Karena saking kuatnya, Kaum Tsamud, meskipun tertimpa bangunan, masih dapat bertahan hidup. Rasulullah mengatakan, bangsa ini dikaruniai Allah umur yang panjang dan tubuh yang sangat kuat.
Kaum Tsamud merupakan salah satu suku bangsa Arab terbesar yang telah punah. Sebaimana telah disebut pada seri sebelumnya, mereka adalah keturunan dari Tsamud bin Gether bin Aram bin Sem bin Nuh. Dengan demikian silsilah keturunan mereka bertemu dengan Kaum Ad pada kakek yang sama, yaitu Aram. Mereka bermukim di satu wilayah yang bernama al-Hijr, yaitu satu daerah di Hijaz (Saudi Arabia sekarang).[1]
Tempat itu juga dinamai Madain Shalih — karena Nabi Shaleh AS adalah Nabi yang diutus kepada mereka. Di sana hingga kini terdapat banyak peninggalan, antara lain berupa reruntuhan bangunan kota lama, yang merupakan sisa-sisa dari kaum Tsamud. Selain itu, di sana ditemukan juga pahatan-pahatan indah serta kuburan-kuburan, dan aneka tulisan dengan berbagai aksara Arab, Aramiya, Yunani, dan Romawi.[2]
Suatu waktu, Amr bin Kharijah, salah satu sahabat Rasulullah, ditanya, “Ceritakanlah kepada kami kisah tentang Tsamud.”
Amr bin Kharijah menjawab, “Aku akan menceritakan kepada kalian apa yang dikatakan oleh Rasulullah tentang Tsamud.
“Tsamud adalah umat (Nabi) Shaleh yang telah Allah karuniakan umur yang panjang di dunia ini, dan Dia membuat daya tahan mereka begitu kuat. Karena begitu kuatnya, sehingga suatu waktu, ketika salah satu dari mereka mulai membangun rumah dari lumpur kering dan (rumah) itu roboh menimpanya, orang itu masih selamat.
“Ketika mereka melihat kejadian itu, (karena tahu memiliki tubuh yang sangat kuat) mereka menggunakan keterampilan mereka untuk membuat rumah dari gunung. Mereka menatah gunung-gunung, memotongnya, dan melubanginya, dan mereka hidup dengan nyaman di dalamnya.”[3]
Allah SWT berfirman, “Dia menempatkan kamu (Kaum Tsamud) di bumi; kamu membuat pada dataran-dataran rendahnya jadi bangunan-bangunan besar, dan kamu pahat gunung-gunungnya menjadi rumah-rumah.” (Q.S 7: 74)
Terkait ayat di atas, di dalam Tafsir Al-Mishbah, tempat tinggal mereka digambarkan begitu indah, luas, dan nyaman. Rumah mereka tahan baik terhadap cuaca dingin maupun panas. Selain itu, mereka juga diberikan lahan yang dapat digunakan untuk bercocok tanam pada musim panas.[4]
Pada masa kini, dalam sebuah laporan perjalanan, bekas tempat tinggal Kaum Tsamud digambarkan, “Memasuki daerah Madain Saleh yang berpasir, gunung berbatu sudah mulai terlihat seolah menyambut pengunjung. Batu-batu super besar itu berdiri tegak memisah dan ada pula yang menyatu berbentuk bukit.
“Di tiap sudut batunya, terdapat tekstur dalam ragam bentuk. Juga goresan garis-garis dalam bidang, menghadirkan volume cekung, cembung dan datar bahkan lubang yang tembus ke sisi lainnya.
“Tak hanya itu, di sebagian besar batu itu juga terdapat pintu beserta ruangan kecil. Di dalam ruangan yang menyerupai kamar, ada bangku dari batu dengan goresan-goresan pahat tak beraturan di dindingnya. Di situs bersejarah ini disebutkan memiliki 132 kamar dan kuburan.”[5]
Pada masa bangsa ini hidup, karena keahlian dan kepandaian mereka, hasil ukiran yang dibuat oleh mereka, dijadikan sebagai barang dagangan dengan komoditas lainnya. Sebagian lagi dibuat untuk menjadi hiasan di rumah-rumah mereka.
Produk utama Kaum Tsamud adalah barang pecah-belah (tembikar) yang unik, dan memiliki nilai seni yang berkualitas tinggi, sedangkan produk lainnya berupa kemenyan dan rempah-rempah. Dari hasil perdagangan yang mereka lakukan, mereka menjadi kaya raya, dan sehingga memungkinkan mereka untuk membangun istana, rumah yang dipahat, dan makam-makam pada batu karang.[6]
Pada tahun 2008, UNESCO mengesahkan Madain Salih, atau yang mereka sebut dengan The archaeological site of Al-Hijr, sebagai salah satu situs warisan dunia (World Heritage Site). Di dalam website UNESCO, Madain Salih dikatakan sebagai situs utama peninggalan peradaban Nabatea, pada bagian selatan dari zona pengaruhnya. Bangunan dan arsitektur peninggalan bangsa ini dipahat langsung di batu karang.
Berdasarkan gaya arsitekturnya, tempat ini dianggap sebagai tempat bertemunya berbagai peradaban, seperti Asyur, Mesir, Fenisia, dan Helenistik. Selain itu, di sana juga ditemukan kehadiran epigrafi dari beberapa bahasa kuno seperti Lihyanite, Thamudic, Nabataean, Yunani, dan Latin.
Tempat ini telah menjadi saksi dari berkembangnya teknik pertanian Nabatea yang menggunakan sejumlah besar sumur buatan di tanah berbatu. Sumur-sumur ini bahkan sampai sekarang masih dapat digunakan. Situs ini adalah contoh luar biasa dari pencapaian arsitektur dan keahlian hidrolik peradaban Nabataean. Pada masanya, Al-Hijr menjadi saksi perdagangan karavan internasional pada akhir masa peradaban kuno dunia.[7]
Mari kita kembali kepada kisah Kaum Tsamud di masa Nabi Shaleh. Pada awalnya mereka dapat menarik pelajaran berharga dari pengalaman buruk yang menimpa Kaum Ad, karena itu mereka beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa itulah mereka pun berhasil membangun peradaban yang cukup megah, namun keberhasilan itu menjadikan mereka lengah, sehingga mereka kembali menyembah berhala yang serupa dengan berhala yang disembah oleh Kaum Ad. Ketika itulah Allah kemudian mengutus Nabi Shaleh untuk mengingatkan mereka agar tidak mempersekutukan Allah.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 14 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 411.
[2] Ibid., hlm 412.
[3] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 42.
[4] Tafsir Surat Surat Al-A’raf Ayat 74, dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 151-153.
[5] Muhammad Ali, “Melongok Jejak Kaum Tsamud, Umat Nabi Saleh di Madain Saleh”, dari laman https://www.liputan6.com/news/read/2621897/melongok-jejak-kaum-tsamud-umat-nabi-saleh-di-madain-saleh, diakses 14 September 2019.
[6] Ibid.
[7] UNESCO, “Al-Hijr Archaeological Site (Madâin Sâlih)”, dari laman https://whc.unesco.org/en/list/1293/, diakses 14 September 2019.
[8] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5, Op.Cit., hlm 152.