Oleh Mi’raj Dodi Kurniawan[1]
“Jazirah Arab bukan hanya dinilai jahiliyah (bodoh), tak terlalu penting, dan tak berpengaruh di dunia, tetapi juga sangat terisolasi dan berada di pojok kultural yang mematikan. Namun Nabi Muhammad mengubahnya, menyita perhatian masyarakat jazirah Arab, dan bahkan dunia.”
–O–
Faktor penyebab utama – akan tetapi tersembunyi – di balik megahnya Peradaban Islam Klasik adalah visi spiritualitas Islam. Sebab, visi spiritualitas merupakan lapisan terdalam dalam peradaban. Pada tataran praktis, visi ini secara aktual dimiliki oleh “creative minority” (minoritas kreatif) yang didukung massa dalam menghadapi dan menyikapi kondisi lingkungan peradaban tersebut dari sejak tahun 610 M sampai 1250 M. Dalam konteks ini, mereka adalah Nabi Muhammad SAW bersama para pengikut sezamannya (kaum salaf), dan dilanjutkan oleh para penerusnya.
Ibarat emas murni dari kubangan lumpur, sepak-terjang Rasulullah yang didukung oleh istri dan para sahabatnya bukan hanya mengubah sejarah, tetapi juga menyita perhatian masyarakat jazirah Arab, dan bahkan dunia. Tiada lain, faktor pendorong dan tujuan pergerakan mereka adalah visi spiritualitas Islam. Mula-mula, visi ini dibumikan di jazirah Arab yang waktu itu bukan hanya jahiliyah (bodoh), tak terlalu penting, dan tak berpengaruh di dunia, tetapi juga sangat terisolasi dan berada di pojok kultural yang mematikan. [2]
Secara etimologis, istilah jazirah Arab tersusun dari dua kata: jazirah dan Arab. Jazirah artinya “pulau” atau – sebagian sejarawan lain menyebutnya – “semenanjung”. Arab artinya “padang pasir dan gurun atau tanah gersang yang tidak ada air dan tumbuhannya”. Jadi, jazirah Arab merupakan pulau atau semenanjung yang penuh dengan padang pasir dan gurun serta gersang tanpa air dan tanaman. Istilah jazirah Arab telah muncul dari sejak zaman Arab kuno dan masyhur digunakan di semenanjung Arab.[3]
Hingga masa-masa awal kenabian Muhammad, letak geografis jazirah Arab sangat terisolasi, baik dari sisi daratan maupun lautan. Kawasan ini, tempat Nabi Muhammad tampil dengan perkabaran ilahinya pada abad ke-7 perhitungan tahun Masehi, sebenarnya terisolir secara kultural. Sejarah dunia yang besar telah jauh meninggalkannya. Perselisihan yang berujung pada peperangan antar suku, berlangsung dalam skala besar-besaran di stepa-stepa jazirah tersebut.[4]
Dari sudut pandang negara-negara adikuasa waktu itu, Arabia adalah kawasan terpencil dan biadab, sekalipun memiliki posisi yang cukup penting sebagai kawasan penyangga dalam ajang perebutan kekuasaan politik di Timur Tengah. Waktu itu, negara-negara adikuasa yang berebut kekuasaan di Timur Tengah didominasi oleh dua imperium raksasa: Bizantium (Kekaisaran Romawi Timur) dari Eropa dan Persia dari Asia.[5]
Oleh sebab itu, setelah sejarah mencatat terjadinya perubahan drastis di jazirah tersebut pasca Nabi dan para pengikutnya mengadakan ‘sentuhan-sentuhan kreatif’ atas lingkungan dan zamannya, maka khalayak terutama para sejarawan pun mempertanyakan tentang dua faktor tersembunyi di balik penciptaan Peradaban Islam Klasik. Pertama, apa kekuatan yang tidak kasat mata di balik pembentukan Peradaban Islam Klasik? Kedua, bagaimana sejarah menjelaskan peranan kaum muslim klasik dalam menciptakan Peradaban Islam Klasik?
Pertanyaan tersebut penting dijawab bukan hanya untuk memuaskan rasa penasaran khalayak dan para sejarawan, tetapi juga sebagai bahan pembelajaran untuk membangun dan menata peradaban Islam masa kini dan masa depan. Sebab, jika Islam merupakan sumber tata nilai dan tujuan, maka Islam seharusnya menjadi inspirasi sekaligus nafas pembentukan peradaban di setiap tempat dan zaman.
Jika ditinjau dari sudut pandang kesejarahan, maka sebagaimana organisme lainnya, suatu masyarakat pun bisa mengalami kelahiran, perkembangan, pembentukan identitas, dan – dimungkinkan – mengalami kepunahan. Akan tetapi, sebelum punah atau justru berubah bentuk, sebagian masyarakat di muka bumi akan membentuk kebudayaan (culture) bahkan beberapa diantaranya membentuk peradaban (civilization), yakni kualitas tertinggi dari perkembangan kebudayaannya.
Secara etimologis, istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta budh, budhi, dan budhayyah yang berarti akal. Oleh sebab itu, kebudayaan acap kali dimaknai sebagai hasil pemikiran atau hasil olah akal manusia. Selain itu, istilah budaya dibangun dari kata budi (akal atau unsur rohani dalam kebudayaan) dan daya (perbuatan atau unsur jasmani dalam kebudayaan). Jadi, kebudayaan merupakan hasil atau produk akal dan ikhtiar manusia.[6]
Kebudayaan disusun dari tiga unsur yang saling berinteraksi: sistem gagasan (ideas), sistem sosial (activities), dan benda fisik (artifacts).[7] Dengan demikian, kebudayaan bisa saja dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan serta benda fisik olahan manusia di dalam masyarakat melalui proses belajar.[8] Oleh sebab itu, lantaran terjadi proses pembelajaran, maka kebudayaan masyarakat yang muncul kemudian seringkali dianggap lebih maju dibanding masyarakat sebelumnya.
Berbeda dengan makna kebudayaan, secara etimologis, kata peradaban disusun dari kata dasar adab yang bermakna kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, atau akhlak. Dalam bahasa Inggris, padanan kata peradaban adalah civilization. Istilah ini berasal dari bahasa Latin civics (warga kota), civitas (negara kota) dan civilitas (kewarganegaraan).[9] Dengan kata lain, peradaban ialah kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks.
Peradaban adalah kemajuan dalam segi kecerdasan dan kebudayaan lahir batin suatu masyarakat atau hal-hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Peradaban ialah tingkatan akhir kebudayaan ketika kebudayaan itu tidak memiliki lagi sifat produktif, telah membeku, dan mengkristal. Singkat kata, jika kebudayaan terbentuk pada masyarakat yang sedang menjadi (it becomes), maka peradaban terbentuk pada masyarakat yang sudah menjadi, sudah mapan, sudah selesai (it has been), atau sudah sampai pada pencapaian tertinggi.[10]
Unsur-unsur atau gejala-gejala peradaban diantaranya masyarakatnya telah mengenal tulisan, berpola kehidupan kota, terjadi pembagian kerja secara kompleks, model teknologinya telah maju, dan berkembangnya pranata-pranata politik, agama, filsafat, dan seni.[11] Dengan kata lain, masyarakat penghuni peradaban ini memiliki visi spiritual, etika, estetika, dan ilmu pengetahuan dan teknologi bermutu tinggi. Tentu saja selain itu, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, atau akhlak, tercermin dalam masyarakat tersebut.
Bersambung ke:
Spiritualitas, Minoritas Kreatif, dan Peradaban Islam Klasik (2): Madinah al-Nabi
Catatan Kaki:
[1] Ketua Bidang Litbang KAHMI Cianjur, Sejarawan UPI Bandung, dan Penulis essay-essay tentang Keislaman di berbagai media Nasional.
[2] Nur Hasan. “Jazirah Arab Sebelum Masuknya Islam” dalam https://alif.id/read/nur-hasan/jazirah-arab-sebelum-masuknya-islam-b207706p/.
[3] Ibid.
[4] Taufik Adnan Amal. 2011. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. Hlm 12.
[5] Ibid.
[6] Supartono Widyosiswoyo. 2001. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[7] Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm 186.
[8] Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
[9] Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Ekonomi, dan Agama Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu. Hlm 26-27.
[10] Ibid., hlm 24.
[11] Ibid., hlm 27.