Wacana Martabat Tujuh dalam Kesusastraan Jawa-Islam (2)

in Islam Nusantara

Last updated on February 3rd, 2018 05:27 am

 

Oleh: Khairul Imam

 

“Kesucian cahaya Allah termanifestasi dalam Nur Muhammad. Cahaya di atas cahaya. Cahaya-Nya terpancar melalui cahaya kekasihnya. Karena itulah, bahkan Adam as. pun takjub dan “cemburu”, wujud insaniah Muhammad belum tercipta, sementara namanya telah terukir bersanding dengan Asma Allah Yang Paripurna. Ia menjadi pelengkap syahadat. Tanpa menyebut namanya, persaksian makhluk tak akan ada artinya. Persaksian yang menjadi ambang batas antara kekafiran dan kepasrahan diri kepada Yang Esa; Allah swt.”

—Ο—

 

Wacana Martabat Tujuh yang digaungkan Ibnu Fadhlillah al-Burhanfuri (w. 1620) pada 1590 ternyata menimbulkan salah paham dan polemik, terutama berkaitan dengan doktrin wahdatul wujud Ibnu Arabi di Aceh. Hal ini mendorong beberapa Jama’at al-Jawiyyin (komunitas Nusantara yang ada di Mekah) untuk mengadukan polemik tersebut kepada guru mereka di Mekah, yaitu Ibrahim al-Kurani guna menuliskan penjelasan atas kitab at-Tuhfah. Maka, lahirlah syarh atas kitab tersebut yang berjudul Ithaf adz-Dzaki bi syar hal-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi Shalla Allahu ‘alaihi wa sallam. Dari kitab yang disebut terakhir inilah wacana Martabat Tujuh semakin gamblang dan semakin meluas hingga ke tanah Jawa.

Jauh sebelum pengaruh konsepsi Martabat Tujuh merebak di Nusantara, para guru di tanah Jawa telah banyak memperkenalkan konsep tersebut, meski tidak secara spesifik menyebutkan ke tujuh martabat. Mereka telah memperkenalkan konsep-konsep Ahadiyah, misalnya. Atau alam Wahdah, atau gagasan tentang Nur Muhammad. Konsep-konsep ini bisa ditemukan dalam beberapa karya suluk, semisal Suluk Linglung Sunan Kalijaga, yang kemudian sedikit banyak mewarnai lahirnya Serat Wirid Hidayat Djati karya R. Ng. Ronggowarsito; Serat Siti Jenar, Suluk Sujinah, dan lain-lain.

Dalam martabat tujuh dikatakan, sebelum Allah menciptakan Nur Muhammad, di mana hal tersebut merupakan muara penciptaan segala sesuatu, Allah berada dalam Alam Ahadiyah, yaitu alam ke-Esaan Dzat yang wujudnya bernama Huwa. Tiada alam baginya dan masih kosong. Dalam alam ini, Allah belum memiliki kehendak untuk menjadikan alam semesta. Alam ini dinamakan juga alam lahut, wujud muhadh, Dzat Allah; belum ada sifat, af’al, dan Dzat Allah yang dalam keadaan mutlak ini belum terjangkau oleh akal manusia, karenanya dinamakan la ta’ayyun. Maka, simbolisme untuk menandakan alam Ahadiyah ini adalah “Laa” sebagai ilustrasi bahwa pada saat itu belum ada sesuatu pun yang wujud kecuali Dzat Allah.

Kemudian, martabat kedua disebut dengan Alam Wahdah. Martabat ini dinamakan juga martabat ta’ayyun awwal, yang mana Allah telah menciptakan segala sesuatu sesuai kehendaknya, termasuk alam semesta, tetapi masih berupa nuktah (titik gaib). Dikatakan bahwa Alam Wahdah adalah alam sifat Allah yang berkaitan langsung dengan Dzat Allah. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai sifat Allah yang dinamakan jauhar awwal, cahaya yang pertama kali ada. Jauhar awwal ini juga dinamakan juga dengan Hakikat Muhammadiyyah, disebut juga dengan hakikat segala hakikat, dan merupakan turunan (tajalli) pertama dari wujud Allah pada martabat yang tak terjangkau oleh akal pikiran manusia.[1]

Pengertian ini ternyata selaras dengan nasihat Khidhir dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang tertuang dalam bait 1-5 pada pupuh Kinanthi.[2]

/1/ Nabi Khidir rum, wor perlambang esmu neki, umpamane wong rerasan, loting kang adi pantesing, kang loting bumbu sastnya, wor rahsa karasa suci.

/2/ Nurbuat kang rahsa iku, sejatine rahsa iki, duk ana ing sifat jamal, Johar awal yen wus mijil, Johar akhir wus dewasa, kang awal rahsa sejati.

/3/ Kang Johar akhir puniku, sawujud sak pati urip, johar duk sawujud tunggal, rahsa tunggal urip tunggil, tunggal lawan johar awal, kang johar akhir puniki.

/4/ Sawujud sagesang lampus, sapolahe johar akhir, salamine anarima, kang johar batin puniki, kang pinuji kang sinembah hya iku Allah sejati.

/5/ Nora nana roro iku, sira iku nuqod ghaib, nuqod ghaib duk ing kuna, nora sarta nora mati, temene nuqod punika, ghoib iku jeneng reki.

Dalam pupuh di atas secara lebih tegas membabarkan masalah penciptaan segala sesuatu bermula dari rahasia Nubuat, cahaya kenabian yang termasuk urutan kelima dari cahaya Ilahi atau nur Muhammad. Sejatinya, Nubuat itu menjadi rahasia ketika masih berada di jauhar awwal atau johar awal. Semuanya bermula dari satu kesatuan dalam hidup dan mati, dan bersikap pasrah terhadap ketentuan Allah yang meng-ada-kan manusia. Dia-lah yang disebut sebagai johar batin yang patut disembah dan dipuji. Tidak ada sama sekali rasa sakit karena sebenarnya manusia saat itu baru berada dalam alam Wahdah atau pada tingkat penampakan awal (ta’ayun awwal). Di alam wahdah ini, Allah mulai mentajallikan diri-Nya dalam bentuk noktah Muthlaq, atau dalam suluk ini disebut sebagai “nuqad gaib”, belum nyata dalam alam realitas sehingga dikatakan tidak hidup dan tidak pula mati.

Pada tahap berikutnya, apa yang disebut sebagai noktah atau nuqad ini telah diciptakan dalam alam konseptual. Dengan kata lain, sudah hidup dan dicipta menjadi Alip. Inilah yang disebut dalam martabat ketiga sebagai martabat Wahidiyah. Pada martabat inilah diciptakan hakikat Adam dalam alam sifat, bukan alam dzat, dan karenanya yang pertama kali tampak adalah Asma Allah. Martabat ini juga dinamakan martabat Nur Muhammad, sebagai penampakan kedua (ta’ayyun ats-sani); martabat a’yan tsabitah, yang mana semua telah nyata dan tetap dalam ilmu Tuhan. Dengan demikian jelaslah bahwa, Tuhan dan alam merupakan dua sisi atau dua wajah dari satu hakikat; dari segi lahir disebut alam, dan dari segi batin atau hakikat disebut Tuhan (Allah).

Selanjutnya, martabat keempat adalah alam arwah, atau  alam segala nyawa. Dari cahaya Allah atau Nurullah yang merupakan cahaya suci ini dijadikan sumber awal kehidupan. Semula semasa hidup disebut dengan johar jati, dan ketika telah hidup maka namanya pun menjadi syahadat jati, yang semuanya berawal dari Rasulullah sebagai penampakan rasa sejati. Pada tingkatan syahadat jati inilah manusia telah merasakan hidup dan kehidupan dan disebut juga dengan darah hidup. Pada tingkatan ini, ruh sudah tercipta, meski masih dalam bentuk nur (cahaya). Ruh dalam tingkatan ini disebut juga sebagai ruh idhafi, atau mengikuti leksikon Jawa dinamakan ruh ilapi. Ruh idhafi atau ilapi ini adalah sasandhaning nyawa (sandaran nyawa), yaitu tempat di mana Ruh/ Nyawa/ Atma mulai kehilangan sifat aslinya karena sudah tertirai oleh Kijab. Kijab adalah tabir penghalang yang menyebabkan Ruh sudah mulai tertutupi.[3]

Perihal di atas menemukan muaranya dalam pembahasan Syekh Abdul Qadir al-Jilani berkenaan dengan melihat Allah Swt. Dalam hal ini ia mengutip sebuah hadis Nabi saw. “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku.[4] Artinya, beliau mengenal Allah dengan Cahaya Allah sendiri. Demikian pula hakikat manusia mendatangi cahaya itu seperti difirmankan Allah swt. dalam sebuah hadis Qudsi, “Manusia adalah rahasia-Ku, dan Aku adalah rahasianya.” Juga sabdanya, “Aku dari Allah, dan kaum mukmin dariku.” Atau, yang lebih tegas lagi adalah sabda Nabi saw. yang mengatakan,

Aku menciptakan Muhammad pertama kali dari Cahaya Wajah-Ku.[5]

Kesucian cahaya Allah termanifestasi dalam Nur Muhammad. Cahaya di atas cahaya. Cahaya-Nya terpancar melalui cahaya kekasihnya. Karena itulah, bahkan Adam as. pun takjub dan “cemburu”, wujud insaniah Muhammad belum tercipta, sementara namanya telah terukir bersanding dengan Asma Allah Yang Paripurna. Ia menjadi pelengkap syahadat. Tanpa menyebut namanya, persaksian makhluk tak akan ada artinya. Persaksian yang menjadi ambang batas antara kekafiran dan kepasrahan diri kepada Yang Esa; Allah swt.

Bersambung ke:

Wacana Martabat Tujuh dalam Kesusastraan Jawa-Islam (3)

Sebelumnya:

Wacana Martabat Tujuh dalam Kesusasteraan Jawa-Islam (1)

 

Catatan kaki: 

[1] Sofyan Yusuf, Pembedah Qalbu dan Penyejuk Jiwa; Pengajian Tubuh (Jakarta: Pondok Bimbingan Rohani Lathifatul Qamariah, 2013)., hlm. 60

[2] Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga, terj. Khafid Kasri (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 28-29

[3] Damar Shashangka, Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati (Jakarta Selatan: Dolphin, 2014) hlm. 99

[4] Ada yang menyatakan bahwa kalimat ini bukan hadis Rasulullah, melainkan ungkapan Umar bin Khattab ra.

[5] Ditemukan hadis lain tapi tidak dengan lafal seperti ini. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah menciptakan aku dari cahaya-Nya.” Lebih jauh, lihat Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar wa Madzhar al-Anwar, (Kairo: al-Mathba’ah al-Bahiyyah al-Mishriyyah, tt.), hlm. 6

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*