Mozaik Peradaban Islam

Spiritualitas, Minoritas Kreatif, dan Peradaban Islam Klasik (4): Visi Spiritualitas Islam

in Studi Islam

Last updated on September 29th, 2018 10:13 am

 

Oleh Mi’raj Dodi Kurniawan[1]

“Terdapat 6 dari 26 peradaban yang masih bertahan hingga hari ini, yaitu: Peradaban Barat, Peradaban Kristen Ortodoks, Peradaban Islam, Peradaban Hindu, dan Peradaban Timur Jauh. Kunci dari bertahannya mereka adalah karena memiliki visi spiritualitas.”

–O–

Ilsutrasi peradaban manusia. Photo: huffingtonpost/getty

Sulit untuk dipungkiri, faktor penting tetapi tersembunyi di balik megahnya Peradaban Islam Klasik ialah visi spiritualitas Islam. Sebab, di balik peradaban yang kuat selalu ada visi spiritualitas di belakangnya. Dan tentu saja dalam konteks inilah Islam telah memberi visi yang dimaksud. Dalam sejarah, Islam telah menjadi visi spiritualitas masyarakat muslim klasik, sehingga Peradaban Islam Klasik dapat tumbuh dan berkembang sedemikian maju dan membentuk masyarakat kosmopolit.

Dalam banyak kadar, jika agama meliputi pengertian agama bumi (budaya) dan agama langit (Wahyu), maka visi spiritualitas memang acap terkandung dan dilesutkan oleh agama. Oleh karena itu hampir semua peradaban yang pernah dan masih eksis sampai sekarang di berbagai belahan dunia, dipengaruhi agama. Artinya agama atau spiritualitas menjadi basis dan kekuatan pemakmur peradaban umat manusia.

Dalam sejarah dunia, terdapat sejumlah peradaban yang dipengaruhi agama atau sistem kepercayaan yang pernah dan masih eksis hingga sekarang. Jika harus menyebutkan angka, setidak-tidaknya terdapat 26 peradaban. Dari jumlah sebanyak itu, 16 peradaban diantaranya telah musnah, 3 peradaban lainnya melebur, dan 7 peradaban sisanya masih bertahan hingga kini. Lalu karena beberapa kesamaan, 7 peradaban tadi dikombinasikan menjadi 5 peradaban.[2]

Kelima peradaban tersebut diantaranya: [1] Peradaban Barat; [2] Peradaban Kristen Ortodoks termasuk Eropa Tenggara; [3] Peradaban Islam; [4] Peradaban Hindu; dan [5] Peradaban Timur Jauh termasuk di dalamnya Cina, Jepang, dan Korea.[3] Maka tampaklah bahwa peradaban Islam bukan hanya diakui pernah eksis pada masa lampau, melainkan juga masih diakui eksistensinya hingga masa kini.

Dan jika disingkap proses pembentukannya, maka peradaban bermula ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras, kemudian sukses menjawab berbagai tantangan lingkungan sosial. Tumbuhnya peradaban bukan hanya manakala tantangan tertentu berhasil diatasi, melainkan juga karena secara terus-menerus, masyarakatnya dapat menjawab lagi tantangan berikutnya.

Dalam konteks pertumbuhan peradaban, hal itu tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik – misalnya – lewat teknologi, atau pengendalian lingkungan sosial – misalnya – melalui penaklukan. Namun, diukur dari peningkatan kekuatan dari dalam diri, yakni semangat kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal. Jadi, kekuatan pendorong tumbuhnya peradaban berasal dan bersifat dari sesuatu yang internal dan spiritual.[4]

Bangunan kebudayaan itu sendiri terpancang dan terdiri atas empat lapisan. Dari dalam ke luar, lapisan tersebut ialah visi spiritual, etika, estetika, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks radiasi budaya, budaya yang lebih kuat akan meradiasi budaya lemah. Namun, pengaruh keseluruhan kebudayaan kuat tak langsung masuk, tetapi secara parsial merembes ke dalam lapisan-lapisan budaya lemah. Dan lapisan luar paling adalah lapisan yang mudah ditembus untuk dipengaruhi, sedangkan semakin ke dalam, kian sulit.[5]

Jadi, bisa saja budaya lemah dipengaruhi budaya kuat, sehingga yang tampak hanya citra budaya kuat tersebut, baik dalam segi ilmu pengetahuan dan teknologi dan estetika maupun etika. Namun, selama lapisan visi spiritualnya kuat, maka setidaknya, kebudayaan itu masih eksis, bahkan bisa mengubah dan mengeliminir pengaruh budaya luar tadi jika visi spiritualnya direvitalisasi. Sebab, alih-alih dari luar ke dalam, yang acap terjadi justru lapisan dalam memengaruhi lapisan luar peradaban.

Artinya, lapisan visi spiritualitas merupakan jantung dan pertahanan terdalam sebuah kebudayaan dan peradaban. Kendati demikian, pengaruh radiasi budaya berbanding terbalik dengan nilai kedalamannya. Bahwa kian tinggi teknologi sebuah peradaban akan kian mudah meradiasikan lapisan-lapisan budaya lainnya pada peradaban lain. Sejarah membuktikan, yang menjatuhkan peradaban adalah disintegrasi (perpecahan) dan melemahnya visi spiritualitas masyarakatnya. Artinya, serangan pada pandangan dan etos keagamaan di jantung kebudayaan ialah serangan paling berbahaya, yang bisa melumpuhkan daya hidup peradaban tersebut.[6]

Oleh karena itu, jika membaca Sejarah Peradaban Islam Klasik, maka tampaklah bahwa peradaban megah ini tidak muncul begitu saja, melainkan dikonstruksi dengan dan dari visi spiritualitas Islam. Hal ini dapat dimengerti tatkala memahami Islam bukan ritual semata-mata. Melainkan, Islam juga – terutama – sebagai sumber tata nilai peradaban. Dengan demikian, spiritualitas Islam bukan hanya menopang, tetapi juga menjadi lapisan terdalam Peradaban Islam Klasik.

Secara etimologi, istilah spiritualitas dibangun dari kata spirite yang berasal dari bahasa Latin spiritus yang diantaranya berarti roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas, dan nyawa hidup. Kemudian, kata spirit diartikan sebagai kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada kosmos; sadar atas kemampuan, keinginan, dan intelegensial; makhluk immaterial; dan wujud ideal intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian, atau keilahian.

Dalam konteks ini, spiritualitas adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran individu mengenai asal, tujuan, dan nasib.[7] Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna dan tujuan hidup. Dengan demikian, menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih meluas dan mendalam kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan kepada hal yang bersifat fisik atau material.

Jika mengacu kepada tiga dimensi yang terkandung dalam diri manusia, yakni basyar (unsur biologis), annas (unsur sosial), dan insan (unsur psikis atau kejiwaan), maka spiritualitas relevan dan menjadi kandungan dimensi insan. Oleh sebab itu, spiritualitas memang abstrak dan bersifat pribadi, akan tetapi – meski tidak persis sama – kualitas spiritual seseorang dapat dilihat dalam kualitas perkataan, sikap, dan perbuatannya.

Dalam Al-Qur’an, istilah al-insan disebut sebanyak 65 kali dan hampir semua konteks penggunaannya berkenaan sisi keistimewaan manusia, baik secara moral maupun spiritual. Dalam pandangan dunia Islam, manusia tidak hanya makhluk unggulan dan puncak penciptaan, tetapi juga makhluk istimewa karena berperan sebagai khalifah (wakil Tuhan di dunia) dan pemikul amanah keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Dengan demikian, visi spiritualitas Islam bukan hanya menyadarkan kaum muslim bahwa Allah SWT sangat dekat dan Maha Mengetahui gerak-geriknya, tetapi juga memberikan gambaran ideal mengenai realitas yang benar, baik, dan indah, juga mengajarkan kesadaran tentang diri, tentang asalnya dari Allah SWT, tentang tujuan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT juga memakmurkan dunia, dan tentang nasibnya di dunia terutama di akhirat.

Jadi, visi spiritualitas Islam membangkitkan dan mencerahkan kaum muslim klasik dalam mencapai makna dan tujuan hidup bermakna, sehingga memiliki ikatan kepada hal-hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibanding yang bersifat fisik atau material. Dengan sikap positif kepada ilmu pengetahuan, kualitas psikis atau kejiwaan tidak hanya memperbaiki kualitas biologis dan kualitas hubungan sosial, tetapi juga memotivasi pembentukan peradaban.

Bersambung ke:

Spiritualitas, Minoritas Kreatif, dan Peradaban Islam Klasik (5): Minoritas Kreatif

Sebelumnya:

Spiritualitas, Minoritas Kreatif, dan Peradaban Islam Klasik (3): Nabi Muhammad

Catatan Kaki:

[1] Ketua Bidang Litbang KAHMI Cianjur, Sejarawan UPI Bandung, dan Penulis essay-essay tentang Keislaman di berbagai media Nasional.

[2] Arnold J. Toynbee. 1934. Vol I Introduction: The Genesis of Civilizations, part one. Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1934. Vol II The Genesis of Civilizations, part two. Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1934. Vol III The Growths of Civilizations. Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1939. Vol IV The Breakdowns of Civilizations. Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1939. Vol V The Disintegrations of Civilizations, part one. Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1939. Vol VI The Disintegrations of Civilizations, part two. Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1954. Vol VII Universal States; Universal Churches. Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1954. Vol VIII Heroic Ages; Contacts between Civilizations in Space (Encounters between Contemporaries). Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1954. Vol IX Contacts between Civilizations in Time (Renaissances); Law and Freedom in History; The Prospects of The Western Civilization. Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1954. Vol X The Inspirations of Historians; A Note on Chronology. Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1959. Vol XI Historical Atlas and Gazetteer. Oxford University Press; Arnold J. Toynbee. 1961. Vol XII Reconsiderations. Oxford University Press.

[3] Ekayati. 1996. ‘Arnold J. Toynbee’. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jilid 16. Jakarta: Cipta Adi Pustaka.

[4] Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Ekonomi, dan Agama Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu. Hlm 5-12.

[5] Arnold J. Toynbee. 1957. A Study of History: Abdridgement of Vols VII-X. Oxford University Press.

[6] Yudi Latif. “Serangan Jantung Budaya” dalam rubrik Opini Harian Umum Kompas edisi 30 Desember 2016.

[7] Abdul Wahid Hasan. 2006 . SQ Nabi: Aplikasi Strategi Dan Model Kecerdasan Spiritual (SQ) Rasulullah Di Masa Kini. Yogyakarta: IRCiSod. Hlm 294.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*