Mozaik Peradaban Islam

Spiritualitas, Minoritas Kreatif, dan Peradaban Islam Klasik (5): Minoritas Kreatif

in Studi Islam

 

Oleh Mi’raj Dodi Kurniawan[1]

 “Peradaban Islam kemungkinan besar akan muncul dan jaya kembali manakala visi spiritualitasnya muncul dan dimunculkan kembali oleh kaum minoritas kreatif Muslim”

–O–

Photo ilustrasi: Disabled During Disaster

Munculnya peradaban bukan hanya karena adanya faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan fisik belaka. Namun, landasan utama lahirnya peradaban adalah akibat dua faktor berikut: adanya minoritas kreatif (creative minority), dan kondisi lingkungan. Jadi, faktor gen dan lingkungan fisik hanya membantu perkembangan peradaban.[2] Dengan demikian, Peradaban Islam Klasik lahir karena adanya minoritas kreatif dan kondisi lingkungan – mula-mula lingkungan jazirah Arab.

Minoritas kreatif merupakan sekelompok manusia atau individu yang memiliki self determining (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan dengan semangat yang kuat). Bukan hanya memiliki self determining, melainkan mereka juga mempunyai kreatifitas untuk menanggapi lingkungan alamiah dan sosial. Artinya dalam segi jumlah, jumlahnya memang sedikit, namun mereka berperan vital sebagai panutan atau pemandu masyarakat kebanyakan dalam menanggapi tantangan zaman.

Interaksi minoritas kreatif dengan lingkungannya terjadi dalam dan melalui mekanisme tantangan dan tanggapan (challenge and response). Mula-mula, lingkungan bersifat alamiah (fisik), kemudian sosial, yang menantang kaum Muslim klasik. Lantas, masyarakat, melalui minoritas kreatif di antara mereka, menentukan cara menanggapi (merespons) tantangan lingkungan alamiah dan sosial. Segera setelah itu – berkat kepercayaan kepada minoritas kreatif – masyarakat menanggapi tantangan lingkungan alamiah dan sosialnya, dan demikian seterusnya dalam menanggapi tantangan-tantangan baru.[3] Dari proses inilah muncul peradaban.

Jadi, kuncinya, peradaban muncul sebagai jawaban masyarakat yang mengikuti arahan (orientasi) dari minoritas kreatif tatkala dihadapkan pada beberapa satuan tantangan kesukaran ekstrem. Bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus, melainkan peradaban tercipta semata-mata karena masyarakat sukses mengatasi tantangan dan rintangan. Dalam hal ini, Arnold J. Toynbee mengajukan lima perangsang lingkungan alamiah yang berbeda-beda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan yang ganas, kawasan baru, kawasan diperebutkan, kawasan yang ditindas, dan tempat pembuangan.[4]

Kawasan ganas ialah lingkungan fisik yang sulit ditaklukkan, seperti wilayah yang acap terkena banjir bandang, antara lain di Sungai Hoang Ho, Cina. Kawasan baru mengacu pada daerah yang belum pernah diolah dan dihuni, sehingga masyarakat merasa asing dan – lalu – melakukan upaya adaptasi. Kawasan yang diperebutkan mengacu daerah yang diperebutkan oleh berbagai kekuatan militer. Kawasan tertindas menunjukkan adanya situasi ancaman yang berkepanjangan dari luar. Tempat pembuangan atau hukuman berarti kawasan tempat kelas dan rasa yang secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksploitasi.[5]

Betapa pun demikian, masyarakat yang diberi atau dihadapkan pada tantangan tidak niscaya memberi tanggapan yang bisa membangkitkan peradaban. Demikian pula tidak semua tantangan bisa dianggap rangsangan positif. Pada konteks tertentu, bahkan tak sedikit tantangan malah tidak melahirkan peradaban. Misalnya di alam yang baik, manusia akan berusaha mendirikan kebudayaan sebagaimana yang terjadi di Eropa, India, dan Cina. Namun, di daerah yang terlalu dingin, seolah manusia membeku sebagaimana di Eskimo. Di daerah yang terlalu panas, jelas tidak bisa menciptakan kebudayaan sebagaimana di Sahara, Kalahari, dan Gobi.

Oleh karena itu, tiada hubungan langsung antara tantangan dan tanggapan, melainkan hubungannya berbentuk kurva linier. Jadi, kesukaran yang sangat besar dapat membangkitkan tanggapan memadai. Namun, tantangan ekstrem dalam pengertian terlalu lembut dan terlalu keras tidak mungkin membangkitkan tanggapan memadai.[6]

Pada fase pertumbuhan peradaban, tanggapan sering berhasil karena minoritas kreatif merambah upaya baru untuk menanggapi tantangan baru dan – dengan cara begitu – menghancurkan tradisi yang dianggap sudah kolot bahkan primitif yang apabila dibiarkan akan membawa pada kemusnahan.[7] Artinya peradaban mulai berkembang ketika minoritas kreatif menemukan suatu tantangan kemudian merespons dan menemukan solusi dan inovasi.[8]

Kesimpulannya, kelahiran dan pertumbuhan bahkan kehancuran peradaban tergantung dari sepak-terjang minoritas kreatif. Sebab, pada dasarnya, seluruh tindakan sosial adalah karya individu-individu pencipta. Ketika kebanyakan umat manusia cenderung terperosok ke dalam cara-cara hidup lama yang malah akan membuat peradabannya hancur, maka tugas minoritas kreatif bukanlah semata-mata menciptakan bentuk-bentuk dan proses-proses sosial baru, akan tetapi juga menciptakan cara-cara untuk membawa bersama-sama minoritas dan mayoritas ke arah kemajuan. Bersama pimpinan elit, peradaban akan tumbuh melalui serentetan tanggapan yang berhasil menghadapi berbagai tantangan secara berkelanjutan.

Kemerosotan kebudayaan dan peradaban terjadi ketika minoritas kreatif kehilangan daya mencipta dan kewibawaannya, sehingga mayoritas tidak bersedia lagi mengikuti mereka. Dengan kata lain, tiada lagi minoritas kreatif dalam masyarakat tersebut. Kemudian kehancuran peradaban terjadi setelah tunas-tunas kehidupan kebudayaan dan peradabannya mati, sehingga pertumbuhannya terhenti, sebab kebudayaan dan peradabannya tak berjiwa lagi alias membatu. Selanjutnya, lenyapnya kebudayaan dan peradaban terjadi karena tubuh kebudayaan yang sudah membatu tersebut hancur lebur dan lenyap.

Artinya dalam konteks ini, Peradaban Islam Klasik bukan hanya lahir dan dilahirkan dari lapisan visi spiritual Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sehingga membentuk etika, estetika, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga kelahiran dan pertumbuhan serta kemajuan bahkan penurunannya disebabkan oleh adanya minoritas kreatif yang kreatif menanggapi tantangan lingkungan alamiah dan sosial dan adanya minoritas kreatif yang miskin kreatifitas atau – lebih tepatnya – ketiadaan minoritas kreatif itu sendiri.

Dalam hal ini, minoritas kreatif yang pertama-tama dan utama dalam Peradaban Islam Klasik tentu saja Nabi sendiri. Setelah itu, beberapa gelintir sahabat Nabi. Pasca Nabi wafat dan para penganut Islam kian banyak, para pemuka Muslim yang shaleh dan cerdas (kreatif) dalam aspek keimanan, etika, estetika, dan keilmuan dan teknologi tidak terkecuali dalam politik dan ekonomi menjadi minoritas kreatif.

Dalam fase-fase awal pasca Nabi wafat, mereka adalah Khulafaur Rasyidin yang terdiri atas Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib. Selanjutnya, kaum minoritas kreatif ini bukan hanya para ilmuwan dan para ekonom Muslim, melainkan juga para politisi khususnya para penguasa pada sistem kekuasaan Peradaban Islam Klasik periode 650 (tepatnya 610) – 1250 M.

Kemerosotan kebudayaan dan Peradaban Islam Klasik terjadi saat minoritas kreatif Muslim kehilangan daya mencipta dan wibawa, sehingga mayoritas Muslim tak bersedia lagi mengikuti mereka. Tegasnya, tiada lagi minoritas kreatif di dalamnya. Namun, satu hal penting untuk ditegaskan, bahwa kendati Peradaban Islam Klasik mengalami penurunan, tetapi sesungguhnya ia tidak benar-benar hancur dan membatu apalagi lenyap. Sebab, meski kurang kreatif dan kurang berpengaruh di dunia, akan tetapi peradaban Islam masih eksis hingga sekarang. Kemungkinan besar Peradaban Islam ini akan muncul dan jaya kembali di masa kini atau masa depan manakala visi spiritualitasnya muncul dan dimunculkan kembali oleh kaum minoritas kreatif Muslim masa kini atau masa depan. Wa Allahu a’lam bi al-Showab.

Selesai:

Sebelumnya:

Spiritualitas, Minoritas Kreatif, dan Peradaban Islam Klasik (4): Visi Spiritualitas Islam

Catatan Kaki:

[1] Ketua Bidang Litbang KAHMI Cianjur, Sejarawan UPI Bandung, dan Penulis essay-essay tentang Keislaman di berbagai media Nasional.

[2] Robert H. Lauer. 2001. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm 49-57.

[3] Piotr Sztompka. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media. Hlm 173-174.

[4] Op.Cit.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Ekonomi, dan Agama Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu. Hlm 5-12.

[8] http://en.wikipedia.org/wiki/A_Study_of_History.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*