Wacana Martabat Tujuh dalam Kesusastraan Jawa-Islam (3)

in Islam Nusantara

Last updated on February 11th, 2018 05:41 am

 

Oleh: Khairul Imam

 

Tuhan, misteri yang tak dapat diterjang mata telanjang. Namun, Dia begitu hadir dalam kesadaran orang-orang meyakininya. Tak dapat dilihat, diraba, diterka akal manusia. Dia berada dalam lorong gelap yang tak tembus mata, tetapi begitu dekat (inni qarib), bahkan lebih dekat dari urat nadi kita. Sosok paling setia yang tak pernah meninggalkan hamba-Nya. Seberapa pun jauhnya hamba tersesat, Dia selalu memanggil menyebarkan kasih-Nya untuk makhluk-Nya.”

—Ο—

 

Nuansa mistik dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga tampak begitu mendominasi. Suluk Linglung merupakan tulisan atau gubahan Iman Anom yang didasarkan dari Kitab Duryat karya Sunan Kalijaga. Suluk ini merupakan pembabaran perjalanan spiritual Sang Sunan yang disampaikan secara khusus kepada para muridnya. Sementara penyampaian suluk ini dalam dakwahnya secara terbuka untuk masyarakat luas tertuang dalam lakon Serat Dewa Ruci. Dewa Ruci dalam lakon tersebut tidak lain adalah Nabi Khidhir, yang kelak akan mereka jumpai dalam perjalanan ruhani kepada Allah Swt.[1]

Setelah meniupkan Ruh idhafi maka Allah mulai mewujudkannya dalam alam segala rupa, berupa penciptaan jasmani alam semesta. Tingkatan ini adalah martabat kelima, yaitu alam mitsl. Tempat nyata Wujud Allah yang bernama Mushawwir, artinya yang membentuk segala rupa. Martabat ini juga dinamakan Martabat Ta’ayun Rabi’u, atau Nyata Yang keempat. Alam mitsl atau alam segala rupa, yang zahir daripadanya dan yang memerintahkannya wujud yang bernama Mushawwir, dalam arti yang membentuk atau menjadikan. Dalam Serat Wirid Hidayat Djati disebutkan sebagai sesotya aran darah, yaitu berlian yang berwarna-warni yang mengalir ke seluruh tubuh manusia. Berlian ini tidak lain adalah darah hidup.[2]

Maka dikatakan dalam Suluk Linglung, Khidhir menyatakan bahwa syahdat jati adalah darah tempat segala dzat  atau makhluk mencerap rasa yang sebenarnya tentang hidup, dan kehidupan sama dengan kemenyatuan Jibril-Muhammad-Allah. Ketiganya, atau yang keempat adalah darah hidup, layaknya orang mati. Apakah orang yang sudah mati ada darahnya? Darah itu hilang bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau ruh hilang, dan kembali kepada Alip tersebut. Sukma yang hilang dan kembali kepada Alip itu disebut ruh idhafi.

Selain menghidupi tubuh dan menjadi pemompa jantung sehingga tercipta gerak badan, darah juga membawa budi yang menjadi titik kesadaran manusia. Darah yang membawa budi disebut sebagai pepaesaning Dat (hiasan dzat), disebut juga dengan wiwaraning atma (lubang melingkar dari Ruh). Lubang adalah celah, dan di dalam darah manusia terdapat lubang atau celah ruh. Maka, jika darah menghilang, maka ruh akan keluar dari tubuh fisik manusia.[3]

Kemudian, martabat keenam adalah alam ajsam. Pada tingkatan ini, tubuh sudah mulai terbentuk. Alam ini dikatakan sebagai ta’ayun khamis sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dari ta’ayun rabi’u,. Alam ajsam adalah alam segala tubuh lahiriah, atau disebut juga dengan martabat insan kamil, di mana manusia sudah mulai disempurnakan berupa tubuh jasmani dan tubuh rohani, setelah sembilan lamanya berada dalam rahim ibunya. Dan, ketika telah lahir maka manusia memasuki alam insan.

Alam insan merupakan tingkatan terakhir atau ketujuh dalam martabat tujuh. Ia disebut juga dengan ‘alam al-jam’u, yaitu menghimpun Dzat, asma’ af’al, dan sifat Allah Swt. Alam ini dianggap sebagai tempat paripurna wujud Allah. Pada tingkatan terakhir ini tercipta dhindhing jalal yang disebut Kijab, yaitu selubung yang telah menutupi tubuh manusia. Dhindhing Jalal atau jasad ini meski satu namun memiliki dua macam perwujudan; Jasad Turab dan Jasad Latip.[4]

Hal ini senada dengan ungkapan dalam Suluk Linglung  bahwa Jisim Latip ialah Jisim Angling yang sudah mewujud semenjak dahulu kala yaitu Alip yang disebut angling atau Adam. Saat itu, manusia baru dalam tahap “konsep” penciptaan di alam malakut; tanpa mata, tidak berkata-kata, tidak mendengar, tanpa perilaku, dan tidak melihat. Kemudian diturunkan ke alam Adam, dan menjelma Nur Muhammad di alam arwah. Maka menjadi ruh idhafi yang harus bersandar pada yang lain, dan ini adalah bagian dari Dzat Allah. Lalu diturunkan lagi alam ajsam, dan ia dibungkus dengan jisim latip (ruhani) dan turab (jasmani). Kemudian, manusia berada (diproses) di dalam rahim ibu, hingga menjadi sempurna (Insan Kamil) dalam alam insan. Di alam inilah disatukan ke dalam rahasia Dzat Allah Swt. Karena di dalam badan Insan (tubuh yang kasar) yang bisa dilihat dan dapat dirasakan dengan sentuhan terjalin Tujuh Martabat ilahiah; Ahadiyah (Martabat Ketuhanan) sampai martabat alam Insan tempat berkumpulnya Dzat Allah, Sifat Allah, Asma’ Allah, Af’al Allah.

Inilah beberapa konsep Martabat Tujuh yang terselip dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Apa pun yang tertuang di dalamnya tidak lain merupakan bagian dari ajaran Sunan Bonang. Meski tampak lebih idealis, ajaran-ajaran tasawuf Sunan Bonang menjelma doktrin mistiko-filosofis di tangan murid terkasih, Sunan Kalijaga. Seperti pembabaran dalam Suluk Linglung di mana ajaran mistik Ibnu Arabi sangat kental mewarnai kajian ini, misalnya kisah pertemuan dengan Nabi Khidhir di tengah samudera.

Dalam Imajinasi Kreatif: Sufisme Ibn ‘Arabi, Henry Corbin mengetengahkan satu pembahasan tentang menjadi murid Khidhir. Berdasarkan pengakuan Ibn ‘Arabi, ia merupakan salah seorang yang paling sering dijumpai oleh sosok Khidhir, bahkan mengaku sempat diberikan “Jubah kehormatan” oleh Khidhir. Selain itu, fakta dijadikannya Khidhir sebagai seorang guru tampaknya telah menanamkan pada diri sang murid—sebagai individu—suatu dimensi transenden, juga dimensi trans-historis. Maka, yang masih harus dipastikan adalah posisi Khidhir dalam tatanan jenjang teofanik (Penampakan Tuhan). Lantas, siapakah Khidhir, yang dipandang sebagai guru spiritual gaib oleh seorang mistik yang tidak tunduk kepada ajaran kolektivitas dan guru duniawi yang mana pun. Mungkinkah Khidhir yang berjumlah satu menghadapi kemajemukan murid-murid dalam satu relasi yang sulit dipertemukan dengan perasaan teguh antara masing-masing orang dengan yang lainnya.[5]

Selain dalam Suluk Linglung, wacana Martabat Tujuh juga merembes dalam Serat Wirid Hidayat Jati karya R.Ng. Ronggowarsito. Sebagaimana dikutip oleh Simuh, secara gamblang konsep pertama, yaitu Alam Ahadiyah tertuang dalam ungkapan:[6]

“Sejatine ora ana apa-apa, awit duk taksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji kang ana dhingin iku Ingsun, ora ana Pangeran ananging Ingsung, sejatining Dzat kang Amaha Suci, anglimputi ing siaptining-Sun, anartani ing asmaning-Sun, amratandhani ing apngal-Ingsun.” (Sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena sewaktu masih dalam keadaan kosong, belum ada sesuatu pun, yang ada terlebih dahulu adalah ‘Aku’, sesungguhnya Zat Yang Mahasuci meliputi sifat-Ku, menyertai nama-Ku, menandai perbuatan-Ku)

Dalam karyanya yang lain yang berjudul Suluk Sukma Lelana juga dibabarkan tentang konsep Tuhan yang tak dapat diketahui oleh akal, indra, maupun dugaan.

“Angandika Sang Tenayang Resi/ inggih ngong wawartos/ sorah Kitab Hidayat Jatine/ mila Pengeran tan kantha warna/ tetapira  yakin/ kang waskitheng kalbu//

Sejatine ingkang Maha Suci// Dzat mtlak kawartos/ ya ing kadim jali abadine /jumenengnya jroningnukat gaib/ sumereh ing ngurip/ uripnya punika//

Mila urip kalawan Dzat nunggil/ witira kacriyos/ pinasrahan pangawasa kabeh/ anguripi saendraning jisim/ wijangira mawi/ ing duksinanipun

Putra pendeta (Sukma Lelana) itu menjawab, Ya (Sang putri Dewi Perjiwati) akan saya terangkan ajaran kitab Hidayat Jati, yang menerangkan bahwa Tuhan itu tak berupa (tak berwujud) dan tak berwarna, namun bagi orang berhati bijaksana, pasti yakin adanya. Sesungguhnya Zat Yang Mahasuci adalah Maha Mutlak, bersifat qadim (tak berawal), azali, abadi. Bersemayam dalam nukat gaib (kalbu manusia), terpadu dengan sifat hidup kita. Oleh karena itu, hidup dan Zat itu menunggal. Oleh karena itu, hidup telah diserahi kekuasaan untuk menghidupi seluruh tubuh.

Kita dapat memastikan arah uraian di atas merupakan gubahan dari Ibnu Arabi yang berpaham panteis-monis. Menurut Ibnu Arabi, dalam keadaan mutlak Tuhan merupakan lautan yang dalam dan gelap gulita, atau laksana Perbendaharaan Yang Tersembunyi (Kanzan Makhfiyyan) yang tak bisa dikenal. Atau adaptasi dari Insan Kamil-nya Al-Jili yang dalam Wirid Hidayat Jati sempat disebutkan beberapa kali.[7]

Tuhan, misteri yang tak dapat diterjang mata telanjang. Namun, Dia begitu hadir dalam kesadaran orang-orang meyakininya. Tak dapat dilihat, diraba, diterka akal manusia. Dia berada dalam lorong gelap yang tak tembus mata, tetapi begitu dekat (inni qarib), bahkan lebih dekat dari urat nadi kita. Sosok paling setia yang tak pernah meninggalkan hamba-Nya. Seberapa pun jauhnya hamba tersesat, Dia selalu memanggil menyebarkan kasih sayang untuk makhluk-Nya.

Bersambung…

Wacana Martabat Tujuh dalam Kesusateraan Jawa-Islam (4)

Sebelumnya:

Wacana Martabat Tujuh dalam Kesusastraan Jawa-Islam (2)

  Catatan kaki: 

[1] Lihat Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Bandung: IIMAN dan PBNU, 2014), hlm. 224

[2] Damar Shashangka, Induk Ilmu Kejawen., hlm. 109

[3]Ibid., hlm. 110

[4]Ibid., 111

[5] Ibid., hlm. 51-56.

[6] Simuh, “Aspek Mistik Islam Kejawen dalam Wirid Hidayat Jati” dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah Kritis atas Karya-karya Klasik (Bandung: Mizan dan Elsaf, 1987), hlm. 66

[7] Ibid., hlm. 67

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*