nusantara, seperti Perang Banten yang pecah pada pertengahan abad 18, Perang Cirebon yang berlangsung antara 1802-1806, Perang Padri yang terjadi pada 1821-1838, dan Perang Diponegoro yang berlangsung antara 1825-1830, telah menyisakan trauma mendalam pada mental penjajahan bangsa Belanda. Dan puncaknya adalah Perang Aceh atau Perang Sabil yang secara signifikan menguras stamina penjajahan bangsa Belanda hingga ke titik nadir, dengan kerugian moril dan materiil tak terhitung.

Pada awalnya, bangsa Belanda tidak banyak menyadari bahwa ruh perlawanan masyarakat Nusantara adalah ajaran-ajaran agama Islam. Meski serangkaian perlawanan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh yang umumnya beragama Islam, tapi luasnya pastisipasi masyarakat di berbagai front pertempuran, menyebabkan ruh perjuangan ini tersamarkan. Ditambah lagi, pada sekitar abad 17 itu, kerajaan-kerajaan Islam masih terbilang muda, dan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha masih cukup dalam pengaruhnya di masyarakat. Dan yang terpenting, jalur masuk dan proses asimilasi ajaran Islam Nusantara (dan mungkin juga di banyak wilayah lain di Asia Timur) dengan masyarakat, memiliki proses yang berbeda secara prinsipil dengan yang ada di Timur Tengah dan Eropa.

Salah satu catatan penting dalam memahami ruh penyebaran Islam di Nusantara, adalah warna dakwahnya yang kental dengan nuansa sufistik. Berbeda dari Negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Eropa, dimana Islam lahir dan berkembang secara formal, melalui penaklukan dan pendudukan, kemudian menjadi koloni dari pemerintahan pusat dinasti-dinasti Islam. Di Nusantara, Islam diperkenalkan oleh kaum sufi yang “apolitis”, sehingga bisa berkembang secara “alamiah” melalui proses persenyawaan kultural yang sangat damai mulai dari bawah, kemudian populer menjadi agama mayoritas dan akhirnya menjadi “agama negara”.

Uniknya lagi, berbeda dengan citra sebagian kaum sufi yang dikenal, dimana kelompok-kelompok terekat menjadi cenderung memisahkan diri dari keresahan sosial dan masyarakat, sufisme yang berkembang di Nusantara justru menjadi sumber energi, vitalitas dan progresifitas masyarakat. Bahkan sufisme yang berkembang di Nusantara adalah sufisme yang menurut Prof. Nasrulloh S. Fatemi sebagai oposisi kemapanan, dimana “sufisme tumbuh sebagai reaksi dan sebagai pemberontakan terhadap formalisme kosong dan korupsi dalam dunia Islam, yang kekuasaannya digenggam oleh tiraninya para penguasa. Sufisme adalah antitesa dari jiwa kecongkakan, jiwa intoleransi, jiwa demagogis, jiwa kemunafikan dan jiwa korupsi yang melanda Zaman Tengah”.

Inilah ruh yang dimiliki masyarakat Islam Nusantara di awal kemunculannya, sebagaimana yang diungkap oleh Prof. W. F. Wertheim dalam bukunya “Indonesian Society in Transition”, yang dikutip oleh Ruslan Abdulgani, menyebutkan bahwa “mistik sufisme” Islam (di Indonesia) sebagai counter current merupakan suatu koreksi. Dan setiap koreksi merupakan pangkal tolak perbaikan dan kemajuan”.

Menurut Ruslan Abdulgani, Islam yang datang ke Nusantara telah merombak struktur feodal masyarakat dari sistem kasta menjadi struktur yang lebih demokratis dan sehingga mudah diterima. Memang adakalanya dalam proses perombakan struktur lama tersebut, muncul kelas sosial baru yang berjubah Islam, namun masih cenderung mempertahanan sistem feodalisme. Sehingga dalam proses tranformasi ini, terkadang masyarakat masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu kelas atas (upper current) dan kelas bawah (under current). Namun pada batas-batas tertentu, dimana pada saat kelas atas sudah terlalu dominan menguasai proses transformasi, maka kelompok mistik sufisme ini akan muncul sebagai counter current, yang mengkoreksi arah perubahan dan menjangkar kedua kelas sosial ini menjadi tetap dalam satu lingkaran yang harmonis. Ini sebabnya, tokoh-tokoh sufistik yang disebut Sunan, Wali, Syeik atau Ulama, dalam masa transfomasi ini, secara pasti menduduki posisi sentral dalam masyarakat, bahkan derajat kedudukan mereka serta merta menggantikan kedudukan para raja-raja Hindu-Budha sebelumya.

Adapun kolonialisme barat yang dibawa oleh bangsa Belanda, datang dalam kondisi masyarakat yang sedang bertranformasi dan masih berbenah seperti ini, Ruslan Abdulgani menyebut fase ini sebagai “interupsi sejarah”. Menarik deskripsi Bung Karno terkait masa ini, yang ditulisnya pada tahun 1933 dengan judul, “Mencapai Indonesia Merdeka”.

ah, masyarakat Indonesia khususnya, masyarakat Asia umumnya, pada waktu itu kebetulan sakit. Masyarakat Indonesia pada waktu itu adalah suatu masyarakat “intransformatie”, ya’ni suatu masyarakat yang sedang asik “berganti bulu”; feodalisme kuno yang terutama sekali feodalisme Brahmanisme, yang tidak memberi jalan sedikitpun juga pada rasa kepribadian, yang mengganggap Raja beserta bala keningratannya sebagai titisan Dewa dan menganggap Rakyat sebagai perkakas melulu daripada “titisan dewa” itu, feodalisme kuno itu dengan perlahan-perlahan didesak oleh feodalisme baru, feodalisme-nya keislaman yang sedikit lebih demokratis dan sedikit lebih memberi jalan para rasa kepribadian. Pertempuran antara feodalisme kuno dan feodalisme baru itu, yang pada akhirnya mitsalnya berupa pertempuran antara Demak dan Majapahit, antara Banten dan Padjajaran, pertempuran antara feodalisme kuno dan feodalisme baru itu seolah-olah membikin badan masyarakat menjadi “demam” dan menjadi “kurang tenaga”. Memang tiap-tiap masyarakat “in transformatie” adalah seolah-olah demam. Dan memang tiap-tiap masyarakat yang demikian itu “abnormal”, lembek, kurang tenaga….

Herankah kita, kalau masyarakat Indonesia, yang pada waktu itu datangnya imperialisme dari Barat itu kebetulan ada di dalam keadaan transformatie, ta’ cukup kekuatan untuk menolaknya? Kalau imperialisme barat itu segera mendapat kedudukan di masyarakat yang sedang bersakit demam itu? kalau imperialisme barat itu segera bisa menjadi cakrawati di dalam masyarakat yang lembek itu? satu persatu negeri-negeri di Indonesia tunduk pada cakrawati baru itu. Satu persatu negeri-negeri itu lantas hilang kemerdekaannya…

Namun meski sedang dalam kondisi “demam” seperti kata Bang Karno, bukan hal mudah bagi Belanda menguasai Nusantara. Di sepanjang gugusan kepulauan Nusantara ini, Belanda harus menghadapi serangkaian front pertempuran yang melelahkan dari gerakan-gerakan perlawanan masyarakat. Menurut Prof. Wertheim, “bagi banyak orang Indonesia, Islam menjadi lambang perlawanan menghadapi sistem diskriminasinya kolonialisme, seperti dulu dalam perlawananannya terhadap sistem kasta Hinduisme”. Hanya saja, bila sebelumnya Islam menggunakan metode koreksi dan pendekatan kultural dalam mereduksi feodalisme Hindu, maka di masa pendudukan kolonialisme Belanda, metode ini bertranformasi menjadi seruan “Jihad fi sabilillah”.  (AL)

Bersambung ke:

Snouck Hurgronye dan Islam Nusantara (2) (Menyusun Strategi Penjinakan)

Sumber Tulisan, diadaptasi dari Makalah Ruslan Abdulgani, “Islam Datang Ke Nusantara Membawa Tamadun/Kemajuan/Kecerdasa”, Dalam Prof. A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Medan, PT. Alma’arif, 1993

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*