Sebuah kalimat Snouck Hurgronye dalam kuliah umumnya yang disampaikan di Universitas Leiden pada tahun 1911, yang berjudul “Nederland en de Islam”, berbunyi sebagai berikut :[1]
“satu-satunya penyelesaian daripada masalah ini adalah asosiasi antara para kawula Kerajaan Belanda yang beragama Islam dengan orang-orang Belanda. Kalau asosiasi ini berhasil maka tidak ada lagi apa yang dinamakan “masalah Islam” itu; dengan demikian akan terbangun persatuan kebudayaan antara para kawula Ratu Putri Belanda dari Kerajaan Belanda yang berada di pesisir laut utara di Eropa Barat dengan para kawula Nusantara, yang menghilangkan perbedaan politik dan sosial dalam peribadatan agamanya masing-masing…., Pencaplokan secara materiil masa lalu harus dilanjutkan dengan pencaplokan secara mental”
Pada tahun 1912, masih dalam satu seri kuliah yang sama, Snouck Hurgronye menyampaikan tiga kerangka dasar kebijakan politik menghadapi Islam di Indonesia sebagai berikut :[2]
“Islam politiknya Pemerintah Belanda yang benar dan tahan uji adalah kebijaksanaan yang harus memberi kemerdekaan yang seluas-luasnya dan sejujur-jujurnya di bidang keagamaan murni; di bidang ajaran-ajaran kemasyarakatan harus dihormati lembaga-lembaga masyarakat yang sudah ada, sambil memberi kesempatan agar jalan evolusi ke arah pendekatan kepada kita ditempuhnya, malahan dimana perlu supaya didorong ke arah pendekatan ini; tetapi terhadap ajaran-ajarannya di bidang ketatanegaraan dan politik pemerintah harus menolak semua tuntutan atau pretensi-pretensi yang berjiwa Pan Islamisme, yang bertujuan membuka pintu bagi kekuatan-kekuatan asing untuk mempengaruhi perhubungan pemerintah Belanda dengan rakyat-takluknya di Timur ini”.
Dari apa yang disampaikannya, dapat tergambar jelas skema penjinakan Islam di Nusantara. Dimana Snouck memformulasikan dan merumuskan ajaran Islam menjadi tiga bagian, yaitu ; Islam sebagai ritus spiritual Agama, Islam dalam bidang sosial atau hubungan kemasyarakatan, dan Islam sebagai politik. Padahal secara substansi, ajaran Islam tidak membagi dan memisahkan hubungan antar ketiganya. Islam mengajarkan tata cara bersuci hingga memerintah sebuah negeri, bahkan mengajarkan juga tata cara perang dan berdamai. Dalam pandangan Islam, ketiga bagian tersebut adalah satu kesatuan perintah yang tidak terpisahkan.
Tapi apa mau dikata, strategi Snouck memang berhasil. Secara berangsur-angsur Belanda berhasil memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui “politik asosiasi” diprogramkan jalur pendidikan bercorak barat dan metodologi berpikir ala Eropa diajarkan kepada masyarakat, khususnya di kelas Priyayi. Jalur-jalur pendalaman mendidikan pun dibuka. Atas nama “politik balas budi” dan “politik asosiasi”, putra-putra pribumi dapat mengenyam pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi di Eropa. Tidak hanya sampai disana, sepulangnya dari pengenyam pendidikan tersebut, mereka mendapat akses pekerjaan dan jabatan di pemerintahan. [3]
Dengan cara ini, Snouck bermaksud untuk menjadikan kalangan priyayi (abangan) ini sebagai kelas yang meredam pengaruh kalompok agama (santri) di masyarakat. Empowering terhadap kelas priyayi ini menjadikan mereka sebagai counter balance ide-ide agama Islam di tengah masyarakat. Seiring dengan semakin berkembangnya peradaban Eropa, semakin mengukuhkan kebudayaan barat sebagai superior daripada kebudayaan pribumi. Ditambah lagi, tidak sedikit para elit pribumi yang bersekolah ke Eropa dalam hal agama tetap setia memeluk agama Islam. Maka tak urung, syiar Islam mengelami tekanan yang luar biasa pada awal abad ke-20 ini. Terlebih setelah berakhirnya Perang Sabil di Aceh yang berakhir dengan kemenangan di pihak Belanda, dan satu persatu ulama Aceh syahid atau ditahan, gerakan Islam di Nusantara harus beradaptasi mencari celah untuk membangun skema perjuangan baru.
Untuk mencabut pengaruh kebudayaan Islam Nusantara, pendekatan di bidang hukum merupakan salah satu sentuhan yang paling efektif dilakukan oleh Belanda. Konsep untuk membendung dan mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan “Theorie Resptie”. Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum adat.[4] Hukum-hukum Islam hanya masuk dalam ranah privat, seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, harta gono-gini, yang hingga sekarang masih diadopsi oleh hukum NKRI. Adapun hukum yang terkait dengan hubungan sosial kemasyarakatan – terlebih politik, hukum Islam praktis tidak dipakai.
Meski pada akhirnya, strategi yang dilancarkan oleh Snouck Hurgronye terlihat berhasil, namun tidak bisa sepenuhnya menghapus pengaruh Islam di Nusantara. Bahkan kelas priyayi yang disekolahkan ke Eropa atas biaya pemerintah Belanda, yang sedianya akan menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan kolonial, alih-alih bergabung dengan Belanda, mereka justru membangun perlawanan rakyat dengan cara yang lebih modern, bahkan beberapa diantara mereka justru menggunakan Islam sebagai jargon perlawanannya. Diantara mereka memang ada yang membawa ide Pan Islamisme dalam perjuangannya, dan bermaksud mendirikan Negara Khilafah di Nusantara. Namun pada nature nya Islam Nusantara memang bukan sub-ordinat dari ide politik Islam Timur Tengah, ide-ide ini patah dan bersintesa dengan ide nasionalisme Indonesia. Meski begitu, tidak ada yang bisa menyangkal, bahwa dalam masa Pergerakan Indonesia, hingga mencapai Indonesia Merdeka, nilai-nilai Islam-lah yang menjadi energi penggerak utama, serta menjadi pondasi rangka bangun NKRI. (AL)
Selesai.
Sebelumnya:
Snouck Hurgronye dan Islam Nusantara (2) (Menyusun Strategi Penjinakan)
Catatan kaki:
[1] Lihat, Ruslan Abdulgani, Islam Datang Ke Nusantara Membawa Tamadun/Kemajuan/Kecerdasan, Dalam Prof. A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Medan, PT. Alma’arif, 1993, Hal. 125-126
[2] Ibid, Hal. 123-124
[3] https://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/11/snouck-hurgronje-arsitek-politik-islam-hindia-belanda/
[4] Ibid