Di masa perlawanan terhadap penjajahan kolonial pada abad ke 18 dan 19, seruan Jihad fi sabilillah memberi energi yang sangat besar kepada masyarakat di Nusantara. Bahkan di Perang Aceh, seruan Jihad fi sabilillah ini menjadi nama perang itu sendiri, Perang Sabil. Dalam perang ini, pemerintah kolonial Belanda merasakan betul bagaimana sulitnya mematahkan perlawanan rakyat yang terus datang secara bergelombang selama bertahun-tahun. Berbagai strategi yang digelar gagal total, dan berbagai siasat berujung kehancuran di pihak Belanda. Hingga akhirnya, Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis kondang asal Belanda yang sudah banyak meneliti tentang Islam di Timur Tengah khususnya di Mekkah, menjadi penasehat Kerajaan Belanda untuk Urusan Arab dan Pribumi (Adviseur voor Arabische en Inlandsche Zaken).
Snouck Hurgronje lahir di Oosterhout pada tahun 1857, ia menjadi mahasiswa teologi di Universitas Leiden pada tahun 1874, dan mendapat gelar doktor di Leiden pada tahun 1880 dengan disertasinya ‘Het Mekkaansche feest‘ (“Perayaan Mekah”). Dari disertasinya ini, Snouck Hurgronje memiliki minat yang semakin tinggi pada Islam, bahkan ia sempat mengubah namanya menjadi Abdul Ghaffar, untuk masuk dan mempelajari agama Islam lebih dalam. Berbekal pengetahuan yang cukup tentang agama Islam, dia mengubah perspektif dan strategi kerajaan Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh.[1]
Dalam karyanya “De Atjehers” ia mengatakan, “bila pada masa lalu slogan Jihad bisa membawa peradaban Islam menuju puncak kejayaannya, sekarang tidak lagi. Ini adalah era Eropa yang pemimpin dunia. Progresifitas sekularisasi di dunia Islam telah menjadikan slogan jihad kehilangan signifikansinya. Meski demikian, Jihad tidak bisa dihapuskan begitu saja dari khasanah ajaran Islam. Ia akan tetap menjadi ingatan para pemangku kebijakan negara-negara muslim”.[2] Dengan kata lain, ia meyakinkan kepada pemerintah Belanda agar jangan takut dengan slogan Jihad. Slogan itu berbeda sama sekali dengan slogan yang ada pada masa Nabi Muhammad dan beberapa waktu setelahnya. Saat ini, masyarakat Islam sudah terbuai oleh dunia dan kemajuan. Slogan-slogan itu hanya tinggal sebagai slogan kosong belaka.
Terkait dengan karakter Islam di Nusantara, Snouck Hurgronye menyebutnya sebagai “Islam metropolitan”. Ia mengibaratkan, Islam yang muncul di masa Nabi Muhammad itu adalah “seperti anak petani desa yang kaku kekar, maka Islam yang saat ini datang ke Nusantara adalah ibarat seorang metropolitan yang menjadi dewasa dalam pergaulannya dengan berbagai bangsa”. Menurutnya, Islam yang hadir ke Nusantara adalah Islam yang berjarak sangat jauh dengan Sang Nabi, sehingga distorsi sangat mungkin terjadi, serta perkembangan ajaran-ajarannya menjadi berubah dan menyesuaikan keinginan zaman. Bahkan menurutnya, “Pada zaman Khalifah, watak Islam adalah ibarat orang dewasa, malahan sudah orang tua, dengan bermacam-macam tambahan pakaian dan perhiasan, dalam suatu lingkungan masyarakat antar bangsa yang luas sekali, ditambah pula dengan bekal kitab-kitab fikih, hadist dan sebagainya. Ia bukan lagi putra padang pasir lagi, yang lurus sederhana jiwanya, melainkan tuan-tuan kota, di tengah-tengah kehidupan maju, malahan seringkali mewah dan mubazir dengan jiwa yang berliku-liku”.[3]
Setelah melalui tahap observasi yang cukup panjang, Snouck Hurgronye menyarankan kepada pemerintah Belanda skema penjinakan gerakan Islam Nusantara pada tiga aras. Pertama, politik pecah belah (divide et impera); Kedua, politik penindakan dengan kekerasan; dan Ketiga, politik asosiasi. Adapun politik pecah belah ditujukan kepada para raja, sultan atau para elit bangsawan. Sedangkan politik penindakan dengan kekerasan ditujukan kepada para ulama, sunan, dan pemimpin keagamaan lainnya yang tidak bersedia tunduk pada pemerintah Belanda. Dan ketiga, politik asosiasi di tujukan kepada masyarakat nusantara seluruhnya.
Untuk politik pertama dan kedua, meski terbilang berhasil dilakukan, namun masih bisa dikenali oleh masyarakat Nusantara. Namun untuk yang ketiga, ini begitu licin dan sulit ditepis oleh para pemimpin pergerakan nasional. Terlebih politik asosiasi Snouck Hurgronye ini dilancarkan secara beriringan dengan “Politik Balas Budi” Van Deventer. Menurut Ruslan Abdulgani, politik asosiasi itulah sebenarnya yang menjadi target utama dari rangkain taktik yang ditwarkan Snouck Hurgronye kepada pemerintah Belanda. Yaitu menggabungkan secara permanen hubungan antara Belanda sebagai dengan tanah jajahannya, sehingga manajemen pengelolaannya akan lebih efisien dan efektif, sebab cukup hanya melakukan mekanisme pemerintahan yang normal, tujuan-tujuan politik dan kepentingan Kerajaan Belanda dapat di capai. (AL)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Snouck Hurgronye dan Islam Nusantara (1); (Memetakan Sejarah)
Catatan kaki:
[1] Lihat, Jan Just Witkam, Christiaan Snouck Hurgronye, Dalam Coeli Fitzpatrick and Dwayne A. Tunstall (Edt), Orientalist Writers, Dictionary of Literary Biography, Vol. 360, New York, Gale Cangage Learning, 2012, Hal. 151
[2] Ibid, Hal. 152
[3] Lihat, Ruslan Abdulgani, Islam Datang Ke Nusantara Membawa Tamadun/Kemajuan/Kecerdasan, Dalam Prof. A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Medan, PT. Alma’arif, 1993, Hal. 112-113
Perkenalkan saya mahasiswa teknik sipil, setelah membaca seluruh part tulisan ini, membuat saya merasakan sejarah itu hidup d depan mata saya, (tulisan ini berisi fakta sejarah indonesia yg dikemas dlm rangkaian kata yg sangat bagus dan terasa nyata), terimakasih admin telah berbagi informasi atau ilmu sejarah indonesia yg sangat penting ini. #janganLupakanSejarah #SejarahBisaTerulang