Titik Balik Sejarah Islam Modern (3); Bangkitnya Dinasti Saud II

in Negara Islam

Last updated on November 30th, 2017 04:20 pm

Turki bin Abdullah membangun dinasti Saud II dari puing-puing dinasti Saud I. Ia berhasil merebut Riyadh, dan mewariskan tahta Saud pada putranya, Faisal.”

—Ο—

 

Dinasti kerajaan Saudi jilid II dibangun pada tahun 1824, oleh salah satu cicit dari Muhammad ibn Saud yang bernama Turki. Ia memulai kekuasaannya dari puing-puing setelah pada tahun 1818 berhasil dihancurkan oleh pasukan Mesir yang dipimpin oleh Ibrahim Pasha. Bila dinasti Saud I dibangun dan dipimpin oleh putra Muhammad ibn Saud dari anak yang bernama Abdul Aziz, kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Saud bin Abdul Aziz, dan berakhir pada masa Abdullah bin Saud yang dieksekusi di Ottoman. Dinasti Saud II, mengambil jalur trah dari putra Muhammad ibn Saud yang lain, bernama Abdullah. Dan Turki adalah putra Abdullah.[1]

Kisah dimulai ketika Turki bin Abdullah berhasil menaklukkan Riyadh pada 1824, bekas ibu kota dinasti Saud I dari tentara Mesir. Ia kemudian menjadikan Riyadh kembali sebagai ibu kota kerajaannya. Secara strategis, keputusan Turki untuk memulai pembangunan dinastinya dari tempat ini memang keputusan yang tepat, mengingat pertama, tempat ini adalah tempat dimana dimulainya cita-cita besar kakeknya dengan Muḥammad ibn’Abd al-Wahhāb. Kedua, tempat ini adalah ditempat tanah kelahirannya dan nenak moyangnya. Sehingga ketiga, di tempat ini basis dukungan tradisional ajaran wahabi masih banyak tersisa, dan akan mudah diraih untuk memulai sebuah imperium.

Turki sangat memahami posisi politiknya yang masih lemah di kawasan. Di barat, terdapat Mesir yang demikian cepat berkembang menjadi kekuatan besar di bahwa pimpinan Muhammad Ali  Pasha. Kekuatannya bahkan sudah bisa menantang Sultan Ottoman pada masa itu. Menilai konstalasi ini, Turki memutuskan untuk menjalin hubungan persahabatan dengan gubernur Ottoman di Irak. Hubungan yang baik ini menjadikannya memperoleh kedaulatan nominal darinya untuk menguasai Riyadh dan sekitarnya. Dengan modal ini, ia kemudian menaklukan Al-Hasa, tempat yang pertama menentang dakwah kakeknya Muhammad Ibn Wahab, sehingga terusir dari kota kelahirannya. Setelah menguasai tempat ini, Turki mulai membangun satuan ketentaraan yang lebih besar, sehingga ia memapu menaklukkan suku-suku nomaden lainnya di sekitar wilayah kekuasaanya.[2]

Pada decade yang sama, antara 1820-1830, perebutan pengaruh antara Mesir dengan Ottoman semakin memuncak.[3] Di tengah pertarungan para gajah ini, Turki mengerti cara memposisikan diri. Dengan pelan tapi pasti Turki membangun dasar-dasar imperiumnya. Meski tidak seagresif para pendahulunya, namun Turki tetap diilhami oleh nilai dasar perjuangan penduhulunya, untuk membersihkan ajaran agama Islam dari penyimpangan dan kekufuran. Dengan nilai dasar ini, Turki berhasil mengikat kembali ideologi perjuangan klan Saud II yang sempat pudar bersama hancurnya dinasti Saud I. Sastra, perdagangan dan pertanian dinilai berkembang pada masa pemerintahannya, meski sempat ada beberapa kerugian akibat wabah kolera.

Pada tahun 1834, Turki dibunuh oleh sepupunya sendiri dengan alasan kekuasaan. Namun ini tidak berlangsung lama. Faisal, putra Turki, kemudian kembali menggulingkan kekuatan yang mengkudeta ayahnya, dan mengeksekusinya. Faisal adalah salah satu tawanan yang diarak ke Mesir pada waktu Ibrahim Pasha menaklukan dinasti Saud I. Setelah Abdullah bin Saud di eskekusi di Istambul, maka sebagian dari anggota klan Saud ada dibiarkan hidup dan hanya ditahan di Mesir, salah satunya adalah Faisal.

Namun pada tahun 1928, Faisal berhasil melarikan diri dari tahanan Mesir, dan bergabung dengan gerakan ayahnya untuk membangun kembali dinasti Saud. Ialah yang begitu kuat memegang tradisi-tradisi wahabisme, dan menerapkannya dalam peraturan-peraturan kenegaraan Saud II. Pada tahun 1834, setelah kematian Turki, ia naik tahta menggantikan ayahnya. Tidak hanya keras dalam menerapkan peraturan syariat yang konservatif, iapun keras kepala terhadap lawan-lawan politik. Dan sikap kerasnya ini berujung petaka bagi imperium yang baru seumur jagung ini.

Bermula dari penolakannya untuk membayar upeti kepada Mesir. Atas sikapnya ini, pada tahun 1837, sebuah ekspedisi Mesir memasuki Riyadh. Faisal ditangkap tahun berikutnya dan dibawa kembali ke Kairo sebagai tahanan. Untuk menggantikannya, Mesir menciptakan pemerintahan boneka di Riyadh, dengan memasang Khalid, saudara Abdullah bin Saud sebagai penguasa di sana.[4]

Khalid bin Saud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud, sebagaimana Faisal, ia juga merupakan bangsawan dinasti Saud I yang ditahan di Mesir. Hanya bedanya Faisal memilih untuk memberontak, sedang Khalid memilih tunduk pada Mesir. Sebagai perpanjangan tangan Mesir, Khalid dianggap bersikap lemah, dan mulai kehilangan identitasnya sebagai pewaris ajaran-ajaran Wahabi. Dalam hal syariat, Khalid terlalu moderat dan membiarkan sejumlah penyimpangan terjadi dalam agama. Hal ini kemudian menuai protes dari banyak anggota keluarga klan Saud. Dan protes ini berujung pada pemberontakan.[5]

 

Bagan silsilah penguasan di kerajaan Saud. Sumber gambar: https://id.wikipedia.org

 

Pada tahun 1841, Abdullah bin Thunayan memimpin pemberontakan terhadap pemerintahan boneka Mesir ini.[6] Ia berhasil menduduki Riyadh dan mengusir tentara Mesir dari tempat itu. Khalid yang pada saat pemberontakan terjadi sedang berada di Al Hasa, berhasil melarikan diri dengan kapal ke Jeddah. Dengan demikian, Abdullah naik tahta dan sempat beberapa tahun berkuasa di Riyadh. Sampai pada tahun 1843, Faisal muncul di Riyadh dan menagih hak kekuasaan atas dinasti Saud. Atas keinginan Faisal ini, Abdullah bin Thunayan menolak, dan Faisal pun membunuhnya.[7]

Dengan kata lain, kekuasaan Faisal bin Turki sempat terhenti selama 5 tahun, dan berlanjut kembali sejak 1843 hingga tahun 1865, atau sampai saat kematiannya. Setelah Faisal kembali ke tampuk kekuasaan dinasti Saud II, hampir tidak ada gejolak yang berarti. Atas nama pemurnian agama yang diilhami oleh ajaran kakeknya, Faisal terus memperluas areal kekuasaan dan pengaruhnya sampai ke Bahrain, Oman dan Hadramaut. Dan ekspansi ini hanya mampu di halau oleh kekuatan Inggris di pantai barat Teluk. (AL)

Bersambung…

Titik Balik Sejarah Islam Modern (4); Runtuhnya Dinasti Saud II

Sebelumnya:

Titik Balik Sejarah Islam Modern (2); Runtuhnya Dinasti Saud I

Catatan kaki:

[1] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:House_of_Saud_rulers.svg, diakses 20 November 2017

[2] Lihat, https://www.britannica.com/place/Saudi-Arabia/Daily-life-and-social-customs, diakses 12 November 2017

[3] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 225

[4] Lihat, https://www.britannica.com/place/Saudi-Arabia/Daily-life-and-social-customs, Op Cit

[5] Ibid

[6] Nama lengkapnya Abdullah bin Thunayan bin Ibrahim bin Thunayan bin Saud. Bila melihat silsilahnya, hubungan kekerabatan Abdullah dengan Faisal bertemu pada sosok Saud, ayah Muhammad Bin Saud yang merupakan pendiri dinasti Saud I. Saud memiliki empat orang anak, dua diantaranya Muhammad dan Thuhayan. Muhammad kemudian mendirikan Dinasti Saud I melalui anaknya Abdul Aziz, yang kemudian berlanjut ke dinasti Saud II melalui anaknya Abdullah dan cucunya Turki. Adapun Thunayan memiliki anak Ibrahim, kemudian Thunayan yang memiliki anak Abdullah. Selengkapnya, lihat bagan silsilah kerajaan Saud.

[7] Lihat, https://www.psaiahf.com/en/about-festival/visitors/history-of-the-kingdom-of-saudi-arabia, diakses 12 November 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*