“Ottoman melindungi orang-orang Kristen dan Yahudi di wilayah mereka, karena bagaimanapun, menurut tafsiran mereka terhadap al-Quran, mereka adalah para “Ahli Kitab” yang hukumnya wajib untuk dilindungi.”
–O–
Kesuksesan terbesar Sultan Suleiman dalam memimpin Kekaisaran Ottoman adalah ketika terciptanya sistem birokrasi tunggal di seluruh wilayah kekuasaan yang membentang dari Afrika Utara sampai Laut Hitam, dan dari Hungaria sampai ke Baghdad. Birokrasi Ottoman menggunakan dua bahasa resmi negara –bahasa Arab dan Turki, keduanya digunakan secara bersamaan, dan para pejabat Ottoman menguasai keduanya. Bahasa Arab, bahasa asli al-Quran, selalu digunakan untuk seluruh urusan yang berkaitan dengan agama. Sementara bagi siapapun yang ingin bekerja di dalam pemerintahan wajib untuk menguasai bahasa Turki.[1]
Ottoman tidak terlalu khawatir dengan keragaman etnis yang berada di wilayah kekuasaan mereka, sebaliknya justru mereka menghargai terhadap berbagai macam perbedaan. Namun di atas semua itu, Ottoman secara alamiah menempatkan Islam sebagai otoritas tertinggi terhadap berbagai macam kelompok agama. Ottoman juga merasa memiliki tanggung jawab untuk melindungi orang-orang Kristen dan Yahudi di wilayah mereka, karena bagaimanapun, menurut tafsiran mereka terhadap al-Quran, mereka adalah para “Ahli Kitab” yang hukumnya wajib untuk dilindungi.[2]
Apa yang dilakukan oleh Ottoman dalam melindungi keragaman sepenuhnya adalah kepentingan yang pragmatis. Lebih baik memimpin orang-orang yang merasa “bebas” ketimbang merasa tertekan atau didiskriminasikan, kurang lebih itulah dasar pemikirannya. Oleh karena itu, Suleiman memiliki tantangan tersendiri dalam pemerintahannya, dia berpikir bagaimana caranya untuk menciptakan sebuah sistem hukum terpadu yang dapat melindungi dan menjamin semua orang, apapun agamanya, dalam jangka waktu yang panjang.[3]
Walaupun sebenarnya untuk dikatakan bahwa mereka benar-benar menghargai perbedaan tidak sepenuhnya benar, sebab, tercatat Ottoman pernah menekan kelompok Islam Syiah. Ketika Bayezid II terpilih menjadi Sultan pada tahun 1481, kelompok Syiah tidak menyukainya, mereka lebih mendukung Cem, saudara laki-laki Bayezid, untuk menjadi Sultan. Singkat kata, Beyezid berhasil mempertahankan takhtanya, dan kelompok Islam Syiah terus ditekan sehingga mereka melarikan diri dari wilayah Ottoman dan kemudian mendirikan dinasti sendiri yang bernama Safawi (Safavid). Namun, ketimbang kepada persoalan perbedaan aliran, pengusiran ini lebih bernuansa politis karena berhubungan dengan perebutan kekuasaan.[4]
Kembali ke era Suleiman, baginya membuat sistem hukum seperti itu cukup sulit. Terlebih, tugasnya menjadi semakin sulit ketika dia berhadapan dengan dua faktor. Pertama, dia harus memastikan bahwa setiap undang-undang yang dia rancang tidak bertentangan dengan hukum syariah. Kedua, dalam upaya mensahkan undang-undang rancangannya dia terbentur oleh sembilan sistem hukum yang sudah ada sebelumnya, yang masing-masing dibuat oleh sultan-sultan di masa sebelumnya.[5]
Oleh karena itu, Suleiman mengumpulkan semua sistem hukum yang sudah ada dan membuang semua undang-undang ganda (undang-undang yang isinya sama, namun terdapat di berbagai sistem hukum yang sudah ada). Setelah dikompilasikan dan memastikan tidak ada lagi undang-undang ganda, dia juga menghapus undang-undang yang bertentangan satu sama lain.[6]
Selain kedua persoalan di atas, orang-orang Turki pada dasarnya adalah orang-orang yang paling konservatif, mereka sering melihat ke belakang dengan kerinduan terhadap masa-masa primitif. Mereka juga merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang sangat cepat, hal tersebut sudah berlangsung dari sejak Osman (Sultan pertama Ottoman) menjadi Sultan.[7]
Orang-orang Turki pada awalnya adalah orang-orang pastoral, nomaden, penganut Paganisme yg hidup di stepa-stepa di Asia; kepala suku mereka menyebut dirinya Khan; dan mereka hidup dengan adat istiadat yang sumber hukumnya tidak tertulis. Singkat kata dulunya mereka adalah bangsa primitif. Kemudian secara bertahap agama Islam mulai meliputi daerah tersebut. Secara sistem hukum dan ajaran tentang kehidupan, Islam jauh lebih sempurna dibandingkan dengan adat istiadat asli. Mereka menerima Islam, dan secara perlahan masuk Islam.[8]
Artikel Terkait:
Kemudian masuklah era Ottoman, meskipun mereka telah masuk Islam dan sekarang hidup di bawah pemerintahan kekaisaran Ottoman yang jauh lebih beradab, namun sesungguhnya mereka masih belum benar-benar dapat melupakan tradisi primitif mereka. Hal tersebut paling tidak tercermin dalam sistem kemasyarakatan mereka, masih ada “raja-raja kecil” di dalam setiap kelompok masyarakat. Mereka hanya mengganti istilah “Khan” menjadi “Amir” agar terkesan lebih Islami. Dengan demikian, Suleiman selain berhadapan dengan internal pemerintahannya, dia juga mesti berhadapan dengan masyarakatnya yang sulit untuk menerima perubahan.[9]
Pada akhirnya Suleiman dapat mensahkan sistem hukum baru tersebut. Sistem tersebut diberi nama dengan Qanuni Osmani, atau Ottoman Code. Isinya tidak hanya tentang hak-hak warga negara yang dilindungi, tapi jauh lebih lengkap, termasuk mengatur persoalan administrasi dan keuangan.[10] Qanuni Osmani menjadi dasar hukum Kekaisaran Ottoman, dan karena adanya sistem hukum ini, Ottoman dapat bertahan hingga berabad-abad ke depan. Qanuni Osmani digunakan oleh Ottoman selama lebih dari 300 tahun dan baru digantikan pada pertengahan abad ke-19.[11] Karena jasanya ini, maka Suleiman selain dijuluki “Sang Agung” dia juga dijuluki “Sang Hukum” (al‐Qānūnī / Legislator / Pembuat Undang-undang / Pemberi Hukum).[12] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 212.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] “Ottoman Empire (1301-1922)”, dari laman http://www.bbc.co.uk/religion/religions/islam/history/ottomanempire_1.shtml, diakses 18 April 2018.
[5] Eamon Gearon, Loc. Cit.
[6] Ibid., hlm 212-213.
[7] Roger Bigelow Merriman, Suleiman The Magnificent 1520-1566, (Harvard University Press: Massachusetts, 1944), hlm 145.
[8] Ibid., hlm 145-146.
[9] Ibid., hlm 146.
[10] Ibid., hlm 161-162.
[11] Eamon Gearon, Ibid., hlm 213.
[12] Roger Bigelow Merriman, Ibid., hlm 2.