“Di era pemerintahan dinasti Ottoman inilah berbagai perbaikan dan pembangunan dilakukan di Yerusalem. Tembok-tembok kota yang saat ini kita saksikan di kota tua Yerusalem, tidak lain adalah hasil karya dinasti Ottoman kisaran tahun 1573-1541. Demikian juga dengan 7 gerbang yang saat ini ada, termasuk Menara Daud dan Gerbang Damascus.”
—Ο—
Yerusalem pada masa pemerintahan Shalahuddin Al Ayyubi dikenal sebagai periode pemulihan. Setelah menaklukkan Yerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib, Shalahuddin membebaskan sekitar 60.000 pasukan Salib yang berada kota tersebut, dengan sejumlah tebusan. Sedang kepada penduduk Kristen dan Yahudi, mereka tetap dibiarkan di sana dan mendapatkan hak yang sama dengan kaum Muslimin. Di masa pemerintahan Shalahuddin pula berbagai infrastruktur mulai dibangun, seperti perumahan, pasar, pemandian umum, dan hostel untuk menjamu para peziarah dari semua agama. Yerusalem tumbuh menjadi kota yang cukup diminati untuk dikunjungi. Hanya sayang, setelah wafatnya Shalahuddin, konflik internal dalam kekuasaan dinasti Ayyubiyah telah menjadikan kota ini langsung menurun pamornya dan kehilangan nilai strategisnya.[1]
Di tengah kekisruhan internal dinasti Ayyubiyah, Perang Salib terus berlangsung di berbagai front dalam skala kecil maupun besar. Pada tahun 1229, akhirnya perjanjian kembali dibuat antara Kaisar Romawi Friedrich II mewakili Tentara Salib dan Sultan Ayyubiyyah al-Kamil dari Mesir sehingga mengakhiri Perang Salib Keenam. Dampak dari perjanjian ini, Yerusalem kembali jatuh ke dalam kekuasaan Pasukan Salib, kecuali situs-situs yang dianggap suci oleh kaum Muslimin, dan sumber-sumber Arab menunjukkan bahwa Friedrich tidak diizinkan untuk memulihkan fortifikasi-fortifikasi Yerusalem. Namun kekuasaan Kristen tidak berumur panjang di Yerusalem. Pada tahun 1244 Yerusalem dijarah dan direbut oleh kaum Tatar Khwarezmia, sebagian besar populasi Kristen dibinasakan dan orang-orang Yahudi diusir keluar. [2]
Selama periode tahun 1250-1516 M, Yerusalem dikuasai oleh dinasti Mamluk yang beribu kota di Mesir. Pada periode ini Yerusalem mengalami cukup banyak cobaan, mulai dari gemba bumi yang terjadi cukup sering, hingga wabah hitam[3], serta mengalami ekses dari konflik segitiga antara Mamluk, pasukan Salib, dan tentara Mongol. Pada periode pergolakan ini, dunia sedang dikejutkan oleh ekspasi massif pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan.[4] Hampir seluruh wilayah yang dilaluinya berhasil ditaklukan, termasuk Baghdad. Laju ekspansi pasukan Mongol ini akhirnya berhenti di pertempuran Ain Jalut, dimana Sultan Mamluk al-Muzhafar Saifuddin Qutuz[5] dengan dibantu oleh pasukan Salib, mengakhiri mitos pasukan Mongol sebagai pasukan yang tak terkalahkan di muka bumi.[6]
Pada tahun 1517, Yerusalem jatuh ke dalam kekuasan dinasti Ottoman, Turki. Ini tak lepas dari kesuksesan Sultan Sulaiman dalam memperluas areal kekuasaannya. Dengan kecakapan dan kemampuan managerial yang mumpuni, Sulaiman berhasil membentangkan area kekuasannya hingga meliputi tiga benua, Asia, Eropa dan Afrika. Dengan demikian, secara otomatis Yerusalem diserahkan kepadanya secara damai. Di masa pemerintahannya, kesultanan Turki berbenah, dan menjelma menjadi adidaya dunia. [7]
Meski demikian, Yerusalem bukanlah fokus Sulaiman. Tempat ini hanyalah negara bagian yang menjadi salah satu dari sekian banyak wilayah kekuasaannya. Namun yang terpenting bagi Yerusalem, dalam masa kekuasaannya, perdamaian dan pembaharuan terjadi, dan tradisi ini terus dilanjutkan oleh penerusnya setidaknya hingga tahun 1917. Di era pemerintahan dinasti Ottoman inilah berbagai perbaikan dan pembangunan dilakukan di Yerusalem. Tembok-tembok kota yang saat ini kita saksikan di kota tua Yerusalem, tidak lain adalah hasil karya dinasti Ottoman kisaran tahun 1573-1541. Demikian juga dengan 7 gerbang yang saat ini ada, termasuk Menara Daud dan Gerbang Damascus.[8]
Lebih jauh, dinasti Ottoman membawa banyak inovasi: sistem pos modern yang dikelola oleh berbagai konsulat serta layanan pengangkutan dan kereta pos reguler merupakan tanda-tanda awal modernisasi di dalam kota. Pada pertengahan abad ke-19, kaum Utsmaniyah membangun jalan aspal pertama dari Yafo ke Yerusalem, dan sejak tahun 1892 jalur kereta api telah ada di kota ini.[9]
Bisa dikatakan karena statusnya sebagai propinsi dari Damaskus, Yerusalem tidak banyak diganggu oleh berbagai kepentingan politik religius. Sehingga dapat berkembang wajar apa adanya sebagai sentra penting keagamaan. Demikian toleran dan terbukaanya hingga, pada tahun 1700, Rabbi Yehuda He’Hassid datang, dan berhasil membangun Sigangog Hurva. Pada tahun 1836 Ibarahim Pasha mengizinkan warga Yahudi di Yerusalem untuk merestorasi empat sinogaga besar. Sejak itu, Yerusalem semakin banyak dikunjungi oleh umat Yahudi, dan pada tahun 1860, pemukiman Yahudi pertama mulai terbentuk di luar kota tua Yerusalem.[10]
Pada tahun 1840-an dan 1850-an, kekuatan-kekuatan internasional mulai saling berebut pengaruh di Palestina, dengan alasan untuk menjamin keselamatan dan memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas keagamaan di wilayah ini. Pada periode ini, berbagai negara mulai mendirikan perwakilan-perwakilan diplomatiknya di Yerusalem. Menurut konsul Prusia, populasi Yerusalem pada tahun 1845 adalah 16.410 penduduk, dengan komposisi 7.120 Yahudi, 5.000 Muslim, 3.390 Kristen, 800 tentara Turki dan 100 orang Eropa. [11] (AL)
Bersambung
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Yerusalem#cite_note-156, diakses 13 Desember 2017
[2] Kaum Tatar Khwarezmia dihalau keluar Yerusalem oleh Ayyubiyah pada tahun 1247. Ketika Nahmanides berkunjung pada tahun 1267, ia hanya menemukan dua keluarga Yahudi dalam suatu populasi berjumlah 2.000 penduduk (300 di antaranya adalah orang Kristen) di kota ini. lihat, Ibid
[3] Maut Hitam, disebut juga Wabah Hitam atau Black Death, adalah suatu pandemi hebat yang pertama kali melanda Eropa pada pertengahan hingga akhir abad ke-14 (1347 – 1351) dan membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi pula epidemi pada sebagian besar Asia dan Timur Tengah, yang menunjukkan bahwa peristiwa di Eropa sebenarnya merupakan bagian dari pandemi multi-regional. Jika termasuk Timur Tengah, India, dan Tiongkok, Maut Hitam telah merenggut sedikitnya 75 juta nyawa. Penyakit yang sama diduga kembali melanda Eropa pada setiap generasi dengan perbedaan intensitas dan tingkat fatalitas yang berbeda hingga dasawarsa 1700-an. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Maut_Hitam, diakses 14 Desember 2017
[4] Untuk informasi lebih jauh tentang ekspansi pasukan Mongol pada abad ke 13 M, Lihat. https://ganaislamika.com/invasi-mongol-ke-baghdad-1258-m-1/
[5] Al-Muzhafar Saifuddin Qutuz adalah orang Mamluk, budak yang berasal dari Turki. Orang-orang Mamluk menjadi budak-prajurit untuk para sultan Ayyubiyah di Kairo, Mesir. Akan tetapi, pada 1250, para budak itu menggulingkan tuan-tuan mereka dan menjadi para penguasa Mesir. Qutuz sendiri adalah bekas budak-prajurit yang belakangan merebut kekuasaan dan menjadi sultan pada 1259. Lihat, https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102012085#h=6, diakses 1 November 2017
[6] Ain Jalut merupakan daerah yang terletak di tenggara Galilea. Pada bulan September 1260, bertemulah pasukan Qutuz dengan pasukan pasukan Mongol di daerah ini. Pertempuran ini oleh sejarawan dianggap monumental, sebab disinilah untuk pertama kalinya dalam sejarah, pasukan Mongol yang tak terkalahkan itu bertekuk lutut. Untuk pertama kalinya sejak Genghis Khan memulai serangkaian invasi dan penaklukannya setengah abad yang lalu, bangsa Mongol mengalami kekalahan di medan perang besar. Lihat, https://ganaislamika.com/invasi-mongol-ke-baghdad-1258-m-3/
[7] Lihat, Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), chapter 26. Hal. 208-214
[8] Lihat, Trias Kuncahyono, Jerusalem; Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta, Kompas, 2008. Halaman Grafis
[9] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Yerusalem#cite_note-156, Op Cit
[10] Lihat, Trias Kuncahyono, Op Cit
[11] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Yerusalem#cite_note-156, Op Cit