Tinjauan Dari Perspektif Al-Qur’an, Bukan tinjauan Fiqih
Oleh: Haydar Yahya
“Sangat terang benderang, ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan persatuan bahkan persaudaraan. Persatuan, persaudaraan itu, nyaris tidak pernah terwujud. Semua itu hanya membuktikan, telah terjadi distorsi serius dalam pemahaman ajaran “Islam”. Naif mengingkarinya.”
—Ο—
Sejarah panjang, perselisihan dikarenakan perbedaan pemahaman itu, baik terhadap pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah, telah melahirkan berbagai madzhab, aliran pemikiran, perseteruan, pembunuhan, bahkan peperangan. Mudah ditemukan dalam perjalanan sejarah ummat Islam. Tidak berbeda, hal yang sama juga terjadi pada agama Nasrani dan agama pada umumnya. Meski dalam perkembangannya, berbagai upaya pendekatan dilakukan untuk mencari titik temu, dengan masing-masing pihak merelakan, menerima baik perbedaan-perbedaan itu sebagai keniscayaan. Kemudian disusun argumen rasionalisasi pembenaran dari sikap legowo itu. Selayaknya koor, banyak yang berpendapat, perbedaan yang terjadi di kalangan muslimin, bukanlah pada hal-hal pokok yang disebut aqidah atau ushul, melainkan pada soal-soal fiqih yang disebut furu’, cabang, ranting, detail rincian, soal-soal kecil saja. Rasanya, pernyataan seperti itu lebih sebagai retorika yang didorong oleh kerinduan hidup dalam kedamaian bersama, setelah letih berseteru selama lebih seribu tahun. Bahkan bila argumen tersebut benar, bahwa perbedaan di kalangan muslimin hanya pada hal-hal kecil, pertanyaan lebih serius layak ditanyakan. Bagaimana bila karena hal-hal kecil sepele saja, cukup memicu perseteruan, pembunuhan bahkan peperangan yang menelan korban bisa mencapai jutaan jiwa antar sesama pemeluk agama yang sama, sepanjang perjalanan sejarahnya? Musykil ajaran seperti itu!?
Sekedar contoh saja, kaum muslimin meyakini, tauhid adalah salah satu soal aqidah yang utama, disamping kesaksian Muhammad sebagai Rasulullah Saw. Keduanya merupakan sentral doktrin. Tidak ada yang lebih utama dari tauhid dalam keyakinan keimanan seorang muslim. Dalam implementasinya, pemahaman yang tumbuh di kalangan muslimin, bukan saja berbeda, melainkan bisa bertentangan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Satu perbuatan bisa dianggap sebagai ibadah yang baik oleh sebagian muslimin, sementara dalam pandangan muslimin yang lain, dianggap sebagai perbuatan syirk (menyekutukan Allah), penyimpangan nyata dari prinsip tauhid. Yang melakukannya, dari tinjauan fiqih, bisa berakibat seseorang menjadi kufur, kafir (telah meninggalkan agama Islam).
Satu contoh lain, yang juga sangat mengesankan, adalah perihal tata cara sholat. Secara umum, sholat 5x sehari, disepakati sebagai ajaran utama bagi kaum muslimin. Sholat adalah tiang agama. Mendirikan sholat dipahami sebagai mendirikan agama. Meninggalkan sholat berarti sama dengan merobohkan agama. Meninggalkannya adalah dosa besar. Bahkan adapula yang berpendapat, bila sengaja melalaikan meninggalkan sholat secara terus menerus, bisa berakibat telah keluar, meninggalkan agama Islam. Begitu utama, pentingnya sholat dalam ajaran Islam. Namun, apa yang terjadi terkait tata cara sholat yang sampai pada kita. Coba kita simak.
Sejarah mencatat masa kerasulan Rasulullah saw selama 23 tahun (sejak usia 40 tahun – 63 tahun). Kewajiban sholat diperintahkan Allah swt, pada tahun ke 10 kerasulan. Berarti 13 tahun lamanya Rasulullah saw, menegakkan sholat bersama Ahlul Bait, Keluarga dan para Sahabatnya. Dengan hitungan sederhana, 13 tahun x 12 bulan = 156 bulan x 30 hari = 4680 hari x 5 kali sehari sholat fardhu = 23.400 kali sholat. Belum lagi sholat sunnah mu’akkadah (sholat sunnah yang selalu dikerjakan Nabi Saw). Sekurangnya 7 x 4.680 = 32.760 kali sholat sunnah. Bila ditambahkan 32.760 (sholat sunnah mu’akkadah) + 23.400 (sholat fardhu) = 56.160 kali sholat. Bukan jumlah yang sedikit, bukan juga dalam waktu yang singkat. Berlangsung secara terus menerus sepanjang hari selama 13 tahun lamanya. Pastinya sangat mudah ditiru diteladani sesuai sabda perintah Rasulullah saw yang sangat populer dan diterima semua pihak, berbunyi :”shollu kama ro-aitumuni usholli” / “sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat Aku sholat”. Terlebih lagi, konon bangsa Arab, sangat kuat ingatannya. Bisa jadi, itu sekedar mithos bagi bangsa Arab dan seperti biasa, yang datang dari Arab, kita cenderung ikutan percaya.
Ternyata, dalam tatacara sholat ini, diantara semua mazhab, terdapat perbedaan dari soal kecil sampai juga yang mencolok mata dan telinga. Misalnya, apakah membaca niat, diucapkan atau cukup dalam hati? Kalau niat diucapkan bagaimana lafalnya? Saat membaca surat “alfatihah”, ucapan “bismillah”nya diucapkan jelas atau cukup pelan saja atau tidak perlu dibaca? Setelah “waladh-dhollin” mengucap “amin” atau tidak? Kalau mengucap “amin”, apakah imam dulu baru ma’mum atau bersama-sama? Saat “i’tidal” (berdiri tegak) tangan bersedekap atau lurus ke bawah? Kalau sedekap, bagaimana sedekapnya? Di atas pusar, dibawah pusar atau di dada? Apakah membaca “qunut” dalam sholat subuh atau tidak? Saat “tasyahhud” telunjuk jari diluruskan, diangguk-anggukkan, diputar-putar atau sama sekali tidak menggerakkan jari telunjuk?
Begitu juga soal tatacara bersuci (berwudhu) sebagai syahnya sholat, dan di hampir semua cabang ranting ibadah dan mu’amalah, terdapat perbedaan-perbedaan di antara mazhab-mazhab. Perbedaan itu, bukan di antara mazhab syi’ah dengan aswaja (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) saja. Tapi juga perbedaan diantara mazhab-mazhab dalam aswaja sendiri, juga di berbagai kelompok aliran marja’ dalam mazhab syi’ah.
Belum lagi bila kita mencermati maraknya aliran-aliran yang dikenal takfiri (pendapat yang cenderung mengkafirkan kelompok yang berbeda dengan pemahamannya). Yang telah memicu peperangan sesama muslimin dan menelan korban jiwa dalam jumlah sangat besar. Kelompok takfiri inipun, terdapat hampir di semua kelompok, firqah muslimin apapun madzhab alirannya. Sementara Al-Qur’an secara nash, jelas, tegas, melarang perpecahan di antara orang-orang beriman (Surat Ali-Imran 3 :103, 105, Ar-Rum 30 : 32.[1]
Sangat terang benderang, ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan persatuan bahkan persaudaraan. Persatuan, persaudaraan itu, nyaris tidak pernah terwujud. Tanda-tandanyapun tak kunjung datang. Metode ru’yah, hisab, tidak mampu meramalkannya, kapan kiranya persaudaraan, persatuan itu bisa terjadi. Berbagai upaya pendekatan dilakukan sepanjang sejarah muslimin, ujungnya akan ada kesepakatan, yang kira-kira berbunyi, “biarlah kelak Allah yang akan menetapkan, bagaimana, apa yang selama hidup ini kita perselisihkan”. Tidak berbeda dengan perselisihan yang terjadi diantara kaum muslimin dengan Ahlul-Kitab.
Semua itu hanya membuktikan, telah terjadi distorsi serius dalam pemahaman ajaran “Islam”. Naif mengingkarinya.
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Surat Ali Imran 3:103
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Surat Ali Imran 3 : 105
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,
Surat Ar-Rum 30 : 32
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.