Ziarah Makam Wali (5): Sunan Kalijaga di Kadilangu (1)

in Budaya Islam

Last updated on May 21st, 2018 05:18 am

 

Oleh: Khairul Imam

Sunan Kalijaga terus menjadi legenda yang tak pernah lekang ditelan zaman. Berbagai kearifan yang tersurat maupun tersirat menjadi ajaran yang terus-menerus diajarkan dan diingat. Islam yang khas, yang memiliki muatan simbolik tanpa menafikan kekhusukan dan ketundukan yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Islam Jawa, Islam yang dihayati dan dijalankan tanpa melepaskan pakaian syariat, tetapi melesat melalui tarekat dan memuncak menuju makrifat dan bersemayam bersama hakikat Kebenaran Tuhan.

 —Ο—

 

Salah satu wali yang diakui memiliki pengaruh kuat di tanah Jawa adalah Sunan Kalijaga. Ia dianggap sebagai wali dengan latar belakang yang multi, sekaligus memiliki lapangan dakwah yang paling banyak. Bahkan ia pernah menyeberangi lautan gulita seorang begal kenamaan yang dikenal dengan Brandal Lokajaya. Ia pun disebut sebagai wali yang sanggup memadukan budaya lokal yang masih bernuansa Hindu-Buddha menjadi Islam-Jawa.

Sebelum dikenal luas sebagai Sunan Kalijaga, nama aslinya adalah Raden Said atau Raden Sahid, putra Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. Menurut beberapa versi Jawa, Aria Teja I dan Aria Teja II masih menganut agama Hindu, tetapi Aria Teja III sudah masuk Islam. Sementara Sunan Kalijaga lahir dari istri Aria Teja III yang bernama Retno Dumilah.[1] Lain halnya dengan dengan tulisan Agus Sunyoto yang dikutip dari Babad Tuban. Ia menyebutkan bahwa Aria Teja I atau kakek Sunan Kalijaga bernama Abdurrahman, seorang keturunan Arab. Abdurrahman berhasil menikahi putri Aria Adikara karena berhasil mengislamkan Adipati Tuban. Tapi sebelumnya Aria Teja alias Abdurrahman telah menikah dengan putri Raja Surabaya yang bernama Aria Lembu Sura. Kemudian melahirkan seorang putri dengan nama Nyai Ageng Manila yang kelak diperistri Sunan Ampel. Ketika menggantikan kedudukan mertuanya sebagai Bupati Tuban, Abdurrahman menggunakan nama Aria Teja. Dari hasil hubungan pernikahan dengan putri Aria Adikara ini, Aria Teja memiliki putra bernama Aria Wilatikta.[2]

Pernyataan bahwa Sunan adalah keturunan Arab dibenarkan oleh C.L.N. Van den Berg, yang telah menuliskan silsilah Sunan Kalijaga, bahkan disebutkan bahwa garis silsilahnya tersambung sampai paman Nabi Saw., Abdul Muthalib. Lebih jauh, hal senada dinyatakan dalam silsilah Sunan Kalijaga dari keluarga R. M. Mohammad Soedioko, yang merupakan keturunan Sunan Kalijaga dari jalur Sunan Adi yang turun ke Pangeran Wijil, dan diperoleh urutan silsilah sebagai berikut.

Raden Sahid Sunan Kalijaga putra Tumenggung Wilatikta Bupati Tuban, putra Rangga Tejalaku Bupati Tuban, putra Syekh Djali, putra Syekh Abdurrahman, putra Syekh Abdullah, putra Syekh Kurames, putra Syekh Mudakir, putra Syekh Wakid, putra Syekh Abdul Watis Karnain Baghdad, putra Sayidina Abbas.[3]

Sunan Kalijaga lahir saat kondisi Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduruan. Tak banyak orang yang mengetahui tanggal kelahirannya secara tepat. Bahkan, para sejarawan dapat dipastikan tidak mencantumkan tanggal kelahirannya. Damar Shashanka menyebutkan Sunan Kalijaga lahir di Tuban pada tahun 1450, dan wafat di Kadilangu, Demak tahun 1550.[4] Lain halnya dengan Purwadi yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1430-an, dihitung dari pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel, yang saat itu diperkirakan berusia 20-an tahun.[5]

Setiap kali mendengar nama Sunan Kalijaga, pastilah tebersit dalam benak setiap orang sebuah legenda perjalanan hidupnya ketika ia keluar dari kerajaannya dan memilih hidup untuk menjadi perampok jalanan, meski dalam kroniknya berbeda-beda. Dalam Serat Walisana, misalnya, disebutkan bahwa Tumenggung Wilatikta mempunyai seorang anak bernama Raden Sahid. Ia terkenal amat nakal, suka berjudi, mabuk, dan lain-lain. Raden Sahid diasingkan oleh ayahnya, lalu pergi ke hutan. Di hutan ia melihat seseorang yang tengah berjalan, yaitu Sunan Bonang. Raden Sahid pun tertarik untuk merampok Sunan Bonang, tetapi niat itu diurungkan karena Sunan Bonang mengatakan bahwa ia tidak membawa apa-apa. Namun ia menegaskan jika ia berniat untuk membegal, tunggulah nanti tatkala ada orang yang berjalan sendirian dari arah timur berpakaian serba langking (hitam), dan bersumping bunga wora-wari bang (bunga sepatu) maka orang itu tidak lain adalah seorang saudagar. Dan memang benar, Raden Sahid pun menunggu kedatangan orang tersebut.

Tiga hari kemudian, dengan berpakaian hitam dan bersumping Sunan Bonang berjalan seorang diri ke tempat Raden Sahid biasa beroperasi. Ketika melihatnya, tanpa menunggu lama lagi ia segera menyerang Sunan Bonang yang sedang menyamar itu. Sunan Bonang menghentikan langkahnya, diam dan tenang sembari menghadap ke arah utara, selatan, barat, timur, dan tengah. Raden Sahid menjadi kebingungan karena ia sekarang melihat Sunan Bonang menjadi banyak dan ada di mana-mana. Saat itu juga Raden Sahid merasa kalah, dan langsung meminta ampun. Seketika itu pula ia bersimpuh dan memohon untuk dapat berguru pada Sunan Bonang. Sunan bonang menancapkan cis-nya[6] dan berpesan kepada Raden Sahid supaya menungguinya. Dan jika ia benar-benar mantap untuk berguru, maka Raden Sahid dilarang pergi sampai Sunan Bonang kembali.

Lain halnya dengan cerita Achmad Chodjim[7] tentang Sunan Kalijaga muda. Pada saat itu, beban Kadipaten Tuban terhadap pemerintah pusat semakin besar, lebih-lebih ketika Tuban dilanda musim kemarau. Sehingga rakyat Kadipaten Tuban hidup di tengah kesengsaraan dengan tanggungan upeti yang sangat besar. Dengan kondisi ini Sunan Kalijaga merasa prihatin dengan rakyat Kadipaten Tuban, hingga ia memberanikan diri bertanya tentang hal itu kepada ayahnya. Tetapi sang ayah tidak bisa berbuat apa-apa sebab ia tidak lebih dari seorang raja bawahan. Kemudian Raden Sahid pun memilih untuk menjadi maling cluring—pencuri yang membagikan hasil curiannya kepada orang miskin. Mula-mula ia bongkar gudang kadipaten, lantas mengambil bahan makanan dan membagikannya kepada orang-orang yang memerlukannya secara diam-diam. Lama-kelamaan tindakannya ini diketahui oleh penjaga keamanan kadipaten, dan akhirnya ia tertangkap basah. Ia dibawa dan dihadapkan kepada Tumenggung Wilatikta.

Ketika mendengar kejadian tersebut, keluarga adipati merasa tercoreng, dan akhirnya ia diusir dari istana kadipaten. Namun ancaman dan hukuman tersebut tidak membuatnya jera, ia tetap melakukan hal yang sama. Bahkan, ia justru merampok dan membegal orang-orang kaya di kadipaten Tuban, dan hasilnya tetap dibagikan kepada para fakir miskin. Sampai suatu ketika ia hendak merampok seorang tua di hutan Jati Wangi. Pertama-tama, ia tertarik dengan tongkat miliknya yang berkilauan. Ketika itu, ia sama sekali tidak menduga bahwa orang tua tersebut adalah Sunan Bonang. Dengan sedikit gerakan ia berhasil dilumpuhkan. Pertemuan yang tidak sengaja itu menjadikan Raden Sahid tercerahkan, dan akhirnya menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya itu, meski tampak mulia, tetapi tetap jalan yang salah. Akhirnya ia menyatakan diri untuk berguru kepada Sunan Bonang sekaligus menjadi guru spiritual pertama baginya.

Setidaknya dalam kronik perjumpaan antara Sunan Bonang dan Raden Sahid ada hal-hal penting, yang kemudian merubah alur kehidupannya. Setelah mengakui kekalahannya, seketika itu pula Raden Sahid langsung tunduk dan patuh menjadi murid Sunan Bonang, yang semula ia sebagai brandal kenamaan sekaligus tak terkalahkan. Proses pembelajaran yang tidak biasa yang dilakukan Sunan Bonang terhadap Raden Sahid, yang menurut legenda selama bertahun-tahun berguru ia hanya diajarkan dua Asma Allah, yaitu Ya Hayyu, Ya Qayyum, sambil duduk menunggu tongkat miliknya. Seorang jagoan harus terjun bebas ke bawah yang tidak memiliki arti dan remeh untuk menunggu tongkat yang tak berharga. Raden Sahid, seorang raden dan putra mahkota diperintahkan sekadar menjaga tongkat yang tidak ada harganya. Hatinya diluluhlantakkan dan diratakan untuk menyadari betapa lemah dan hinanya manusia. Atau, bisa jadi ceritanya berlainan tatkala seorang jagoan sekelas Sunan Kalijaga ketika ia diberi tugas melakukan penaklukan wilayah tertentu, atau membunuh orang tertentu. Karena itu, kesombongannya dihancurkan, dan ia pun diajarkan untuk pertama-tama takut kepada Allah dengan merendah serendah-rendahnya. Inilah pembelajaran yang tak biasa. Ia diperkenalkan dengan nama Allah “Yang Mahahidup, Yang Maha Berdiri” dan untuk takut (khasy-yah) hanya kepada Allah sebab hanya para ulama (orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah) yang takut kepada Allah (Lihat Qs. Fathir [35]: 28)

Nama Sunan Kalijaga terus menjadi legenda yang tak pernah lekang ditelan zaman. Berbagai kearifan yang tersurat maupun tersirat menjadi ajaran yang terus-menerus diingat dan diajarkan. Islam yang khas, yang memiliki muatan simbolik tanpa menafikan kekhusukan dan ketundukan yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Islam Jawa, Islam yang dihayati dan dijalankan tanpa melepaskan pakaian syariat, tetapi melesat melalui tarekat dan memuncak menuju makrifat dan bersemayam bersama hakikat Kebenaran Tuhan.

Bersambung…

Ziarah Makam Wali (5): Sunan Kalijaga di Kadilangu (2)

Sebelumnya:

Ziarah Makam Wali (4): Sunan Bonang di Tuban

Catatan kaki:

[1] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 282.

[2] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo (Depok: Pustaka IIMAN, 2012), hlm. 212.

[3] Ibid., hlm. 213-214.

[4] Damar Shashangka, Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati (Jakarta Selatan: Dolphin, 2014), hlm.

[5] Purwadi, Ilmu Makrifat Sunan Bonang (Yogyakarta: Sadasiva, 2004), hlm. 88.

[6] Cis adalah sejenis tongkat untuk menopang dalam perjalanan.

[7] Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 8-11.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*