Titik Balik Sejarah Islam Modern (4); Runtuhnya Dinasti Saud II

in Negara Islam

Last updated on July 5th, 2018 06:54 am

Berbeda dengan Dinasti Saud I yang hancur akibat serangan dari luar. Dinasti Saud II harus mengalami perang saudara berkepanjangan. Tahta kerajaan digilir melalui serangkai kudeta antar saudara, hingga akhirnya lemah dan hancur untuk kedua kalinya.”

—Ο—

 

Dinasti Saud II hanya menikmati masa pertumbuhan pada era pemerintahan raja Faisal bin Turki. Suku-suku di sekitar kekuasaannya tunduk dan membayar pajak. Penulisan puisi dan sejarah berkembang baik, dan keadilan ditegakkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Riyadh. Di pusat sendiri, kekuasaan mutlak berada di tangan Faisal. Ia hanya menerapkan sistem aparatur yang sederhana, yang hanya melibatkan beberapa orang, terdiri dari anggota kerajaan dan keturunan Muḥammad ibn’Abd al-Wahhāb.[1]

Sejak Faisal memerintah kembali pada tahun 1843, ia banyak mengubah tingkah lakunya. Faisal berhasil melarikan diri dari Mesir akibat gonjang ganjing kekuasaan Muhammad Ali di sana. Sangat mungkin ia melihat lebih jelas dinamika politik kawasan masa itu dari luar istananya. Saat kembali, Faisal mulai menunjukkan itikad baiknya pada kekuatan-kekuatan yang ada disekitarnya, khususnya pada Ottoman, yang pada saat itu dinilai masih sebagai imperium terkuat di kawasan. Bila pada masa pemerintahannya yang pertama ia menolak membayar upeti, pada masa pemerintahannya yang kedua, ia justru datang dengan suka rela membayar upeti ke Ottoman. Tidak mengherankan kemudian, jalan pemerintahannya yang kedua berlangsung mulus tanpa gangguan. Sehingga berbagai ekspedisi militernya pun tidak memiliki  halangan yang berarti. Pada saat ia wafat tahun 1865, kekuatan dinasti Saud II sudah menjadi salah satu faktor yang diperhitungkan di kawasan.

Setelah Faisal wafat, situasi mulai berubah di kerajaan Saud II. Anak-anaknya yang berasal dari istri-istri yang berbeda larut dalam perang saudara yang tak berkesudahan. Perang ini tidak hanya menyeret anggota keluarga klan Saud lainnya, tapi juga menyeret berbagai kekuatan lain di kawasan masa itu. Tersebut setidaknya tiga orang putra Faisal yang secara bergantian memperebutkan tahta kerajaan, Abdullah, Saud II, dan Abdurrahman.[2]

Pada tahap awal, setelah kematian Faisal, anaknya yang bernama Abdullah naik tahta. Tapi penobatannya ini justru di protes oleh adiknya, Saud II yang langsung melancarkan pemberontakan terhadap kekuasaan kakaknya. Untuk memadamkan pemberontakan ini, Abdullah meminta bantuan dari Midhat Pasya, Gubernur Usmaniyah di Baghdad. Permintaan ini dipenuhi dan invasi dari Bagdad terjadi pada 1870, walaupun hanya berhasil menghentikan perang saudara sebentar. Namun Saud II tidak patah arang, ia kemudian menggalang kekuatan suku-suku di sekitar kawasan yang tidak berada di bawah kendali kakaknya untuk melakukan perlawanan kembali. Pada tahun 1871, kekuasaan Abdullah berhasil ditaklukkan oleh Saud II dalam pertempuran Judah. Dengan demikian Saud II naik tahta menggantikan kakaknya.

Sedang Abdullah melarikan diri dan memohon banding pada Ottoman atas hak kerajaannya. Namun hal ini justru memperumit keadaan. Alih-alih membantu, Ottoman justru memanfaatkan Abdullah untuk menguasai Al Hasa. Saud II sempat memerintah selama 4 tahun sampai ia wafat pada 1875. Tapi gonjang-ganjing kekuasaanya tidak pernah berhenti sekalipun. Setelah kematiannya, situasi politik di internal kerajaan Saud terus memanas. Perebutan tahta kembali terjadi antara Abdullah dengan adiknya yang bernama Abdurrahman, dan keponakan-keponakannya. Tapi yang paling berbahaya dari semuanya adalah bintang baru dalam peta politik kawasan, Muḥammad ibn’Abd Allāh al-Rashīd.

Klan Rashid, pada mulanya merupakan agen keluarga Saud. Oleh dinasti Saud mereka diperintahkan untuk membawahi wilayah Ha’il pada tahun 1836. Tapi seiring berjalannya waktu, di tengah gejolak kawasan yang tidak menentu dan instabilitas politik yang terjadi di dalam tubuh keluarga Saud, mereka justru berkembang menjadi kekuatan yang mandiri. Secara intensif mereka menjalin hubungan yang baik dengan Ottoman, dan mendapat perlindungan serta kepercayaan dari mereka. Pada saat Faisal bin Turki wafat, klan Rashid justru naik pamornya dan menjadi salah satu kekuatan yang disegani di kawasan.[3]

Areal kekuasaan Dinasti Rashid. Sumber gambar: https://en.wikipedia.org

Pada saat Abdullah mengalami konflik dengan adiknya, Saud II, ia memohon bantuan pada Ottoman, yang kemudian mengutus Muhammad ibn Rashid untuk memenuhi permohonan Abdullah. Awalnya Muhammad ibn Rashid berusaha menjaga jarak dari konflik internal keluarga Saud. Namun sejak diperintahkan oleh Ottoman, dan atas permohonan Abdullah, maka ia memutuskan untuk masuk dalam konflik keluarga tersebut.[4]

Tapi sejarah kemudian menuliskan, bahwa Muhammad ibn Rashid justru berbalik mengkhianati kepercayaan ini. Setelah berhasil menundukkan kekuatan dinasti Saud, ia kemudian menguasai Riyadh dan menyandera Abdullah di Ha’il, serta memaksanya tunduk pada klan Rashid. Disisi lain, Muhammad ibn Rashid juga menyatakan merdeka dari kekuasaan Ottoman. Atas kondisi ini, Abdullah akhirnya menyetujui keinginan Muhammad ibn Rashid dan menjadi gubernur dinasti Rashid di Riyadh pada 1889.[5]

Pada tahun yang sama Abdullah wafat dengan membawa segudang kekecewaan dan jejak kekalahan. Sisa kekuatan dinasti Saud II kemudian berpindah tangan ke adiknya, Abdurrahman. Ia menggantikan kedudukan kakaknya sebagai gubernur dinasti Rashid di Riyadh. Tugas berat menantinya. Untuk membangun kembali klan Saud, ia juga harus terlebih dahulu melepaskan diri dari belenggu kekuasaan dinasti Rashid. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, ia secara perlahan melakukan perlawanan kepada dinasti Rashid, dan menyatakan memisahkan diri dari kekuasaan Rashid. Atas pembangkangan ini, Muhammad bin Rashid tidak mentolerir. Ia mengerahkan pasukan untuk merebut Riyadh.[6]

Pada tahun 1891 pertempuran Al-Mulayah pecah antara sisa kekuatan dinasti Saud II dengan kekuatan dinasti Rashid yang sedang berada di puncak supremasinya. Pertempuran ini bisa dikatakan sebagai pertempuran penghabisan. Hampir seluruh sisa kekuatan dinasti Saud II dikerahkan untuk mempertahankan Riyadh. Dan pada saat mereka mengalami kekalahan, maka kekuatan Dinasti Saud II mengalami kehancuran sangat parah. Berbeda dengan hancurnya dinasti Saud I yang hancur akibat serangan dari luar, dinasti Saud II mengalami kehancuran diakibatkan oleh kekacauan internal dan perang saudara.

Setelah mengalami kekalahan dari dinasti Rashid, Abdurrahman melarikan diri bersama sebagain kecil keluarganya yang tersisa ke Bahrain untuk memohon perlindungan. Hingga pada akhirnya di tahun 1893, ia memilih menetap di Kuwait bersama keluarganya. Di tempat ini ia berada dibawah perlindungan klan Al-Sabah, penguasa Kuwait waktu itu.[7] Kelak dari tempat inilah putra Abdurrahman yang bernama Abdul Aziz al-Saud memulai gerakan perlawanan pada 1901. Bersama 40 orang pilihannya, dia berhasil merebut kembali Riyadh, mengalahkan dinasti Rashid, menguasai Mekkah, Madinah dan hampir seluruh semenanjung Arabia. Wilayah kekuasaannya inilah yang kini kita kenal dengan Saudi Arabia. (AL)

Bersambung…

Titik Balik Sejarah Islam Modern (5): Berdirinya Negara Arab Saudi

Sebelumnya:

Titik Balik Sejarah Islam Modern (3); Bangkitnya Dinasti Saud II

 

Catatan kaki:

[1] Lihat, https://www.britannica.com/place/Saudi-Arabia/Death-of-Faysal, diakses 23 November 2017

[2] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:House_of_Saud_rulers.svg, diakses 20 November 2017

[3] Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Rashidi_dynasty#/media/File:Alrasheed_hail_english.png, diakses 23 November 2017

[4] Lihat, https://www.britannica.com/place/Saudi-Arabia/Death-of-Faysal, Op Cit

[5] ibid

[6] Lihat, https://www.psaiahf.com/en/about-festival/visitors/history-of-the-kingdom-of-saudi-arabia, diakses 23 November 2017

[7] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*